Sumber Gambar : Kumparan.com
Ada kejadian tak terduga lagi saat sedang makan malam. Sejak sebelum makan, Aku merasa tidak tenang. Nafsu makanku menurun sebab masih teringat kejadian yang ada dalam mimpiku tadi. Tiba-tiba, Aku melihat mas Rio sedang melahap makanannya berubah menjadi perempuan yang ada dalam mimpiku. Seketika itu, garpu dalam genggaman tanganku terlempar ke piring mas Rio. Dengan menjerit dan menangis ketakutan Aku meringkuk jatuh di bawah tempat duduk. “Hei, kamu kenapa lagi, ini mas Rio!” Dengan menghentikan makannya dan menghampiriku. “Pergi kamu, jangan usik aku dan mas Rio!” Dengan meringkuk dan berteriak-teriak aku berkata seperti itu. “Ca, lihat mas! Ini mas Rio! Lihat, lihat, Ini mas!” tegas mas Rio untuk meyakinkanku. Seketika aku memeluk mas Rio dan berdiri. Mas Rio mendudukkanku di kursi. “Kamu semakin waktu semakin begini, kenapa? Kamu masih percaya dengan omongannya bu Mira? Kamu nggak percaya lagi sama mas?. Mas capek dengan tingkah kamu.” Aku pun menyahut perkataan mas Rio dengan nada tinggi. “Kamu saja capek Mas! Aku ini mas! Aku yang mengalami sendiri kejadian ini. Bagaimana dengan Aku Mas? Tolong Mas, ayo kita pergi saja dari tempat ini! Tolong Mas! Tempat ini, neraka bagiku Mas!” Sambil menangis terisak aku mencoba menjelaskan kepada mas Rio.
Tiba-tiba kursi seberang meja terlempar ke etalase piring. “Tharrr . . .” Suara beberapa piring yang jatuh dan pecah. “Mas, mas Rio! Ini ukti jika penunggu rumah tua ini tidak senang dengan kita.” Kejadian yang baru ini dapat menjadi bahan untuk meyakinkan mas Rio. Saat itu pun mas Rio percaya dan mengajakku masuk ke kamar dengan mempercepat langkah.. Saat kami masuk pintu kamar tiba-tiba salah satu kaki mas Rio terperosok ke lantai kayu hingga menyebabkan luka yang cukup parah. Aku pun segera mengangkat mas Rio dan memapahnya untuk menuju ke ranjang. “Aku cari obat di laci dulu ya Mas.” Saat sedang mencari obat, mas Rio meminta maaf kepada atas sikapnya yang tidak percaya akan kejadian yang menimpaku selama berada di rumah tua ini. Darah yang keluar dari kaki mas Rio cukup deras, hingga menetes di lantai kayu tua ini.
Saat sedang mengobati luka mas Rio, pintu kamar terbuka dengan mengagetkan kami. Sesosok orang mengenakan pakaian serba hitam muncul kembali. Sama persis seperti sosok yang ada di vila tiga tahun lalu. Dengan berjalan perlahan dan terseok-seok, ia membawa belati dan menancap-nancapkan di almari kayu milik kami. “Siapa kamu, jangan berani mendekat dan macam-macam dengan kami. Kami tidak pernah mengganggu mu.” Dengan cekatan mas Rio melindungi ku. “Pergi, ku mohon jangan ganggu kami. Kami janji akan pindah, kami akan pindah dari sini malam ini juga. Tolong pergi.” Aku yang ketakutan dan menangis mencoba mengusir sosok serba hitam tersebut.
“Tidak, aku sedang menjalankan tugas. Kalian tidak akan bisa lari lagi.” Sosok serba hitam tersebut berkata demikian. Mas Rio pun seketika melawan sosok itu dengan menahan kaki yang belum sempat aku obati. Aku pun mencoba membantu mas Rio untuk melawan dengan memukulkan vas bunga yang ada di meja riasku ke kepala sosok tersebut. Saat dia terkapar kesakitan, kami lari semampu kami untuk keluar dari rumah tua tersebut. Tiba-tiba belati terlempar ke punggung mas Rio dan mengakibatkan mas Rio jatuh. “Mas Rio,” teriak ku dengan terkejut. Aku pun segera memapah mas Rio untuk tetap lari dari kejaran sosok tersebut dengan punggung mas Rio yang mengucur darah segar. “Bertahan Mas, kita pasti bisa keluar dari tempat ini. Kita cari bantuan di luar. Bertahan Mas, kumoohon.” Dengan terengah-engah kami berjalan. Sementara sosok tersebut tetap mengejar dengan terseok-seok dan memegang kepala.
“Aku sudah nggak kuat lagi. Kamu harus selamatkan diri kamu sendiri. Biar mas di sini saja.” Kata mas Rio yang terlihat pucat dan tiba-tiba terjatuh.
