IAINUonline
Abstraksi
Batik memiliki keindahan-keindahan yang berbeda dengan warisan nenek moyang yang lamnya. Keindahan batik dapat dilihat dari dua aspek, yaitu secara visual yang dapat dilihat melalui ragam hias batik yang diperoleh melalui perpaduan yang serasi dari susunan bentuk dan warna.
Aspek yang kedua melalui keindahan makna filosofis yang terdapat pada lambang ornamen-ornamen yang membuat gambaran sesuai dengan fungsi batik. Ragam hias batik bukan hanya sekedar ditempel melainkan memberikan nuansa indah.
Dalam perkembangannya, generasi penerus kebanyakan hanya mengagumi keindahan visualnya, mereka kurang bahkan tidak mengetahui keindahan dan arti filosofis yang terkandung dalam motif-motif batik. Padahal pengetahuan tentang perkembangan batik kedepannya.
Batik Gedog merupakan salah satu produk seni dari Tuban yang memiliki motif dan juga kain yang unik. Motif khusus Batik Gedog Tuban tidak jauh- jauh dari gambar daun dan juga burung. Hal yang melatarbelakangi penelitian ini adalah karena Batik Gedog Tuban merupakan batik warisan nenek moyang, banyak masyarakat yang belum mengenal Batik Gedog Tuban ini.
Pendahuluan
Batik merupakan salah satu budaya asli Indonesia. Kerajinan Batik sudah dikenal sejak lama di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait oleh UNISCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak Oktober 2009.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya saat ini orang Indonesia mulai memperhatikan Batik, terlebih saat ini model pakaian dengan corak batik sudah bermacam-macam dan modern, sehingga dapat digunakan dalam berbagai kesempatan.
Batik Indonesia memiliki beragam corak yang pada setiap daerah berbeda-beda dan menjadi ciri khas daerah tersebut. Penamaan Batik dari perbedaan corak tersebut biasanya menurut nama daerah, misalnya Batik Tuban, Batik Jawa.
Batik memiliki tiga cara pembuatan Batik Tulis, Batik Cap, dan Batik Print. Selain itu walaupun batik merupakan warisan budaya, tidak banyak orang Indonesia yang mengetahui cara pembuatan batik. Pengrajin batik saat ini kebanyakan merupakan penerus dari generasi ke generasi.
Sebelumnya, hal ini menimbulkan kekhawatiran karena semakin lama pengrajin Batik semakin sedikit. Sedangkan permintaan konsumen terhadap kerajinan batik semakin meningkat, sehingga memungkinkan terjadinya kelebihan permintaan dari pada penjualan. Terutama pada kerajinan Batik Tulis.
Batik Gedog yang merupakan Batik Tulis tradisional Tuban, adalah suatu karya budaya yang keberadannya masih diterima masyarakat sampai sekarang. Banyak nilai estetika dan kandungan nilai budaya yang tertuang dalam karya-karya Batik Gedeg, sehingga jenis batik ini merupakan produk yang memiliki kekhasan tersendiri.
Dahulu, Batik Tulis ini hanya digunakan dalam upacara-upacara tradisional masyarakat Tuban, seperti sedekah bumi, pernikahan, dan pemakaman. Namun seiring dengan perkembangan jaman, Batik Gedog tak hanya dipakai untuk upacara-upacara ritual, namun juga dipakai sebagai pakaian sehari-hari, dan fungsi-fungsi yang lain.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan atau field research yakni penelitian yang dilaksanakan secara sistematis untuk mengambil data di lapangan. Dengan pendekatan menggunakan penelitian kualitatif. Yaitu penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilaksanakan dalam menemukan dan mendeskripsikan suatu kegiatan yang dilakukan. Untuk metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Metode deskriptif kualitatif merupakan suatu metode yang melukiskan, mendeskripsikan, serta memaparkan apa adanya kejadian objek yang diteliti berdasarkan situasi dan kondisi ketika penelitian itu dilakukan.
Dengan instrumen pengumpulan datanya dengan observasi yaitu peneliti melihat langsung ke lokasi sanggar batik tulis tenun Gedog dan juga dari beberapa jurnal yang sudah diterbitkan baik itu nasional maupun internasional.
Selanjutnya penyajian data setelah data dipilih dan hasil observasi dan wawancara di deskripsikan dan hasil tersebut disusun menjadi sebuah kalimat yang terorganisir, langkah yang terakhir adalah verifikasi yaitu peneliti bisa membuat hasil temuan dari hasil analisis yang sudah diperoleh tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Kawasan Tuban tidak hanya memiliki keindahan alam tetapi juga produk unik seperti batik Gedog. Berbeda dengan batik Yogyakarta atau Jawa Tengah yang lebih dikenal berbagai kalangan masyarakat.
