Masih banyak warna lipstik yang telah diciptakan oleh banyak perusahaan di kota ini. Kenapa warna merah merona yang selalu kau kenakan di bibir mungilmu? Dan beratus warna pensil alis, kenapa kau kenakan yang berwarna hitam. Sementara bulu-bulu alismu sudah berwarna hitam pekat. Arin hanya tersenyum tanpa memberi satu pun penjelasan kepadaku. Mungkin dia malu, seakan enggan untuk menjawab pertanyaanku. Ya. Aku tau jelas bagaimana karakter dia. Baru kali ini memakai peralatan perempuan. Semenjak dia dekat denganku.
Bagaimana hari-hariku saat ini bergumul dengan perempuan yang seperti itu. Dimana-mana aku temukan perempuan beralis pensil dan bibir tebal gincu. di jalan-jalan, di kafe, dan di dalam Rom karaoke. Aku merasa dunia ini penuh dengan perempuan-perempuan yang tak luput dari pensil alis dan gincu merah. Hanya dalam rumahku, karena dalam rumahku hanya ada satu perempuan yang tidak mengerti tentang masalah pensil alis dan lipstik. Karena hanya ibuku wanita yang selalu tabah dengan keadaannya. Ya, Ibuku. Ibu yang tabah dengan keadaannya. Dengan kerut-kerut yang menggaris di wajahnya yang legam.
Seperti biasa, kota yang indah ketika orang yang sibuk dengan belanja di Mall, atau hanya sekedar jalan-jalan dan mampir di kota yang sajian makannnya terlengkap. Mulai kaki lima sampai makanan yang berkelas kaya. Dari yang murah sampai yang termahal juga tersedia dalam kotaku. Malam itu, bersama kawan laki-laki dan perempuanku dengan sengaja kita tetap melakukan jadwal yang seminggu sekali kita bertemu dan membawa cerita yang seminggu lalu mereka baca. Bermacam-macam cerita dan bermacam tulisan yang mereka bawa dalam kafe langganan. Malam itu kita berdiskusi dan beberapa karya sastra yang sudah kita baca. Namun ada sebuah keganjilan yang aku lihat dari beberapa teman perempuanku.
Keganjilan itu yang menjadi dasar aku memberanikan diri untuk bertanya. Pertanyaan yang akan manjadi alur cerita ini nanti. Pensil alis dan lipstik. “kenapa dengan pensil alis dan lipstik mas?”. Dengan senyum yang agak penasaran Arin kembali bertanya. Lalu aku hanya tersenyum. Dan senyum itu aku sebarkan kepada semua kawan perempuanku. Sehingga nanti tidak dikira aku hanya perhatian dengan satu orang perempuan saja. Meski dalam satu meja ada beberapa kawan perempuan lain dan laki-laki yang sedang larut dengan minuman serta diskusinya.
Aku semakin penasaran dengan pensil alis dan lipstik, yang menjadi barang utama bagi perempuan-perempuan. dalam hatiku “kenapa baru sekarang aku bertanya tentang piranti perempuan?” ah, ini menjadi racun dalam pikiranku, tentang perempuan pensil alis dan lipstik. Malam semakin larut, kawan-kawanku sudah terlalu beban dengan rasa ngantuknya. Dan diskusi malam ini tidak mungkin bisa kita lanjutkan. Sementara masih banyak bahan diskusi untuk malam ini. ya, semua bisa dilanjutkan esok ketika kita harus berkumpul kembali. Semua kawan-kawan kembali kehabitat masing-masing dengan pikiran yang terus berfikir, karena hasil diskusi ini tidak ada hasilnya. Memang baru ini kita kumpul lalu kita tidak membuahkan dan pulang dengan tangan hampa. Tidak seperti hari-hari kamaren yang pulang membawa oleh-oleh dari hasil diskusi. Sementara aku saat-saat ini menjadi manusia yang linglung karena aku terus kepikiran yang namanya perempuan, pensil alis dan lipstik. Perempuan-perempuan itu seperti halnya bayanganku sendiri, bayangan yang hidup dalam alam pikiranku.
Sesampainya dirumah. aku cuci muka di kamar mandi. entah mataku ini rabun atau sudah mengantuk. Sabun yang seharusnya aku pakai untuk membersikan muka ternya wajah-wajah perempuan yang beralis tebal hitam kecoklatan serta bibir yang merah merona, oranye, kuning, dan warna-warna yang mewarnai sekian bibir itu menempel pada sabun yang akan aku kenakan cuci muka. Tersentak hatiku penuh dengan ketakutan, seketika itu aku letakkan sabun itu lalu aku kembali ke kamar dan merenungi tentang apa yang sudah aku alami di kamar mandi tadi. Dengan rasa yang sangat kesal dan lelah aku pun merebahkan tubuhku di atas kasur. Sambil rerebahan antara sadar dan tidak sadar, wajah perempun-perempuan itu kembali hadir di mataku. Oh, wajah-wajah itu muncul dalam remang kamarku, namun aku melihat wajah-wajah itu dengan jelas sangat jelas sekali.