“Nggak Mas, kita harus bersama. Kita bisa keluar dari sini.” Tegas ku. “Mas tunggu sini saja, kamu cari bantuan diluar. Kamu cabut dulu belati yang ada di punggung mas, jadikan senjata kamu.” Kekawatiran mas Rio tetap ada untuk ku. “Tapi mas.” Aku yang ragu dan bimbang akan sakit yang dirasakan mas Rio nantinya. Sementara sosok itu semakin dekat. Saat belati telah tercabut dari punggung mas Rio. Aku pun segera berlari mencari bantuan. “Maafin aku mas, aku janji kita akan selamat dari sini. Aku akan cari bantuan diluar mas.” Aku yang meyakinkan mas Rio yang sudah terkapar lemas dilantai. Sosok itupun berhenti dan mengawasi mas Rio. Seketika mas Rio mencekik leher sosok tersebut dengan sisa tenaga yang mas Rio miliki sekedar untuk menahan sosok serba hitam itu agar tidak mengejar ku. Namun mas Rio di tampar hingga tersungkur lemas. Saat aku telah sampai pintu, sosok tersebut sudah berada dalam jarak lima belas langkah kaki. TERKUNCI. Pintu rumah terkunci rapat dan entah dimana kunci tersebut berada. Kepanikan dan rasa takut pun menyertai ku hingga aku menodongkan belati dalam genggamanku. “Jangan berani mendekat. Apa yang kamu inginkan,” kecamku terhadap aksi sosok tersebut.
“Ini yang kamu cari.” Menunjukkan kunci pintu rumah.
“Saya hanya menjalankan tugas.” Dengan berkata lirih dan tiba-tiba suara meninggi. “TUGAS !! Tahu kamu? Kamu harusnya sudah mati saat di vila. MATI!!. Tapi teman-teman kamu sangat piawai rupanya untuk menyelamatkan diri. Termasuk kamu!” Dengan menunjuk tegas seakan menyimpan dendam terhadapku. “Siapa kamu sebenarnya, kesalahan apa yang ku perbuat denganmu. Hingga bertahun-tahun mengincar nyawaku ! Siapa kamu hah!!” Dengan geram aku berkata untuk mengupas sosok serba hitam tersebut.
” Heh! tak penting aku siapa. Kamu harus mati. Tidak boleh tenang dan senang. Kamu harus MATI !!” Selangkah demi selangkah mendekatiku. “Jangan berani-berani mendekat, atau belati ini akan menancap bagian tubuhmu,” ancam ku. “Kau sudah tidak bisa lagi lari ke mana-mana. Temani anak saya di sana yang sedang kesepian. Kamu temani anak saya. Kamu harus jadi teman anak saya!!” Dengan menangis dan tertawa sinis ia berkata demikian.
Pikiranku tak karuan, hatiku mengatakan berbagai persoalan. Apakah Aku pernah tidak sengaja menabrak anak dari sosok serba hitam tersebut. Apakah Aku menghilangkan nyawa anak tersebut dengan tanpa sadar. Kekacauan dalam fikirku semakin menjadi-jadi.
“Anakku yang cantik jelita. Dia dibunuh oleh nenekmu. Saat jelita bermain di balkon hotel lantai lima, nenekmu meminta untuk memfoto. Tapi jelitaku tanpa sengaja menjatuhkan ponsel nenekmu, dan jelitaku…” Sosok tersebut menangis terisak dan berteriak-teriak menceritakan kejadian saat itu.
“Nenekmu pembunuh !! Mendorong jelitaku jatuh dan tiada. Kau berada dalam keluarga pembunuh. Kau harus kubunuh saat ini.” Semakin meninggi nada suara hingga beberapa kali mengagetkan ku. Ia pun berlari terseok-seok mengejar ku. Sialnya aku tersandung dan jatuh. Belati pun terlempar hingga jarak satu langkah kaki. Menghindar dan selalu menghindar dengan mengesot aku selamatkan diri dari kejarannya.
“Mati kau!! Nyawamu telah berada di tangan ku. Ha ha hah!” Tukasnya. Aku hanya bisa menangis ketakutan dan mencoba menghindarinya. Tiba-tiba mas Rio melemparkan pisau dan tepat mengenai jantung sosok serba hitam itu hingga terjatuh dan tewas. Aku pun berteriak histeris. Mas Rio menghampiri dan memelukku. Segera diambilnya kunci yang terjatuh di lantai tepat berada di sebelah sosok tersebut.
Kami pun berlari keluar meminta tolong kepada warga setempat. Seketika itu pula keramaian mengerumuni rumah tua tersebut dan beberapa warga memanggil pihak berwajib. Kami pun dilarikan ke klinik terdekat untuk mendapatkan perawatan. Tetapi karena luka yang menimpa mas Rio cukup serius, maka harus mendapatkan perawatan intensif. Kami pun segera dibawa ambulance menuju rumah sakit. Tiga jam berlalu, keluarga kami pun datang dengan segala kecemasan sebab mendengar telefon kabar buruk yang mendadak dari kami.
Kesokan harinya, aku bersama beberapa keluarga kembali ke rumah tua tersebut untuk mengetahui kondisi dan situasi. Beberapa polisi mengevakuasi tempat tersebut dan memintai keterangan terkait kejadian yang menimpa kami semalam. Sejengkal kelegaan yang kami rasakan saat ini sangat cukup bagiku.
TAMAT.
Penulis : Mifta Siswa O, Mahasiswa IAINU Tuban