Sumber gambar : Liputan6.com


Sebuah kenangan yang tidak terlupakan, setelah kejadian mengerikan di vila 3 tahun silam seolah  hilang begitu saja. Karena sungguh, apabila di ingat-ingat kembali mungkin  saat ini Aku tak akan mampu berani berada di suatu tempat sendirian, meskipun itu di dalam rumahku sendiri.

Kini Aku berusia 23 tahun. Semenjak kejadian  itu, Aku tidak ingin mendatangi vila milik kakekku  lagi, sebab traumatis yang mendalam. Jadi, tak terbesit keinginan untuk kembali mengunjunginya walau sekejap. Kini Aku sudah memiliki seorang suami bernama mas Rio. Usia pernikahanku baru menginjak tiga bulan. Aku dan mas Rio masih bingung mencari tempat tinggal baru. Karena kami ingin hidup mandiri tanpa bergantung kepada orang tua kami.

Suatu ketika kami lewat di sebuah rumah kontrakan tua. Tanpa pikir panjang, mas Rio langsung mengajak menemui si empunya rumah untuk menyewanya. Akhirnya, negosiasi pun berlangsung. Di sela-sela perbincangan, bu Mirna, si pemilik rumah menceritakan kisah mistis di balik rumah kontrakannya.

“Di sini ada hantu perempuan yang sering menakut-takuti penghuni rumah ini, tidak sedikit penyewa rumah ini yang kabur sebelum masa sewanya habis, juga banyak pejalan kaki yang lari tunggang-langgang karena ulah pengganggu hantu perempuan itu.” Kisah bu Mirna.

Mas Rio hanya mengangguk-anggukan kepala saja. Baginya, apa pun itu akan dihadapi. Yang penting kami punya tempat tinggal.

Aku yang sekarang menjadi penakut, berharap  agar mas Rio mau membatalkannya, tetapi usaha ku untuk merayu mas Rio nihil. Mungkin, ia sudah merasa pusing memikirkan tempat tinggal baru ditambah dengan pekerjaan yang semakin menumpuk.

Satu minggu kemudian, kami sudah resmi menempati rumah kontrakan milik bu Mirna walaupun Aku sendiri merasa sedikit enggan. Tetapi ini Aku lakukan demi mas Rio. Aku tidak mau waktu mas Rio terganggu karena urusan tempat tinggal yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas di kantor. Keesokan harinya, mas Rio sudah kembali bekerja. Selepas sarapan, mas Rio berangkat ke kantor. Ia berangkat lebih awal, karena jarak kantor tempat ia bekerja terbilang cukup jauh, setelah itu aku bersih-bersih. Terkadang Aku teringat cerita dari bu Mirna tentang hantu itu, tetapi semoga saja tidak terjadi hal apa pun.

Hari ketiga, keadaan masih aman dan normal. Hari keempat, tak ada tanda gangguan aneh apa pun. Hal ini semakin membuat Aku yakin bahwa pernyataan Bu Mirna salah. Hari ke lima, enam, tujuh pun masih tetap sama. Namun tiba di hari kedelapan, hantu yang diceritakan bu Mirna mulai memperkenalkan dirinya.

Sore itu Aku baru pulang dari supermarket. Hantu itu menampakkan dirinya di kaca spion mobil. Aku berusaha meyakinkan diri hanya salah lihat, dan hantu itu menghilang. Aku segera masuk ke dalam rumah untuk segera merapikan belanjaan. Setelah mas Rio datang, Aku menceritakan kejadian sore itu. Mas Rio berusaha menenangkanku yang tampak sangat ketakutan, dan menanyakan kepadaku makan malam. Astaga! Sebab hal itu membuat Aku jadi lupa memasak makan malam untuk mas Rio. Akhirnya kami pergi keluar untuk makan malam di warung yang berada di sebelah gang rumah.

