Sumber gambar : bola.co


Ketika aku kecil yang ku takutkan hanyalah balon yang pecah, tanpa ku sadari bahwa aku telah kehilangan ayah.

Senja itu begitu meremang, ku pandangi satu persatu harta yang ku miliki, ya ayah dan ibu. Mereka banyak berunding sejak beberapa hari terahir ini. Uang belanja yang menipis juga beberapa kebutuhan yang mendesak. Ayah pontang – panting memenuhi kebutuan makan sehari-hari, ibu yang sepandai-pandainya mengatur uang belanjaan.

Setelah banyak pertimbangan ayah memutuskan menjadi TKI. Jujur siapapun dari kami sangat berat hati, tapi apalah? Hidup ini keras, yang kuat akan bangga dan yang lemah akan terlunta-lunta mengais rezeki di negeri tetangga. Menahan rindu menggebu bertemu keluarga.

Entah bagaimana? Aku sering membayangkan lebaran tanpa ayah. Siapa yang akan aku kecup tangannya? Siapa juga yang akan menggendongku keliling kampung saat malam takbiran? Sudah cukup lebaran masih jauh.

Hari itu, ibu tak mengantarku sekolah. Ia menata keperluan ayah untuk siang nanti, aku dan adik dititipkan dirumahnya si mbok, lalu siangnya mereka berjanji akan menjemputku.

Sehari itu aku hanya bermain, menjelajahi ilalang dan memijak sawah sesuka hati. Begitu terik, aku tak mau kulitku terbakar dan gosong. Lalu si mbok akan memarahiku seharian, huuhhh….. menyebalkan.

Ayah datang sejam setelah itu. Ia memelukku erat, aku juga memandangnya saling berangkulan dengan si mbok dan eyang. “tak banyak pulang, hanya 2 tahun sekali, itu pun jika sempat”. Ucap ayah. Ibu mencoba tenang aku tau hatinya bergemuruh. Ingin menolak tapi pada siapa? Ingin tak terima tapi sia- sia.

Ku antarkan ayah hingga Bandara, ia melambaikan tangannya padaku, dengan pilu aku memandang punggungnya. Perlahan jauh, mengecil, lenyap, menjadi titik yang tak pernah kembali

Hari pertama tanpa ayah. Terbiasa menjalani semua hal sendirian, berangkat sekolah sendiri, yah. Sebelumya aku selalu membonceng sepeda tua ayah, setiap pagi sebelum ia berangkat kerja. Kadang aku merasa iri dengan mereka yang diantar ayahnya. Berjalan bersama hingga gerbang lalu mengecup kening.

Tenang Enola

Ini hidup bukan surga

Kau tak harus menjadi sempurna

Hari pertama puasa.

Sangat menyenangkan, tanpa lelah aku menunggu ayah pulang. Membawa semua yang aku inginkan, lalu rinduku tanpa kembali.

Hari demi hari.

“hey, hari ini terakhir puasa”. Besok lebaran, kemana ayah? Disini rumahnya. Kerumah mana lagi ia melepas penatnya? Apa rindunya telah hilang untuk aku dan ibu?

“ tidak Enola, ia pergi untukmu, kamu tak pernah membayangkan lelahnya, panas terik matahari terbakar. Sendirian. Tunggu saja Ramadhan berikutnya”. Ibu mencoba menghiburku.

Ramadhan berikutnya.

Ibu memang benar, hari ini ayah pulang. Aku dan Alisa sangat senang sekali. Lalu ku kecup tangan ayah, aku dan Alisa memeluk ayah dengan sangat erat. Seketika itu rinduku pergi tanpa kembali. Ibu hanya meneteskan air matanya dari kejauhan.

“ayah, kenapa ayah baru pulang?” Aku dan Alisa sangat rindu ayah. “ ayah tak menjawab pertanyaanku. Lalu Alisa mencoba bertanya pada ayah. “Ayah sudah makan? Ayo kita makan bareng, kita kan udah lama, nggak makan bareng. Bareng, Alisa rindu makan bareng ayah”. Tapi ayah malah pergi ke kamar dan tak menjawab satu kata pun dari Alisa. Mungkin ayah masih lelah, tapi tak apalah yang penting ayah pulang.