Sentra produksi Batik Gedog terletak di Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban. Pekerjaan membatik gedog dilakukan oleh masyarakat pada saat tidak bercocok tanam atau menunggu musim tanam.
Peran tumbuhan merupakan simbol kebutuhan manusia akan kehidupan, sedangkan peran burung melambangkan kehidupan di dunia atas. Pada masa Hindu, motif batik Gedog menunjukkan kelas sosial pemakainya. Perkembangan Islam di Jawa kemudian mempengaruhi motif batik Gedog.
Perbedaan peran hanya berfungsi untuk membedakan usia pengguna. Orang tua menggunakan dasi dengan pola geometris dan warna gelap, sedangkan anak muda menggunakan dasi dengan pola geometris dan warna cerah.
Batik Gedog tidak lepas dari kisah Tuban. Batik ini pertama kali dibawa langsung dari Tiongkok pada masa pemerintahan Majapahit Laksamana Cheng Ho. Nuansa Cina pada batik ini sangat cocok. Hal ini terlihat dari gambar burung hong yang menjadi ciri khas dari batik ini.
Setelah satu tahun masuk Tuban, batik ini diadopsi oleh Ki Jontro, pengikut Ronggolawe. Ketika Ronggolawe memberontak melawan Majapahit, dia dan para pengikutnya bersembunyi di hutan. Di tempat persembunyian itu, Chontro, yang kemudian diberi nama mesin tenun tradisional, menjahit pakaian untuk tentaranya.
Awalnya, kain tenun memiliki garis-garis yang sesuai dengan arah benang. Namun, setelah pengaruh batik Lokcan Laksamana Cheng Ho, kain tenun dibuat sesuai desain. Batik Gedog dari Kerek, Tuban, Jawa Timur adalah bentuk tenun yang dibuat oleh manusia menggunakan apa pun yang disediakan lingkungan alam.
Proses produksinya sendiri merupakan proses panjang yang harus diikuti oleh pengrajin dengan penuh kesabaran, proses ini sebenarnya dimulai saat benih kapas ditanam. Setelah dibersihkan, dibungkus dan diperkuat kapas dengan kanji, dibutuhkan waktu satu bulan untuk menganyamnya dengan panjang tiga meter dan lebar sekitar satu meter.
Butuh waktu sekitar dua bulan bagi sang penenun untuk akhirnya menyelesaikan batik Gedog tersebut. Selain fakta bahwa menenun kain membutuhkan banyak waktu, ini adalah proses yang membutuhkan banyak ketelitian dan kesabaran. Nama gedog sendiri berasal dari suara nyaring yang dibunyikan pada bagian belakang kayu alat tenun saat menenun.
Ciri-ciri kain gedog adalah kasar dan tebal, karena benang katunnya juga tebal. Setelah penenunan selesai, proses pencelupan ikat dapat dimulai. Teknik penulisan busur adalah satu-satunya cara untuk membuat Batik Tuban atau Batik Gedog.
Sejarah pengrajin batik di desa Kedungrejo pada sekitar tahun 1990-an masyarakat yang hidup di wilayah kerak yang terbagi menjadi beberapa desa diantaranya adalah Desa gaji, Desa Kedungrejo, dan Desa Karanglo dengan mayoritas mempunyai lahan sawah hanya memanfaatkan hasil pertanian untuk mencukupi kehidupannya.
Pada waktu itu, membatik bukan pekerjaan utama melainkan sebagai pekerjaan sampingan kaum perempuan di desa Kedungrejo kecamatan Kerek kabupaten Tuban. Saat musim tanam dan panen, tidak ada seorang pun mengerjakan batik karena semua memilih ke sawah. Hal ini juga disebabkan selain adanya karya batik yang kurang laku di pasaran, juga pandangan masyarakat yang skeptis terhadap karya mereka sendiri.
Diceritakan bahwa ada seorang tua berkebaya kusut berjalan gontai di bawah sinar matahari terik, jalannya agak membungkuk, karena sebuah bambu terikat di punggung. Sinar wajahnya muram bakul di punggung itu terlihat penuh batik, hasil buatan sendiri selama berbulan-bulan. Batik hasil buatannya itu tidak laku di pasar, padahal untuk menjualnya di pasar perempuan itu harus berjalan ke pasar sejauh 3 km.
Potret sedih kehidupan pembatik di desa Kedungrejo kecamatan kerek kabupaten Tuban Jawa Timur itu menggugah semangat Ibu Uswatun Hasanah (30 tahun) menjadi seorang pembatik. Sejak kelas 1 sekolah dasar Uswatun sudah bisa memintal kapas jadi benang. Ilmu memintal benang diperolehnya dari neneknya yang juga pembatik meski ia pintar mengerjakan selembar batik dari bahan dasar gumpalan kapas ia tidak bebas berkarya.
Keluarganya menolak Uswatun menggeluti batik dalam kesehariannya dan menyarankan jadi petani saja. Alasannya, membatik sangat tidak menjanjikan. Meskipun tidak didukung oleh keluarga bahkan suaminya sendiri, Uswatun tidak menyerah bahkan ia bermaksud mewujudkan cita-citanya, walaupun harus mengorbankan sesuatu yang berharga baginya.
Sesuai dengan pernyataan yang dia kemukakan: “Saya ingin mengubah paradigma masyarakat desa bahwa membatik juga bisa menjadi mesin penghasil uang, jadi tidak semata-mata uang hanya bisa diperoleh dari bertani”.
Ketika kami temui perempuan lulusan SMA ini tengah memeriksa kondisi tembok sebuah ruangan yang hendak dijadikan tempat memamerkan sekaligus memasarkan batiknya. Nasib sedih perempuan-perempuan pembatik membuatnya tidak peduli terhadap larangan orang tua maupun suaminya sendiri.
Dia bahkan semakin asyik dengan usaha batiknya, beliau memilih berpisah dari suaminya ketimbang meninggalkan batik. Kecintaannya akan batik dan keinginan menolong pembatik di desanya diwujudkan dengan menjual rumah kecil miliknya seharga 5 juta pada kala itu. Uswatun pun terus membatik dengan memberdayakan seluruh perajin batik yang ada di desanya termasuk para generasi muda titik perajin itu dibinanya, sekaligus menurunkan ilmunya tentang mewarnai batik yang cenderung abstrak dan warna alam.
Bahkan penggarapan batik pun bisa dilakukan di rumah masing-masing pembatik. Sehingga Uswatun mengontrol pekerjaan pembatikan dengan sistem door to door setiap hari
Guna memperdalam ilmu menyangkut pewarnaan batik, anak keempat dari 5 bersaudara ini rajin mengikuti berbagai pelatihan terutama menyangkut teknik pewarnaan batik di balai batik Yogyakarta. Meski sudah bisa menurunkan ilmu mewarna batik kepada pengrajin lain, Uswatun merasa belum puas juga sehingga setiap kesempatan dimanfaatkan termasuk membaca buku tentang pewarnaan batik.
Dirinya pun kerap pergi ke pelosok-pelosok untuk mencari ide pengembangan batiknya. Dia membeberkan “Ketika saya ke pantai, saya melihat nelayan ikan dengan kain gedog yang tenunannya jarang-jarang. Pemandangan itu menggugah saya untuk membuat selendang dengan tenunan yang jarang-jarang. Hasilnya selendang itu sangat disukai konsumen,’’ katanya ketika memaparkan tentang salah satu ciri batik gedog dari Tuban yang cenderung menggunakan benang dengan serat yang kasar.
Uswatun yang sempat menjadi distributor terasi ini juga terus mengembangkan motif warna alam. Guna memperoleh warna batik yang sangat alami, percobaan demi percobaan pun dilakukannya.
“Semua daun, pohon serta tumbuhan sudah saya coba untuk mencari warna alam yang benar-benar alami. Ciri khas batik gedog warnanya nila agak ke gelap-gelapan dan warna ini saya bertahankan sebagai identitas batik gedog Tuban,” Kata Uswatun.
Meski banyak kendala, Uswatun merasa sudah mantap untuk terus menggeluti dunia batik. Diyakininya bahwa batik tidak akan pernah punah, justru terpenting batik tulis kedok akan semakin dikenal dan memasyarakat karena proses pembuatannya unik dibanding dengan batik tulis lain yang tinggal membatik di atas lembar kain produksi pabrik.
Berangkat dari pengalaman di atas, Uswatun kini terus memberdayakan pengrajin batik hingga pada akhirnya dia berhasil mendirikan industri batik tulis tenun gedog yang diresmikan pada tanggal 15 Oktober 1993 yang diberi nama “Sekar Ayu”
Macam-Macam Motif Batik Gedog Beserta Filosofinya
Motif dalam Batik Gedog sering kali memiliki makna yang mendalam dan terkait dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Tuban. Misalnya, motif geometris dapat melambangkan kestabilan, keteraturan, dan keseimbangan dalam kehidupan. Warna alami yang digunakan dalam batik ini juga mencerminkan kedekatan masyarakat dengan alam, serta nilai-nilai keberlanjutan dan harmoni dengan lingkungan.