Wajah-wajah dengan pensil alis, serta bibir-bibir yang berwarna-wani lipstik. Seperti wajah topeng-topeng yang bergentangan di awang-awang mata. Wajah-wajah itu tidak asing bagiku. Wajah yang pernah aku lihat. Wajah yang pernah aku temu di perempatan kotaku. Dan wajah-wajah yang pernah aku senggamai. Namun wajah yang ku temu itu tidak mengenakan pensil alis atau mengenakan lipstik. Wajah itu polos tanpa alis dan bibir yang agak kehitaman. Aku jadi takut melihat wajah itu. Wajah yang berpensil alis itu tenyata alis aslinya di cukur dan digantikan oleh alis buatan dari pensil yang beraneka macam warna. Sementara bibir yang tanpa lisptik itu adalah bibir yang hitam kecoklakatan kering dan berkerak. Wajah-wajah itu semkin dekat dengan wajahku, aku takut dan ketakutan itu berbuah teriakan yang sangat keras sekeras-kerasnya. Dalam teriakan itu aku memanggil ibuku, iya, nama ibuku yang pertama kali aku panggil tiga kali panggilan dengan seuara yang serak. Dengan cepat ibuku membuka pintu kamar dan menyadarkan aku dengan segelas air yang di semprotkan ke wajahku. Dengan rasa kaget yang amat, aku bangun dan melihat jam dinding yang tertempel di kamarku. Jarum jam mununjukan pukul 07.00 WIB lalu dengan cepat aku bangun tanpa menghiraukan Ibuku yang tadi sudah menyadarkan au dari derita wajah-wajah, secepatnya aku lari ke kamar mandi.
Tiba di kantor, dengan rasa terperanga ketika aku melihat semua teman kantor terutama yang perempuan. Ya wajah perempuan teman sekantor tiba-tiba berubah seperti wajah-wajah yang tadi malam datang dalam mimpiku. Ah tidak, semua perempuan sudah berubah wajahnya. Wajah yang seperti topeng-topeng. Aku pandangi semua wajah-wajah perempuan temanku sekantor. Dengan mata yang tidak seperti biasa aku pandangi satu persatu. “apa sih, lihatin kita terus seperti itu.” Dengan nada yang genit temanku bertanya. Lalu aku hanya tersenyum dengannya, namun senyumku hanya sebatas senyum yang tidak seperti biasa juga. Sejam kemudian, aku keluar dari kantor dan aku harus pergi ke kota. Karena aku ada janji dengan teman perempuan yang tadi malam sudah aku janjikan untuk makan siang bersamanya. Tiba di kos teman perempuanku. Dia keluar dengan wajah yang putih, tak seperti biasa dia berpakaian dan mack-up yang membuat mataku melotot dan kesemsem padanya. Namun disisi lain, aku takut padanya. Ya, aku takut, entah ketakutan macam apa yang tiba-tiba muncul dalam nyali seorang laki-laki seperti aku. Aku bonceng dia, dengan tidak erat dia berpegangan dipinggulku. Langsung saja kita masuk dalam sebuah rumah makan yang sederhana cukuplah uangku untuk membeli dua porsi makanan yang aku pesan. Siang itu, tak henti-hentinya aku pandangi perempuan yang ada didepanku itu. meski dengan rasa takut ketika mau melihat alis dan bibir yang tidak seperti biasa aku lihat dulu. Makan sudah siap untuk kita makan. Aku makan tanpa ada sesuatau yang menghalangi masuknya makanan ke mulutku, sementara perempuan yang ada di depanku itu aku lihat dengan seksama. Betapa susahnya makanan yang masuk ke mulutnya hanya gara-gara bibir yang tebal oleh lipstik. Sempat aku tersenyum karena gigi putihnya ikut merah karena lipstik itu ikut bercampur dengan makanan yang di kunyanya. Dengan penuh melankolis dan agak grogi becampur rasa takut, aku usap gigi itu dengan selembar tisu. Dia hanya membalas senyum dengan bibir yang merekah merah.
Siang itu, setalah makan kita bercengkarama sebentar. Lalu dia ingin dihantarkan ke masjid, karena adzan sholat dhuhur sudah berkumandang. Aku hantarkan dia sholat ke salah satu masjid di kotaku. Masjid yang besar dan gagah itu. Menurutku sudah terlalu sedikit orang yang datang berjamaah di Masjid itu. Teman perempuanku langsung menuju kamar wudhu, dilepaslah kerudung yang membalut kepalanya. Sedangkan aku di dalam kamar mandi untuk membuang air kecil yang sudah sejak tadi aku menahannya. Dengan tidak sengaja aku melihat dia yang sedang membasuh mukanya. Aku perhatikan gerak-geriknya yang mungkin aku juga hafal dengan gerakkan itu. Setelah berwudhu, aku masih meperhatikannya, lalu dia menoleh ke arahku dengan mengusap wajah yang basah oleh air wudhu itu. Subhanallah. Aku berteriak sekeras-kerasnya terdengar pintu di dobrak oleh ibuku, lalu aku disiram sedayung air ke mukaku. Dengan kaget aku pun bangun dengan rasa kesal karena ibuku menyiram dengan air kesadaran. Tertegun aku dengan dengan mimpi siangku. Aku berfanas besar karena mimpi yang sempat tak aku teruskan, mimpi yang terpatah sebelum aku melihat sepenuhnya wajah perempuan yang hadir dalam mimpi tadi. Wajah perempuan yang membuat aku berteriak seperti orang kesurupan. Entalah, perempuan sekarang memang kadang menakutkan dengan wajah yang seperti topeng beralis pensil dan berbibir tebal gintu.
Perempuan yang kulihat di kamar mandi itu. Adalah perempuan yang tadi malam aku senggamai tanpa rupa. Rupa yang rata, rupa yang tanpa lipstik dan pensil alis putih persis seperti dia mengusap air wudhu. Dalam persenggamaan aku tak mampu menikmati desah nafas perempuan itu. Serta tubuh yang sensasional itu. Justru aku tenggelam dalam rasa ketakutan yang teramat sangat. Dalam ketakutan dalam hatiku berbisik. Perempuanlah yang menjadikan Adam terhempas dari surga. Sekarang, perempuan-perempuan sembunyi di balik lipstik dan pensil alis. Bukankah semua itu adalah ilusi?.
Penulis : Kumaidi