“Loh, ayah kok malah ninggalin kita?” tanya Alisa padaku.

“ mungkin ayah capek Lisa, ayah kan baru pulang”.

“enggak kak. Sesibuk dan secapek apapun, ayah pasti mendahulukan kita, ayah tak pernah membuat kita seperti ini”. Salut lisa.

Memang ada benarnya apa yang dikatakan Lisa, aku mulai merasakan ada perbedaan pada sikap ayah. Kini lebaran telah usai, tiba saatnya ayah akan kembali ke negeri tetangga, demi mengais rezeki disana.  Aku dan Alisa akan jauh dari ayah lagi. Walau sebenarnya kami tak ingin ayah kembali jauh dari kami. Ku antar ayah hingga Bandara, tapi ayah tak banyak bicara, ayah hanya berpesan “ jangan pernah tinggalkan ibu dan adikmu. Jaga mereka baik- baik.

Beberapa tahun kemudian, ayah semakin jarang pulang. Ibu semakin sulit mengatur kebutuhan. Bolak- balik ibu menelpon ayah. Tapi ayah bersih keras tak mau pulang. Loh? Sudah bedakah tujuannya dulu?  Aku dan Alisa terus bertanya kepada ibu, kenapa ayah nggak pulang-pulang? Ibu juga tak mengerti apa yang membuat ayah tak pulang.  Kami semua heran dengan semua sikap ayah yang tak jelas itu.

Setelah sekian lama ayah tanpa kabar. Ibu mendengar bahwa ayah menikah lagi. Hati ibu tersa di tusuk beribu-ribu duri. “sungguh tega”. Lupakah ia pada kami? Penantian lama yang terjawab sia-sia.

Kini semua harus normal kembali menata hati, aku tak butuh siapapun dan apapun. Aku sering membunuh sepiku dengan hal-hal yang aku senangi. Bukan pada sosok selain ayah. Begitu cepat ia berubah.

Memang, bahwa yang jauh tetaplah di kejauhan yang dekat tetaplah pada kedekatan, kecuali yang jauh itu mendekat atau yang dekat itu menjauh. Miliknya akan tetap miliknya kecuali ia rebut atau ia lepaskan. Begitupun yang bukan miliknya akan menjadi miliknya jika merebutnya atau menerimanya dari orang lain. Karangan dan imajinasi akan tetap seperti adanya, dan kenyataannya adalah dimana ia berada.

Sudah cukup Enola.

Kau tak boleh terus menyesali itu, mungkin adalah cobaan untukmu. Aku mencoba menerima semua itu. Tapi lain dengan Alisa, ia masih belum bisa terima semua itu, mungkin karna ia masih butuh sosok ayah yang selalu ada di dekatnya.

“Ibu,mengapa ayah tega? Kenapa ayah tega tinggalin Alisa? Apa salah Alisa? Alisa sayang ayah, Alisa nggak mau ayah pergi”. Alisa menangis tanpa henti. Membuat ibu semakin bingung, tapi ibu tetap mencoba uat di hadapan kami, walau aku tau sebenarnya hati ibu sangat sakit, kecewa, dan tak menyangka ayah lakukan itu.

Ami memulai kehidupan kami yang baru dimana tak ada sosok ayah yang menjadi yulng punggung, dan yang menjadi pahlawan kami. Tapi aku tetap bersyukur karena masih ada ibu yang siap menjadi ayah dan ibu untuk kami. Darimu ibu aku belajar banyak hal.

[tiga tahun kemudian]

Saat aku ibu dan Alisa sedang berbincang di ruang tamu tiba-tiba ada seorang laki-laki bersepatu celana hitam dan kemeja biru, terlihat seperti ayah, ternyata benar itu ayah. Ia menangis dan mencurahkan segala rasa bersalahnya pada ibu. Ibu tak banya berkutik hatinya terlanjur pecah, harapannya terlampau musnah semua telah terjadi dan itu takkan kembali.

Penulis : Yunda Dwi P. Mahasiswa PGMI IAINU Tuban

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *