Sumber Gambar : Suara.com


Namaku Kartika Martilias Chaca Aprilia. Aku biasa dipanggil Chaca. Aku lahir pada bulan April. Sebenarnya Aku memiliki saudara kembar laki-laki. Ketika mama melahirkan, saudara kembar ku meninggal dunia dan aku yang selamat. Jadi, Aku anak satu-satunya yang paling dimanja oleh mereka. Saat usiaku menginjak  20 tahun. Aku merayakan ulang tahun yang bisa dibilang cukup meriah. Namun, perayaan ulang tahunku tidak lagi seperti pada setahun lalu. Kali ini Aku merayakan ulang tahun di vila milik kakekku. Semua undangan yang kusebar, dihadiri oleh seluruh teman-temanku. Terutama pacarku yang bernama Reza. Aku dan Reza menjalin hubungan asmara baru berusia empat bulan.

Ketika perhelatan ulang tahunku yang diadakan, papa dan mama tidak bisa hadir mendampingiku untuk meniup lilin. Sebab, mereka ada pekerjaan di luar kota yang tidak bisa ditinggalkan. Aku  cukup memakluminya, meski rasa di hati begitu dongkol. Hmmm… rasanya pasti kosong tanpa kehangatan mereka. Aku memiliki harapan penuh. Salah satu harapan terbesarku adalah mereka dapat mendampingiku kelak ketika Aku menemukan pangeranku, dan tetap bersama hingga tua.  Harapanku yang kedua, Aku tetap bersama Reza hingga maut memisahkan. Reza adalah pengisi hatiku pertama kalinya. Semoga saja dia adalah satu-satunya. Untuk yang pertama dan terakhir. Sesungguhnya memang benar rindu yang kusimpan untuk papa dan mama begitu bergejolak. Aku ingin bertemu dan memeluk mereka dengan manja. Tapi keadaan berbalik arah dan semua tak seperti anganku.

Di vila milik kakekku, Aku dibantu oleh 4 sahabat termanis untuk memeriahkan ulang tahunku malam ini. Semua tatanan sesuai prosedur. Terlihat sederhana namun dapat memeriahkan suasana. Tepat pada saat peniupan lilin, sahabatku berada di sampingku untuk mendampingiku bersama pacarku Reza. Aku meniup lilin dengan penuh harapan dapat terkabulkan semua. Ketika pemotongan kue berlangsung. Aku memberikan potongan kue pertamaku kepada Reza dan menyuapinya. Dia memberiku ucapan romantis dan kado yang indah sekali. Reza berkata “Selamat ulang tahun Chaca peri hatiku, semoga segalanya yang kamu harapkan dapat segera terwujud dan aku denganmu selalu bersama hingga maut memisahkan kita”. Kuberi dia ucapan terima kasih dengan senyum kehangatan di antara kami. Ketika acara pemotongan kue telah berlalu, semua asyik dan menikmati berbagai hidangan yang tersedia. Sementara Aku dengan Reza menikmati semilir angin malam yang menenangkan. Menghanyutkan perbincangan  yang panjang lebar. Ditambah sang rembulan dan bintang gemintang menghias antariksa. Sesaat pesta ulang tahun malam ini telah berakhir. Aku bersama teman-teman yang sukarelawan membantuku untuk membereskan sisa-sisa pesta malam ini. Sahabatku dan pacar dari sahabat-sahabatku serta Reza tak lelahnya dari pagi penuh semangat membantuku, meski tampak begitu lelah menyelimuti mereka dan juga Aku. Setelah semua berakhir, teman-temanku yang sukarelawan membantu akhirnya berpamitan untuk pulang.

Fuh! Ragaku begitu terasa lelah sekali, ingin rasanya segera merebahkannya di atas kasur empuk yang sudah menanti. Tetapi sebelum tidur Aku melakukan tradisi malam hari yaitu mandi dengan air hangat. Karena dengan itu, rasa lelaku dapat sedikit kutepiskan.

