Oleh : Sri Wiyono
‘’Mumet saya Pak, akibat efisiensi ini, anggaran untuk beli ATK saja tidak ada sekarang,’’ keluh kawan saya, seorang pejabat struktural di salah salah satu lembaga vertikal. Dan, keluhan serupa kemudian hilir mudik di telinga saya. Mulai suara keluhan dari staf di lembaga pemerintahan, sampai pejabat dan pegawai BUMN.
Lalu bagaimana dengan kami rakyat biasa. Masih adakah ruang untuk berkeluh kesah? Ketika para pejabat yang dicitrakan ‘kecek duwit’ juga ikutan-ikutan ngeluh. Seperti yang tergambar dalam sebuah obrolan saling sahut pendapat di sebuah grup WA yang juga saya ikuti.
Anggota grup WA ini beragam profesi. Ada ASN, guru, pengusaha, anggota dewan, jurnalis, bahkan, yang pengangguran pun kemungkinan ada hehehe….!
Maka begitulah ketika obrolan menyangkut efisiensi, semua kemudian tiba-tiba menjadi sensitif. Seolah ingin mengumumkan bahwa dirinya menjadi yang paling korban. Berbagai argumen menguap.
Maka dalam obrolan tersebut, kawan anggota grup yang kebetulan sebagai anggota dewan menjadi bulan-bulanan. Wajar, karena para wakil rakyat selama ini dicitrakan sebagai pihak yang ‘kecek duwit’. Dan ini sudah menjadi rahasia umum. Maka, ketika sang wakil rakyat ini juga menyampaikan keluhan, langsung diserang ramai-ramai. Seolah haram bagi dia untuk sambat atas keadaan, hehehe..
Jika (mohon maaf) mereka-mereka yang sebagian kebutuhan hidupnya ditopang oleh negara melalui gaji, tunjangan, biaya operasional dan sejenisnya saja masih sambat. Lalu bagaimana dengan warga biasa yang tak punya gaji bulanan, yang tak punya tunjangan jabatan dan kemungkinan-kemungkinan menerima pemasukan lainnya dari kegiatannya? Ah..Indonesia gelap, begitu kata para mahasiswa yang menggelar demo protes atas kondisi saat ini.
Beberapa warga yang kritis, yang kebetulan ketika menjadi mahasiswa adalah seorang aktifis, dan sampai sekarang juga tetap aktiis di sejumlah organisasi kemasyarakat maupun organisasi keagamaan menyodorkan fakta. Efisiensi hanya untuk kalangan tertentu saja. Karena untuk kalangan atas tidak ada efisiensi.
Tudingan ini bareng-bareng diarahkan para pemerintah. Persis seperti para mahasiswa yang mengarahkan jari telunjuknya pada wajah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Mereka menilai bahwa pemerintahan Prabowo justru boros.
Fakta yang diusung adalah gemuknya pemerintahan yang dibangun. Jumlah kementerian di Kabinet Merah Putih milik Presiden Prabowo sangat gemuk. Jumlahnya jauh lebih banyak dibanding jumlah kementerian milik presiden-presiden sebelumnya. Meski pasti ada alasan kuat di balik itu. Tetap harus yakin bahwa pemerintah pasti tak bakal berniat menyengsarakan rakyatnya.
Mengutip tempo.com, jumlah menteri pada Kabinet Merah Putih memang lebih banyak. Presiden Prabowo dibantu oleh 7 Menteri Koordinator (Menko), 41 Menteri, 55 Wakil Menteri ditambah 5 pejabat setingkat menteri. Jumlahnya ada 108 pejabat dan jabatan yang harus dibiayai.
Para pejabat itu tentu menerima gaji, menerima tunjangan, berhak atas biaya operasional lembaganya dan sebagainya. Bisa dibayangkan, berapa anggaran untuk para pejabat ini dalam sebulan, setahun dan selanjutnya. Sehingga, warga yang kritis kemudian menarik benang merah, efisiensi dalam bentuk pemotongan anggaran pemerintah itu, bukan benar-benar efisien, namun hanya pengalihan anggaran untuk mengucurkan anggaran di lokasi lain.
Bandingkan dengan jumlah anggota kabinet presiden sebelumnya. Kabinet Reformasi Pembangunan milik Presiden B.J.Habibie berjumlah 36 menteri. Kemudian Kabinet Persatuan Nasional milik Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berjumlah 34 menteri. Jumlah lebih sedikit menteri ada pada Kabinet Gotong Royong milik Presiden Megawati yang hanya 30 menteri.
