IAINUonline – Keharmonisan dan kehangatan dalam keluarga merupakan impian dari setiap anak yang ada. Selain kasih dan sayang dari sosok ibu. Ayah merupakan sosok “pahlawan” bagi anaknya.
Bukan hanya sebagai pelindung fisik, ayah juga dapat diartikan sebagai pembentuk mental bagi sang anak, dan akan menjadi sosok yang akan dijadikan panutan dalam kehidupannya kelak.
Di era digital anak lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain gadget dari pada berkumpul dengan keluarga, dan mungkin juga karena kurangnya waktu yang ayah luangkan untuk menemani sang buah hati karena tuntunan pekerjaan.
Selain itu terkadang ada beberapa suami yang masih menganut sistem patriaki yang mana dapat diartikan bahwa kekuasan rumah tangga sudah ditentukan oleh laki-laki.
Dan biasanya sang istri yang akan bertanggung jawab dalam segala urusan rumah tangga seperti, memasak, membersihkan rumah dan mengasuh anak adalah sepenuhnya tugas dari istri.
Hal ini mengakibatkan kurangnya waktu bersama antara ayah dan anak, sehingga membuat mereka memiliki jarak yang dapat berdampak pada tumbuh kembang anak. Fenomena ini kerap kali disebut dengan fatherless.
Yaitu kurangnya kedekatan antara ayah dan anak karena suatu alasan. Ada beberapa alasan terjadinya fatherless seperti ayah yang meninggal, perceraian, ataupun hal hal lainnya.
Dampak bagi anak laki-laki yang mengalami hal tersebut akan mempersulit mereka untuk menemukan jati dirinya, karena pada anak laki-laki ia akan mengamati dan mengimplementasikan perilaku sang ayah yang dirasa segender dengan dirinya.
Dan apabila sang anak menganggap ayah bukanlah panutan baginya, maka sang anak akan cenderung tidak menyukai gendernya yang kemungkinan besar akan mengakibatkan sang anak laki-laki akan menyerupai perempuan yang dirasa lebih dari pada gender laki-laki.
Bagi anak laki-laki apa yang dilakukan sang ayah kepada keluarganya akan diterapkannya pada kehidupan rumah tangganya dimasa depan. Seperti pada saat ia melihat ayah bersikap kasar kepada ibu, sering mengabaikan anak karena lelah bekerja.
Maka hal – hal tersebut yang kemungkinan besar akan ia berikan di kehidupan saat berumah tangganya kelak.
Sedangkan bagi anak perempuan, ayah dianggap sebagai tempat pelindung yang ia percayai dan diidolakan. Ayah merupakan sosok lelaki yang pertama kali ia temui di dunia ini, maka sering di istilahkan “Ayah adalah cinta pertama bagi putrinya”.
Untuk itu, anak perempuan akan merasa dicintai, dilindungi oleh seseorang yang berbeda gender dengannya yaitu sang ayah.
Dampak dari fatherless bagi anak perempuan ini, antara lain yaitu akan mempengaruhi sudut pandang sang anak kepada laki-laki lain maupun pada pasangan hidupnya kelak. Sehingga akan membuat ia tidak bisa memahami, menghargai, dan mengerti karakter pasangannya kelak.
Jika anak perempuan tidak memiliki kedekatan dengan ayah, maka ia akan merasa tidak memiliki tempat perlindungan untuk dirinya sendiri, Hal itu akan mengakibatkan sang anak mencari kehangatan dan perlindungan dari orang lain.
Salah satunya ialah dengan berpacaran dengan orang yang ia anggap mampu menjaganya. Padahal belum tentu orang yang ia temui itu akan selalu menjaganya, bahkan ada kemungkinan orang tersebut memiliki niat yang tidak baik dengan anak perempuan tersebut.
Selain hal-hal tersebut fatherless juga akan menyebabkan anak perempuan memiliki rasa rendah diri. Rasa percaya dirinya akan hilang secara perlahan karena tidak adanya dukungan -dukungan dari orang yang ia anggap mampu memberi pertimbangan, dan pengambilan keputusan seperti saat memilih jurusan, dan untuk memperluas networking.
Contoh nyatanya jika seorang anak ingin masuk universitas impian, jika satu kali gagal maka ia tidak akan mencoba lagi untuk menuju keberhasilan. Karena ia menganggap tidak ada dukungan dan seseorang yang dapat memberinya saran.
Berbeda dengan anak anak yang memiliki peran ayah akan selalu mencoba hingga apa yang ia inginkan dapat tercapai.
Perhatian dan kasih sayang yang orang tua berikan kepada buah hati akan menjadikan mereka menjadi pribadi yang positif, lebih percaya, mampu mengambil keputusan dan sebaliknya jika tidak ada kedekatan antara anak dengan orang tua.
Maka akan menjadikan mereka pribadi negatif yang tidak taat aturan karena kurangnya pemahaman dalam hal tersebut. Anak akan belajar dari kehidupan ayah dan ibu yang dapat diimplementasikan dengan kehidupan pribadinya di masa depan.
Ayah dan ibu perlu menyeimbangkan dan menjaga antara kedekatan dan kemandirian seiring dengan bertambahnya usia.
Kegagalan dalam penyeimbangan kedekatan dan kemandirian anak akan menyebabkan masalah di masa depan. Kedekatan ayah dan anak dapat dilihat dari keterbukaan komunikasi seperti anak yang selalu menceritakan kegiatan sehari-harinya disekolah pada saat ayah pulang kerja, bermain ataupun jalan-jalan santai pada saat hari libur.
Atau bisa juga saat ayah menghubungi dan menanyakan kabar anak yang sedang berada di luar kota karena ada tugas dinas yang harus diselesaikan, maka ayah dapat melakukan vc, telfon atau mengirim pesan singkat yang akan membuat anak merasa mendapat perhatian orang tuanya meskipun orang tuanya tidak berada di rumah.
Dan mereka akan merasa memiliki tempat untuk sharing dan memiliki dukungan agar tidak mudah mempercayai sembarang orang sebagai tempat perlindungan dirinya
Dari tulisan yang saya buat diharapkan ayah dapat lebih meluangkan waktu bersama keluarga dan buah hati, agar terbentuk mental sehat anak dan terciptanya masa depan yang gemilang.(*)
Penulis : Wulan Nuvitasari
(Mahasiswa Fakultas Dakwah, Program Studi Psikologi Islam IAINU Tuban)