Malam ini Aku tidur bersama Rere. Untuk Sita, Nunik dan Fita tidur di kamar yang bersebelahan dengan kamar yang kutempati bersama Rere. Sedangkan Reza tidur di sofa bersama pacar dari sahabat-sahabatku lainnya.

Baru saja dua jam mataku terpejam, aku mendengar bunyi ayunan tua yang berderak-derak di dekat kolam renang. Suaranya membuat bulu romaku terangkat. Hawa yang kurasa tiba-tiba dingin. Aku terbangun dan mengintip keluar jendela kamar. Ternyata setelah kutengok tiada satu orang pun yang berada di luar sana. Aku tertegun dengan mengalihkan pikiranku yang gelisah. Tak pikir panjang aku segera membangunkan Rere yang tidur di sampingku. Tetapi Rere begitu acuh dengan ceritaku. Mungkin dia terlalu lelah karena acaraku hari ini. Kutarik selimut hingga menutup sekujur tubuh dan wajah. Tapi, mata ini tak mau terpejam. Suara tadi mengiang di gendang telingaku. Karena saking takutnya, Aku jadi ingin buang air kecil. Lagi-lagi Aku mencoba membangunkan Rere. Tetap saja Rere tak mau bangun, malah meledekku dengan setengah sadar dari tidurnya. Meski rasa takut menyelimuti hatiku dan kecemasan yang meradang, Aku memberanikan diri ke kamar mandi sendirian. Setelah Aku keluar dari kamar mandi, kulayangkan pandangan ke atas kasur. Seketika Aku shock berat. Aku tidak melihat Rere di sana. Aku mencarinya di berbagai ruang kamar, ternyata masih saja tiada wujudnya di hadapanku. Aku segera keluar kamar dengan ngos-ngosan dan membangunkan semuanya yang ada di vila. Kami semua cemas dan mencari Rere ke seluruh sudut vila.

Ketika kami mencari Rere, tiba-tiba Tito, pacar Rere, mendapati Rere tergeletak pingsan di atas balkon. Rere tampak terluka dengan sayatan di pipi dan betis  kirinya. Kami terkejut dengan kengerian hal tersebut. Tito segera membopong Rere yang setengah sadar. Semua menjadi terasa begitu gelisah dan menciptakan ketakutan yang kuat bagi kami. Isi kepala kami semua malam ini sama, begitu kalut dan takut. Malam semakin larut, waktu menunjuk pukul 02.00 pagi. Semua semakin was-was atas kejadian yang menimpa kami malam ini. Tak lama kemudian, Dani mendengar ada suara decit sepatu dan pintu tertutup cukup keras di bawah lantai. Dani dan Galih memberanikan diri untuk segera melihat suara itu ke bawah. Sedangkan Tito dan pacarku Reza tetap berada di tempat untuk menjaga kami dari hal-hal yang tidak diduga. Dengan sadar, kami diawasi sosok misterius yang berada di luar jendela, sosok tersebut berdiri tepat di sebelah kolam renang yang berdampingan dengan ayunan tua. Kami terkejut dan ketakutan. Selain itu, kami mendengar suara pedang yang diseret perlahan, suara itu mengalihkan pandangan kami melihat pintu kamar. Suasana malam ini semakin mencekam dan menambah ketakutan luar biasa. Tak lama kemudian Galih kembali, dia kembali sendirian dengan kaki yang terseok-seok. Galih tiada tahu ke mana arah Dani, mereka berpisah di anak tangga ketika ingin kembali. Dani tiba-tiba menghilang dan Galih di hantam kursi kayu tepat mengenai kakinya oleh sosok misterius yang mengenakan busana serba hitam, dengan pedang samurai mengkilat yang berada di tangan kiri. Galih merasa begitu ketakutan dan segera naik tangga dengan terbirit-birit untuk segera menghampiri kami. Galih bercerita dengan terengah-engah.