Lalu selama dua periode menjabat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempuyai 34 menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu yang dia bentuk. Begitu juga Presiden Joko Widodo dengan Kabinet Indonesia Maju nya yang selama dua periode menjabat juga memiliki 34 menteri.
Maka, dampak efisien itu sangat panjang. Lingkaran api mulai terbentuk, dan masing-masing pihak saling terkait. Akibat anggaran sebuah lembaga pemerintah dipangkas, hingga kemudian tidak bisa melakukan pengadaan atau membuat proyek besar. Maka, bakal ada pengusaha atau rekanan yang berhenti bekerja. Karena rekanan tidak ada kegiatan, maka sekian puluh atau sekian ratus orang yang biasanya bekerja di bawah rekanan terseut akan berhenti bekerja juga.
Akiat sebuah perusahaan kontraktor yang tidak ada proyek, maka dia tidak bisa menggandeng rekanan-rekanan lain. Para karyawan juga tidak bisa bekerja. Para tukang juga menganggur, padahal tukang punya anak istri yang harus dinafkahi. Karena bapaknya yang tukang bangunan tidak bekerja, maka anaknya telat membayar iuran sekolah, uang kuliah dan lainnya.
Karena tidak ada proyek fisik, maka produsen bahan bangunan juga berkurang penjualannya, berkurang keuntungannya. Karena penjualan kurang, produksi juga dikurangi, yang tentu berimbas pada jam kerja karyawan yang juga berkurang. Karena jam kerja berkurang, maka gaji dan tunjangan juga berkurang, bahkan bonuspun hilang.
‘’Dulu, tiap tri wulan da bonus, bonus tahunan banyak serta bonus-bonus lain. Sekarang sudah tidak ada, ‘’ keluh salah satu kawan yang sebagai karyawan sebuah BUMN.
Karena pendapatan berkurang, daya beli juga berkurang. Harus mengetatkan ikat pinggang. Karena daya beli masyarakat turun, pada pedagang banyak yan tidak laku. Jangankan keuntungan, modalnya saja ikut raib. Terlebih pedagang di bisnis kuliner atau makanan dan olahan yang siap santap. Tentu tidak bisa bertahan berhari-hari.
Maka guyonan kawan-kawan ; apakah Lebaran kali ini masih bisa ‘nggoreng kopi’ atau tidak? Karena keadaan yang sulit, sumber pemasukan macet, sedang kebutuhan tak bisa diajak kompromi. Baju Lebaran, kue Lebaran akankah terbeli hehehe…
Tapi, semua itu adalah fakta dunia, fenomena yang saat ini terjadi, yang hadir di depan mata, bisa dilihat secara nyata. Sebab, bagi kaum beriman ada dimensi barokah, ada dimensi gaib, ada dimensi sifat Rahman Allah yang diyakini. Bahwa ketika Tuhan berkehendak, maka tidak ada yang tidak mungkin. Maka, biar dunia dalam kondisi sesulit apapun, problem dan masalah ekonomi melilit sekuat apapun, ketika Tuhan berkehendak memberi rejeki, maka semua fakta itu tak ada artinya.
‘Wa mayyattaqillāha yaj’al lahụ makhrajā wa yarzuq-hu min ḥaiṡu lā yaḥtasib ‘(dari penggalan surat At-Thalaq). Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga, atau dari arah yang tak disangka-sangka.
Muslim mayoritas kenal dengan ayat ini. Setidaknya bagi muslim, atau seharusnya seorang muslim punya keyakinan ini dalam hatinya. Sehingga bisa mengurangi kegalauannya, kalau tidak bisa mengilangkan sepenuhnya kegalauan itu. Lalu melahirkan keyakinan, beriman bahwa semua yang terjadi adalah kodrat dan iradatnya Allah. Sehingga kemudian muncul tawakal.
Karena dalam lanjutan ayat di atas Allah tegas berjanji : wa may yatawakkal ‘alallāhi fa huwa ḥasbuh, innallāha bāligu amrih, qad ja’alallāhu likulli syai`ing qadrā. ‘’ (maka) Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allahlah yang menuntaskan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah membuat ketentuan bagi setiap sesuatu’’.
Maka sudahkah Anda membeli baju Lebaran tahun ini? Sudah berapa macam kue Lebaran yang Anda siapkan? Jangan khawatir rejeki Allah min ḥaiṡu lā yaḥtasib, dari arah yang tak disangka-sangka,maka tetaplah bersyukur agar ditambah nikmatnya. Wallahu a’lam.(*)