Sumber Gambar : senoajisketsa.com
“Pras, kamu mau ambil rongsokan di mana?”
“Hai Cahyani, kamu mengangetkan,” ucap Pras sambil memegang dada.
“Rongsongkannya banyak sekali Pras,” Yani melihat rongsokan yang dibawa Pras.
“Di sekitaran sungai banyak sampah berserakan.”
“Aku tahu.”
“Karena kamu sering melihat-lihat di daerah sana,” pancing Pras untuk menutupi keinginan tahuannya.
” Ya, aku melihat panorama yang tak akan pernah ingin berpindah dari tempat itu.”
” Ah kamu, selalu suka bermain teka-teki. Apa yang kamu lihat Ni?” Tanya Pras serius dengan menekuk tangan.
“Kamu selalu ingin tahu saja Pras,” tanya Cahyani sembari memainkan jerami yang dibawanya.
“Ya sudah, kalau kamu tidak mau berbagi,” ucap Pras lesu, menunjukkan semburat kekecewaan atas penolakan Cahyani berulang kali.
“Besok aku kasih tahu Pras, tak tunjukkan daerah yang aku maksud,” balas Yani dengan senyuman genit.
“Ya sudah, ayo kita pulang!” ajak Pras.
Dalam pikiran Pras ingin berpindah suasana yang lebih hidup. Ya, suasana yang jauh dari tunggakan sampah. Manik matanya sudah menahan kemuakan selama bertahun-tahun, selama saat dia tahu kehidupan yang begitu pelik.
***
Senandung siul burung kutilang memenuhi genangan air kecoklatan. Bagaimana pun keindahan air kecoklatan bagi Cahyani tak kan pernah usang dalam nalurinya. Dia akan menancapkan ingatan tentang rumah yang dibangga-banggakan. Becek lumpur masih saja menggeluti sepatu Cahyani dan Pras. Mereka hidup tanpa tersentuh dunia kelas atas. Cahyani gadis kecil berparas asia timur, hidung bangir yang membedakan dengan lainnya. Kulit beningnya sudah tak berbentuk alami lagi. Paparan sinar UVC sudah menjadi kawannya. Ke mana kaki melangkah pasti Prasetya menemaninya. Teman satu kawasan rumah kardus, terletak di bawah kota kumuh.
“Cahyani!!!” panggil Pras keras, sambil membawa karung kosong.
“Pras, sudah siap kamu?” Tanya Cahyani semangat, menampilkan rambut kepang kecoklatan. Sama seperti Pras, dia juga menahan kemuakan hidup penuh sampah. Dia selalu bermimpi. Mimpi yang dipendam mati-matianan. Mimpi yang tak ingin siapa pun mengetahuinya. Dia tidak ingin diketawakan oleh teman-teman serumah kardus. Mereka semua sudah pasrah dengan takdir. Takdir menjadi tukang rongsokan sampai beribu-ribu abad.
“Cahyani!” panggil Pras kedua kalinya.
“Eh iya,” Cahyani menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
“Lagi mikirin apa?” Tanya Pras berulang kali yang tidak pernah dijawabnya.
“Ah tidak apa-apa. Ayo kita berangkat Pras!” Pengalihan yang cukup menarik bagi Cahyani. Dia pergi mencari rongsokan lagi. Kali ini jadwalnya mengambil barang itu di daerah sekolah elite.
“Tugas kelas kita apa ada pekerjaan rumah, Cahyani?” Tanya Pras menghibur Cahyani, yang terlihat gundah.
“Ya, apakah kamu sudah mengerjakan?”
“Sudah! Ayo jalannya dipercepat Yani!” senyuman mencoba menguatkan mereka.
“Ketika kamu sudah besar, apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Yani ditengah perjalanan. Mereka menuju sekolah untuk orang kaya, bagi mereka. Di antara mereka berdua suara tanya jawab sudah berhenti. Pras laki-laki cerdas, sama seperti Cahyani. Memimpikan keluar dari suasana itu, takdir menjadi orang kelas bawah baginya bukan memalukan, tetapi impian mereka hanya mimpi buruk yang menjelma menjadi indah, tapi semu.
“Pras!” Panggil Cahyani mengisi kekosongan.
“Kamu ingin tahu ya mengapa aku sering berdiam melihat di sekitaran sungai.”
“Yani cepat! Botol bekasnya banyak sekali.” Ucap Pras meninggalkan Yani, bagai mendapatkaan emas. Pras kegirangan melihat botol bekas bertumpuk-tumpuk. Yani tersenyum masam melihat tingkah Pras. Impian mereka sama.
“Berapa karung yang kau bawa ni?”
“Sepuluh karung.”
“Wah-wah, kita hari ini akan mendapatkan hasil yang cukup banyak Yani.”
” Iya, Pras.” Jawab Yani mengikuti Pras mengambil botol bekas berserakan.
Tidak sampai satu jam mereka sudah mengumpulkan botol bekas, Pras menghitung berapa banyak botol bekas itu. Botol bekas itu jauh lebih tinggi dari impiannya. Dia mengetahui impian Yani. Bagi Pras, impian tak akan pernah terwujud. Bisa mengisi perut bagi mereka sudah bahagia. Terlebih Pras, mematikan impian yang dia harapkan setiap melihat bangunan gedung raksasa berdiri megah. Dia selalu mengingat uang mereka, uang hanya untuk makan itu siklus yang mereka rasakan. Tidak ada uang yang lebih untuk pendidikan yang layak bagi mereka.
“Yani, ayo kita ambil botol bekas di sungai, kita pilih-pilih sampahnya. Mumpung waktunya belum terlalu sore.”
“Benar kata kamu Pras.” Yani meninggalkan Pras terlebih dahulu. Jarak antara kota dengan sungai sekitaran setengah jam, mereka menempuh waktu selama itu, bukan hal yang berat bagi mereka. Sengitnya kawannya tak pernah memudarkan binaran bahagia. Rambut coklatnya menyala, pori-porinya mengeluarkan air asin yang sudah membanjiri pakaian kumuhnya. Pakaian sudah bercampur tanah merah. Anggapan orang pinggiran bagi mereka sudah biasa di telinga.
“Yani!” panggil Pras lembut.
“Hmm,” jawab Yani datar.
“Apa alasanmu berhenti di sini cukup lama?” Yani masih diam. Enggan menjawab pertanyaan Pras. Sungai yang dilihat mereka sedari kecil hingga remaja masih sama. Sampah tak pernah beringsut, semakin menumpuk memenuhi tepi sungai.
“Ikutlah denganku!” Jawab Cahyani sumbang.
Pras mengekori Yani. Ketika kaki panjang nan gagah itu melangkah demi langkah, udara di sawah itu begitu segar, sangat berlawanan dengan kota metropolitan.
“Pantas kamu menyukainya.” Cahyani tidak menjawab.
“Lihat burung itu Yani, mari kita tangkap!” Sorak Pras
“Ikannya banyak Yani, ayo kita ambil!”
“Yani, mengapa kamu diam?”
“Lihatlah ke semak-semak, bukalah semak-semak itu!” Kaki Pras melangkah menuju rumunan semak-semak yang tertutup. Pras membuka sedikit demi sedikit.
“Oh, Tuhan. Astaga Yani!” ucap Pras kaget melihat penampakan dari kejauhuan yang di lihatnya. Sepasang kaki itu menikuk di kanal sawah.
“Aku tahu dari pertanyaanku.”
“Mendekatlah kesini Pras!”
“Setelah apa yang kau lihat, bagaimana?”
“Sudah berapa lama, kamu melihat hal ini?”
“Dua tahun aku melihatnya, hatiku semakin kacau setiap harinya.”
“Kita harus lebih bersyukur Yani!”
“Ya,” jawab singkat Cahyani.
“Siapa yang kuasa melihat kehidupan seperti itu. Sejak 5 tahun aku merenunginya. Oh Tuhan mengapa ada takdir kaya dan miskin, Pras,” ratap Cahyani, melihat kenyataan yang ada di hadapannya
“Mereka hidup seperti ini selama itu?” Tanya Pras masih tidak percaya.
“Takdir memang seperti ini, mereka jauh lebih susah mendapatkan pendidikan yang layak.”
“Sejak aku tahu pendidikanku seperti ini, aku ingin menjadi orang kaya. Setelah aku tahu Tamara hidup seperti itu aku benar-benar ingin menjadi orang kaya, pendidikan bermutu nilainya harus mahal. Kita adalah orang yang tak akan pernah mendapatkan pendidikan bermutu. Uang apa yang akan kita gunakan untuk membayar pendidikan itu?”
“Cahyani, takdir kita memang seperti ini.”
“Tidak Pras!!” sengit Yani
“Apa yang kamu impikan semua itu percuma, kita dari keluarga kardus. Kita tidak akan pernah bisa membeli pendidikan yang bermutu. Sudahlah matikan mimpimu! Aku juga sedang berusaha keras untuk mematikannya.”
“Bagaimana bisa kamu mengatakan seperti itu. Apa kamu tidak ingin berusaha keras keluar dari kehidupan seperti ini! Apa kamu ingin menikmati sampai akhir hayat menjadi seperti ini? Lihat Tamara! Dia gadis yang selalu memberiku semangat. Mengapa kamu dengan mudahnya mengatakan seperti ini!!”
Pras tersenyum masam,”kamu naif, Ni. Kita saat ini sudah beruntung bisa duduk di bangku sekolah lumayan berkualitas. Apalagi yang kamu harapkan?”
“Aku ingin keluar dari tempat ini. Aku bermimpi bisa meneruskan pendidikan yang lebih tinggi. Mewujudkan pendidikan bermutu juga pantas bagi mereka orang bawah. Itu yang tertulis di seluruh organ tubuhku.”
“Wah…. Wah…!! Aku sudah menduganya. Jangan seambisi itu!”
Mendengar penuturan Pras, Yani kaget. Sahabat karibnya, semudah itu melontarkan kalimat yang tidak pantas. “Biarkan aku saja Pras yang menjadi pemimpi!”
Setelah perdebatan yang cukup menentang, Cahyani bersikeras untuk mewujudkan mimpinya. Mimpi yang dia ceritakan kepada Pras. Persahabatan mereka pun putus.
Penulis : Vita Z, mahasiswa IAINU Tuban
Editor : M.Zaqin