Waktu kembali di titik yang sama. Sembari bergegas untuk berangkat ke kantor, mas Rio kembali mengingatkanku untuk tidak takut lagi. Berbagai cara dilakukan mas Rio untuk meyakinkanku bahwa hal yang tampak pada kemarin sore hanya halusinasiku saja. Aku harus bisa meyakinkan diriku sendiri demi Mas Rio. Setelah itu ia pun berangkat menuju kantor.

Aku menjalankan aktivitas seperti biasa. Menyapu, mengepel lantai, mengelap meja dan membersihkan partikel debu-debu yang menempel di beberapa tempat. Hampir seluruh ruangan terjangkau oleh tanganku. Kecuali pada ruangan pojok di lantai atas. Aku yang menjadi penakut tetapi mulai penasaran dengan ruangan TERLARANG yang diceritakan oleh bu Mirna mengenai hantu perempuan penunggu rumah ini. Rasa penasaran yang tinggi mengalahkanku. Aku memberanikan diri masuk ke ruangan tersebut.

Setelah pintu kubuka, ruangan gelap dan debu berada di mana-mana hingga membuat ku batuk. Dalam ruangan ini terlihat sangat berantakan. Semacam tidak pernah dikunjungi selama puluhan tahun lamanya.

Ada sebuah tempat tidur, kursi santai, meja rias beserta cermin yg tertutup kain putih. Aku melangkah masuk dan berkeinginan untuk membersihkannya. Perhatianku tertuju pada cermin yang tertutup kain putih tersebut. Entah mengapa, tanganku menarik kain itu dengan sendirinya. Tak lama kemudian, bau anyir semerbak di segala penjuru ruangan ini. Firasatku mengatakan hantu perempuan itu akan muncul. Tiba-tiba, brak!!

Pintu ruangan ini tertutup. Aku segera berlari menuju pintu dan segera membukanya. TERKUNCI! Pintunya terkunci!

Aku berteriak-teriak memanggil siapa pun, tetapi tidak ada satu pun yang mendengar. Pada saat yang sama, sesosok hantu muncul dari cermin itu. Dia merangkak ke arahku. Teriakanku semakin menjadi-jadi. Aku memanggil-manggil Mas Rio sambil menangis ketakutan. Sosok tadi menarikku ke dalam cermin dengan paksa. Setelah itu semuanya lambat laun menjadi gelap. Tiada satu pun dapat kulihat.

“Astagfurullah!!  Aku tertidur di ruangan ini. Ternyata tadi cuma mimpi, tapi terasa sangat nyata.” Setelah sadar, aku bergegas keluar dan menutup pintu ruangan itu, lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam.

“Hari ini Aku akan memasak makanan kesukaan Mas Rio, ia pasti senang sekali.” Ketika hendak mulai memasak, air wastafel tiba-tiba menyala dengan gemericik. Hal itu membuatku terkejut dan menodongkan pisau yang ku pegang sebagai bentuk pelindung diri.

Setelah kutengok di balik set etalase piring ternyata kucing bu Mirna yang suka bermain dengan handle kran air. “Huff . . . Cuman kucing, lucu sekali dia suka bermain air.” Dengan perlahan Aku menghampirinya, bulu-bulunya halus tampak terawat sekali. Namun baru sepuluh detik aku mengelusnya ia kabur dengan menggeram. Aku pun merasa aneh dengan kucing tersebut, padahal Aku hanya mengelusnya dan ingin memberinya makan.

Rasa kekhawatiran dalam diriku semakin menjadi-jadi setiap harinya. Sudah berulang kali menghapus rasa takut akan cerita bu Mirna tetapi rasa ini masih saja sama.

Sore pun tiba, Aku menunggu kepulangan mas Rio di teras rumah sembari membaca buku puisi kesenanganku. Dan bisa dikatakan untuk penghilang rasa cemasku terhadap cerita bu Mirna. Lampu sorot mobil mulai tampak dari arah pintu gerbang rumah. “Ah, itu mas Rio.” Dengan bahagia Aku menyambut mas Rio. “Sore istriku,” sapa mas Rio.

“Sore Mas, syukurlah Mas pulang lebih awal, sini Mas tas nya biar Aku yang bawa.” Jawabku dengan senang.

“Nggak ada apa-apa kan? Masih cemas memikirkan cerita bu Mirna? Sudah Mas kasih tahu, nggak usah hiraukan cerita bu Mirna,” tandas mas Rio. Dengan langkah  perlahan kami menuju kamar untuk mengobrol sejenak. “Enggak ko Mas, Aku em . . Tadi . . Aku mau bercerita Mas, tadi kucing bu Mirna lucu sekali. Ia suka bermain handle kran wastafel Mas.” Aku yang berkelok berbicara agar tidak membuat mas Rio marah karena raut wajah mas Rio yang terlihat capek sekali.

“Aku siapin air hangat dulu ya buat Mas Rio mandi.” Dengan gelagapan Aku segera menuju dapur. Saat mengisi air ke dalam panci tiba-tiba air berubah warna menjadi merah kehitaman. Seketika Aku menjerit-jerit ketakutan dan menangis. Mas Rio pun berlari menghampiriku “Ada apa sayang, hah! Kenapa kamu? Ada apa?” Dengan memelukku. “Itu….. itu Mas airnya berubah warna seperti darah, Aku takut Mas,” sambil menunjuk ke arah kran.

Mas Rio melepaskan pelukannya dan berjalan ke arah kran yang masih menyala. “Apa sih, ini air kran biasa. Halusinasi kamu sudah parah nih kayaknya,” celetuk mas Rio kepadaku. Kali ini aku marah kepada mas Rio dan mengungkit soal tempat tinggal karena sudah tak tahan lagi mengontrol emosi. “Mas! Sudah beberapa kali kejadian aneh menimpaku. Kamu masih saja menilai halusinasi, yang merasakan itu Aku Mas bukan kamu,” dengan bernada tinggi ucapanku yang mungkin membuat mas Rio jengkel. “sebaiknya kita pergi cari kontrakan yang lain aja Mas. atau kembali ke orang tuaku. Aku mohon mas,” sembari merayu dan menangis.

“Aduh!! Kamu jangan seperti anak kecil begini. Mau di taruh di mana mukaku sebagai suami,” dengan kebingungan mas Rio menjawabku. “Sudah ya sudah, mungkin kamu kelelahan sampai halusinasimu ini menjadi-jadi. Mari kita ke kamar, kamu istirahat saja biar mas sendiri yang memasak air.” Dengan nada lirih mas Rio berucap dan merangkulku dengan perlahan berjalan menuju ke kamar.

Ketika mas Rio mandi, Aku merebahkan diri sendiri dengan menatap foto pernikahan. “Tharrr . . . ” Suara vas bunga samping foto tiba-tiba jatuh, dan mengejutkanku. Ada rasa dingin seperti es sedang memegang erat pergelangan kakiku, perlahan naik ke lutut. Saat mencoba membuka selimut yang menutupi sebagian tubuh ku. “wuaaa . . .” Aku berteriak histeris sekencang mungkin. Aku ditarik dan diseret oleh hantu perempuan berkaki terbalik dengan melemparkan tubuhku ke kaca jendela hingga pecah. Wajahku hancur berdarah terkena pecahan kaca. Aku terkulai lemas dilantai.

“Hei, bangun sayang! Kamu mimpi apa, sayang?” Mas Rio membangunkanku yang sedang mengigau. Seketika itu pun Aku terbangun dan berteriak. “Aku takut Mas,” sembari meraba-raba wajahku untuk mengeceknya. “Huh, syukurlah hanya mimpi. Aku tadi tertidur Mas, terus Aku, mimpi seram.” Aku masih syok hingga terbata-bata ucapanku. “Sudah-sudah ya, mari kita ke meja makan. Kita makan sekarang ya, tadi mas udah pesan makanan.” Agar Aku merasa tenang, mas Rio tanpa menanggapi ceritaku dan mengajak makan malam.

bersambung…..

Penulis : Mifta Siswi Octavina, mahasiswa IAINU Tuban

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *