Oleh : Siti Nurjanah
Kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan atau artificial intelligence
(AI), telah memberikan dampak signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan.
Sejak pertama kali diperkenalkan pada pertengahan abad ke-20, AI telah berkembang pesat, mengubah cara kita mengakses informasi dan belajar. Pada tahun 1956, John McCarthy menciptakan istilah “kecerdasan buatan” di sebuah konferensi di Dartmouth, menandai awal penelitian di bidang ini.
Perkembangan AI, yang dimulai dari algoritma sederhana, kini telah menghasilkan sistem yang dapat belajar dan berkembang secara mandiri, membuka peluang baru dalam pendidikan.
Dalam konteks pendidikan Islam, AI menawarkan berbagai manfaat, seperti aplikasi yang mendukung proses penghafalan Alqur’an. Aplikasi ini memberikan umpan balik langsung mengenai tajwid, makhraj, dan kelancaran bacaan, membantu siswa mempercepat pembelajaran mereka.
Namun, meskipun AI mempermudah beberapa aspek pembelajaran, ada kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap nilai-nilai yang telah lama ada dalam pendidikan Islam. Terutama yang berhubungan dengan interaksi langsung antara guru dan siswa.
Hubungan ini sangat penting dalam proses mendalami materi dan membentuk karakter, yang tidak mudah digantikan oleh mesin. Walaupun AI efektif dalam menyampaikan informasi, ia tidak dapat menggantikan esensi hubungan manusia dalam pendidikan.
Teknologi mungkin dapat memberikan pengetahuan yang akurat, namun tidak bisa mengajarkan nilai-nilai seperti keikhlasan, kasih sayang, atau kebijaksanaan yang hanya bisa diperoleh melalui bimbingan langsung seorang guru.
Oleh karena itu, meskipun AI menawarkan kemudahan, guru tetap memegang peran sentral dalam mendidik siswa, memberikan pendampingan serta menanamkan nilai-nilai yang tidak dapat dipelajari dari mesin.
Salah satu kelebihan AI dalam pendidikan Islam adalah kemampuannya untuk memberikan pembelajaran yang lebih personal. Dengan analisis data yang canggih, AI bisa menyesuaikan materi pembelajaran sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa.
Sebagai contoh, aplikasi AI untuk menghafal Alqur’an dapat mengatur tempo belajar dan memberikan koreksi yang lebih tepat, memungkinkan siswa belajar mandiri kapan saja dan di mana saja. Ini memperluas akses pendidikan agama, khususnya bagi mereka yang tinggal jauh dari lembaga pendidikan formal.
Namun, ada risiko terkait dengan potensi misinterpretasi ajaran Islam. AI bekerja berdasarkan data yang dimasukkan, dan jika data ini tidak diverifikasi dengan benar, informasi yang diberikan bisa menyesatkan. Oleh karena itu, pengawasan ketat dari ulama dan pendidik sangat penting untuk memastikan bahwa informasi yang diterima siswa sesuai dengan ajaran Islam yang sahih.
Tanpa pengawasan yang hati-hati, AI dapat menjadi sumber informasi yang kurang tepat, membingungkan siswa, atau bahkan mengarah pada pemahaman yang keliru.
Selain itu, tantangan lain adalah menjaga keseimbangan antara teknologi dan nilai-nilai tradisional Islam yang menekankan keutuhan spiritualitas. AI dapat membantu dalam aspek pengetahuan, tetapi tidak dapat menggantikan pengalaman batin yang diperoleh melalui interaksi langsung dengan guru yang bijaksana.
Guru berperan tidak hanya dalam mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam menanamkan nilai-nilai seperti rasa hormat, keikhlasan, dan pengendalian diri, yang sulit diajarkan oleh mesin. Meskipun AI canggih, ia tidak bisa menggantikan dimensi spiritual yang sangat penting dalam pendidikan Islam.
AI bukanlah ancaman bagi pendidikan Islam. Sebaliknya, jika digunakan dengan bijaksana, teknologi ini bisa memperkaya pengalaman belajar dan memberikan akses yang lebih luas kepada siswa. AI dapat menjadi alat pendukung yang mempercepat dan mempermudah pembelajaran.
Namun tidak menggantikan peran guru dalam mendidik siswa dengan pendekatan manusiawi yang melibatkan rasa, nilai, dan spiritualitas. Guru harus tetap menjadi pilar utama dalam membimbing siswa, sementara AI berfungsi sebagai alat yang memperkaya proses pendidikan.
Kesimpulannya, keberhasilan integrasi AI dalam pendidikan Islam sangat bergantung pada keseimbangan antara teknologi dan tradisi. Teknologi harus dipandang sebagai alat pendukung, bukan pengganti guru dalam menyampaikan nilai-nilai moral dan spiritual yang merupakan inti pendidikan Islam.
Oleh karena itu, meskipun AI menawarkan kemudahan, ia tidak boleh mengurangi pentingnya hubungan personal dan bimbingan guru dalam pendidikan agama.
Sebagai contoh konkret, aplikasi AI dapat digunakan untuk membantu menghafal Alqur’an, tetapi tetap membutuhkan pengawasan seorang guru untuk memastikan bahwa pengajaran tersebut sesuai dengan prinsip ajaran Islam yang benar. Penggunaan AI yang tepat akan memungkinkan siswa belajar dengan lebih efisien, sambil tetap mendapatkan bimbingan spiritual dari guru yang memahami nilai-nilai agama dengan baik.
Dengan pendekatan ini, pendidikan Islam dapat berkembang seiring dengan kemajuan teknologi tanpa mengorbankan esensi spiritualitas yang menjadi inti dari ajaran agama.(*)