Tiba-tiba pintu kamar tertutup keras dan mengunci. Kami sontak ketakutan. Galih dan Tito mencoba mendobrak pintu sekencang mungkin, tetapi hasilnya nihil. Sementara Reza langsung mencabut jepit rambut yang terpasang di kepalaku untuk mencoba dijadikan pengganti kunci. Ketika pintu yang terkunci dapat terbuka, kami tak tinggal diam. Dengan memberanikan diri, kami beranjak untuk mencari Dani. Malam ini sudah ada dua korban luka. Kami ingin segera pulang ke rumah, tapi hari masih tampak gelap. Saat pencarian Dani di vila ini. Tiba-tiba sosok serba hitam menampakan lagi wujudnya dengan berjalan menuju arah belakang vila. Kami terkejut. Tetapi, tetap fokus pada pencarian Dani. Pada saat pencarian berlangsung, Nunik melihat hal yang tak terduga. Kami dikejutkan oleh baju Dani yang menggantung dengan bersimbah darah di atas pohon dekat kolam renang. Kami pun menemukan Dani terkulai lemah di ayunan dengan luka sayatan di lengan kanan yang cukup panjang.

Korban luka malam ini bertambah satu lagi. Reza kini sudah begitu muak dengan kejadian ini semua. Dia berteriak geram dan berkata “Keluar kau makhluk keji, apa salah kami di sini, sehingga kau menghakimi kami dengan rasa ketakutan dan luka-luka di vila ini “. (Tharrr. . . !) Tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara kaca jendela lantai dua pecah, dengan pandangan vas bunga yang terlempar keluar. Di susul oleh pedang samurai yang digesek-gesekan pada pagar besi di balkon. Tito semakin naik darah. “Dasar makhluk bedebah”. Tito segera lari bersama Reza untuk menghadapi sosok misterius itu. Kami melarang Tito dan Reza. Tetapi tekadnya sudah tak bisa di hentikan. Dengan napas terengah-engah kami segera masuk membuntuti mereka. Sementara Galih dan Dani saling membopong. Sedangkan Aku, Rere, Sita dan Nunuk berjalan dengan saling merangkul sebab diliputi rasa ketakutan.

Setelah masuk ke dalam vila, kami semua berjumpa di lantai bawah. Lagi-lagi korban luka bertambah satu. Tito terluka cukup parah di bagian paha kanannya. Saat mereka mengejar sosok serba hitam tadi. Tito dan Reza terpisah di antara dalam kamarku dan di luar kamar. Ketika Tito menuruni anak tangga dengan kaki terseok-seok dan dibopoh oleh Reza. Reza sedikit bercerita. Dia melihat bayangan pembunuhan di dalam kamar tempat tidurku. Bayangan itu begitu nyata, di pojok dekat kamar mandi. Namun, ketika di tilik oleh Reza dengan mengendap-ngendap, bayangan itu tidak ada sama sekali. Ia hanya menemukan boneka yang tampak lusuh dan belati di samping boneka tersebut. Sesaat pintu tiba-tiba terbuka. Reza lekas berlari keluar. Kami terkejut dengan kejadian ini lagi. Nunik tiba-tiba shock dan histeris ingin segera kembali ke rumah. Ia pun kesal dan menyesal telah menuruti firasat buruknya. “Ini semua salah kalian, kenapa tidak mau menuruti kata-kata ku. Aku memiliki firasat buruk yang cukup kuat. Seharusnya ini semua tidak terjadi jika kalian menurut semua perkataan ku. Aku ingin pulaaang. . . Aku takut aku ingin pulaaang . . . ” (menangis ketakutan) Aku mencoba menenangkannya yang begitu histeris dan meminta maaf kepada nya serta semua sahabatku. “Nunik, lihat Aku (sambil menampar kecil pipinya karena begitu histeris), kita tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Semua di luar dugaan. Lima tahun lalu aku berlibur di sini juga baik-baik saja, tiada hal-hal aneh sedikit pun. Nunik, tenang ya…!. Aku minta maaf dan untuk kalian, Aku minta maaf “. Aku memeluknya untuk menenangkan pikirannya.