Motif pada batik adalah daya tarik tersendiri bagi para pecinta batik. Banyak motif-motif batik yang mempunyai arti atau filosofi dalam setiap goresannya. Dikutip dari wawancara dengan bapak dwi selaku owner batik gedog sekar ayu beliau bercerita bahwa pada zaman dahulu untuk menarik dan menyebarkan agama islam motif pada batik itu dijadikan syi’ar dakwah penyebaran islam.
Banyak lafadz-lafadz ketauhidan yang di modifikasi menjadi simbol yang kemudian di tuangkan sebagai karya seni motif batik, sehingga ketika melihat simbol tersebut diharapkan banyak yang kemudian ingin mengetahui lebih lanjut tentang islam dan di harapkan menjadi pengingat nasihat-nasihat kehidupan.
Selain itu, Batik Gedog sering kali digunakan dalam berbagai acara dan upacara adat, memperkuat nilai-nilai budaya dan sosial dalam masyarakat Tuban. Kain batik ini tidak hanya dipakai sebagai pakaian tetapi juga sebagai simbol identitas dan kebanggaan budaya. Selain itu, motif-motif pada batik gedog juga banyak yang berasal dari perpaduan antar negara, mengandung sejarah, serta menyiratkan do’a.
Beberapa contoh motif beserta filosofi motif batik gedhog di antaranya:
Lok chan Filosofi motif Lokchan pada Batik Gedog mencerminkan simbolisme dan nilai-nilai estetika yang dalam. Motif ini sering kali melibatkan pola geometris yang terinspirasi dari bentuk alam dan struktur tradisional. Simbolisme Alam: Motif-motif seperti bunga, daun, atau bentuk-bentuk alami sering kali digunakan untuk melambangkan keberkahan, kehidupan, dan hubungan manusia dengan alam.
Pola ini tidak hanya mencerminkan keindahan visual tetapi juga mengungkapkan nilai-nilai kestabilan dan keselarasan dalam budaya lokal Tuban. Penggunaan warna alami dalam motif ini menambah dimensi simbolis, menggambarkan hubungan mendalam antara masyarakat dan lingkungan mereka.
Kolo rambat Filosofi motif Kolo Rambat pada Batik Gedog menggambarkan pertumbuhan, keindahan, dan harmoni. Pola ini menampilkan elemen-elemen berupa sulur atau tumbuhan merambat yang saling berkelindan, mencerminkan dinamika kehidupan dan hubungan yang saling bergantung antara berbagai aspek kehidupan.
Motif ini melambangkan kesinambungan dan keterhubungan, menciptakan kesan stabilitas dan keanggunan. Dengan warna-warna alami yang digunakan, motif Kolo Rambat juga mencerminkan kedekatan masyarakat Tuban dengan alam dan menghargai keindahan yang ada di sekeliling mereka. Zaman dahulu, motif ini biasa dipakai untuk selimut orang yang habis digigit binatang berbisa.
Ganggeng Filosofi motif Ganggeng dalam Batik Gedog melambangkan kestabilan, keteraturan, dan ketahanan. Pola geometris yang simetris dan terstruktur dari motif ini menggambarkan prinsip-prinsip keteraturan dan keseimbangan dalam kehidupan sehari-hari. Ganggeng sering digunakan untuk mencerminkan nilai-nilai yang berkaitan dengan ketahanan dan keteguhan, serta harmoni dalam hubungan sosial dan lingkungan.
Penggunaan warna-warna alami pada motif ini menambah kedalaman simbolis, menunjukkan hubungan yang kuat antara masyarakat Tuban dan warisan budaya mereka. Motif ini melambangkan panjang umur, karena dari pangkal sampai ujung tidak ada putusnya, infinity.
Kesimpulan
Sentra produksi Batik Gedog terletak di Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban. Pekerjaan membatik gedog dilakukan oleh masyarakat pada saat tidak bercocok tanam atau menunggu musim tanam. Batik Gedog tidak lepas dari kisah Tuban. Batik ini pertama kali dibawa langsung dari Tiongkok pada masa pemerintahan Majapahit Laksamana Cheng Ho. Nuansa Cina pada batik ini sangat cocok. Hal ini terlihat dari gambar burung hong yang menjadi ciri khas dari batik ini.
Adapun banyak sekali motif batik yang lengkap dengan filosofinya, dan yang kami cantumkan hanya beberapa saja diantaranya: motif lokchan, motif kolo rambat, dan motif ganggeng.
DAFTAR PUSTAKA :
Imro ’atus Sholihah, dkk. (2020). Industri Kreatif Pada Batik Tulis Tenun Gedog. Jurnal vol. 4 No.2. Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Frescornelyo Ayu. (2018). Pengembangan Batik Gedog Sebagai Batik Khas Tuban Jawa Timur. Artikel ilmiah.