Dengan tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara Pak Tarman yang mendadak muncul dibalik pintu samping. Pak Tarman merupakan pengurus vila tua ini selama 23 tahun. Tanpa basa-basi Pak Tarman berkata kepada kami, “Alangkah baiknya jika kalian segera pulang, di sini memang sangat rawan akhir-akhir ini.” Jarum jam dinding  menunjuk angka 04.30 subuh. Aku pun mencela pak tarman. “Pak, kenapa Bapak ini tidak bilang denganku sebelumnya. Pak Tarman bilangnya di sini aman, baik-baik saja. Tapi kenapa Pak Tarman berbohong dengan chaca”. Pak tarman menjawab dengan nada tinggi. “Sudah, segeralah pulang. Jangan kembali lagi sampai ada berita mengiang di telinga Neng Chaca”. Aku pun tersentak oleh jawaban pak Tarman. Aku ingin marah, tapi para sahabatku menenangkanku dan tanpa panjang lebar kami segera berkemas, bergegas menuju mobil untuk lekas pulang ke rumah. Ketika Nunik masuk ke dalam mobil. Nunik dikejutkan oleh ayunan yang bergerak. Nunik menangis seketika dan memelukku. Ketika kami keluar pagar, aku mendapati sosok hitam itu di spion mobil dengan membawa sebilah samurai.

Saat perjalanan, kami semua terdiam di dalam mobil.  Memikirkan tentang kejadian-kejadian yang menimpa kami di vila. Kami berpikir semua seperti mimpi. Namun, rasa sakit di tubuh kami membangunkan pikiran kami. Menampar kami, bahwa semua benar-benar nyata terjadi.

Sesampai di luar daerah vila, kami berhenti sejenak untuk sekadar istirahat di pom bensin. Kami bertanya kepada petugas SPBU letak rumah sakit terdekat untuk mengobati luka pada tubuh kami. Salah satu petugas yang kami tanyai menunjukan arah sembari bertanya heran, “Apakah kalian dari vila yang ada di jalan Kartonadya?’ Kami heran, mengapa petugas ini bisa tahu. “Bapak kok tahu?” jawab Reza. “Beberapa bulan lalu saya juga mengalaminya. Saat saya sedang menginap di vila bersama rekan-rekan saya. Pada saat itu, salah satu rekan saya meninggal karena ketakutan di vila itu,” jawab petugas SPBU dengan meyakinkan kami. Akupun menyangkal jawabannya dengan mimik tidak percaya “Ah! Masa sih Pak, vila milik kakekku itu memang jarang di tempati akhir-akhir ini. Karena keluargaku jarang berlibur ke sana. Tetapi, tidak pernah ada rumor buruk yang beredar.” Nunik menjawab dengan kesal. “Cha, apa kamu nggak lihat kita. Kamu sadar nggak sih Cha, lihat ini luka kita. Ini oleh-oleh dari vila itu Cha. Jangan berlaga bego deh Cha!” Nunik memang suka bicara agak kasar. Tapi itu tidak menyulut amarahku, sebab dia memang berwatak sedikit keras. Fita menampar Nunik dengan spontan. Akupun menatap mereka dengan tatapan kosong. Dan benar-benar sadar atas kejadian mengerikan yang menimpa pada kami.

Sungguh, hadiah ulang tahun yang kudapat kali ini sangat menakutkan. Bukanya kelengkapan atas hangatnya kehadiran papa dan mama. Namun, terciptanya kenangan mengerikan di usia awal dua puluh tahun. Semoga saja kejadian yang menimpa kami di vila tersebut menjadi kisah pertama dan terakhir dalam hidup.

Bersambung…

Penulis : Mifta Siswi O. Mahasiwa IAINU Tuban

Editor : M. Zaqin

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *