Oleh : Sri Wiyono

Lebaran Idul Fitri 1446 H sudah usai. Begitu pula liburannya. Hari ini, para pekerja, para karyawan dan semua yang menjalani profesinya, kembali para rutinitasnya masing-masing. Bagi para perantau, rerata sudah sejak sehari sebelum kembali pada rutinitas keseharian sudah sampai di tempat perantauan. Menyiapkan diri untuk kembali berkejaran dengan waktu, pekerjaan dan kebutuhan.

Mudik dan balik Lebaran, dua kata yang begitu familiar diucapkan menjelang dan usai Lebaran. Bahkan, aparat keamanan, khususnya Kepolisian sampai membuka operasi khusus menjelang dan usai Lebaran. Operasi Ketupat namanya, yang digelar rerata satu minggu sebelum dan sesudah Lebaran. Operasi khusus ini untuk menjamin pelaksanaan mudik dan balik Lebaran aman dan nyaman.

Mudik atau kembali ke tanah kelahiran dari daerah rantau saat Lebaran. Sungkem dan berjabat serta mencium tangan, khususnya pada orang tua, keluarga, sanak famili, handai taulan dan sebagainya. Apa pentingnya? Karena tradisi mudik kini, konon hanya ada di Indonesia.

Bukankah orang tua, terutama ibu adalah ‘pembohog terbesar’ bagi anak-anaknya? Saya teringat sebuah film lama berjudul ‘Orang Kaya Baru’ yang di antaranya dibintangi Lukman Sardi dan Cut Mini yang berpesan sebagai suami istri dengan tiga anak. Mereka menjalani kehidupan yang sederhana.

Bahkan, (mohon maaf) dalam film itu diceritakan, sebagai istrinya Lukman Sardi, Cut Mini sampai tidak pernah dibelikan sekadar BH selama mereka hidup bersama. Cut Mini hanya punya 2 pasang BH yang dipakai gantian saban hari, meski kondisinya sudah molor-molor. Saking sederhananya kehidupan keluarga ini.

Adegan yang menarik adalah ketika di meja makan. Sebagai bapak, Lukman Sardi menjadi pemimpin yang bijaksana. Dan, lazimnya orang tua, Lukman Sardi juga melakukan kebohongan pada anak-anaknya. Setiap makan, dia hanya mau mengambil lauk berupa kepala ikan. Sedangkan badan ikan dibagikan kepada ketiga anaknya.

Saat ditanya, Lukman Sardi beralasan, dia mendapat ilmu itu dari orang tuanya dulu. Bahwa kebiasaan makan kepala ikan menjadikan orang bisa pintar mencari uang. Selalu itu yang disampaikan pada anak-anaknya. Meski sering alasan itu dikritik oleh anak-anaknya, karena alasan itu sangat tidak beralasan.

Sebab, kehidupan mereka masih biasa-biasa saja. Lukman Sardi terbukti tidak bisa mendapat uang lebih dari sekadar menutup kebutuhan sehari-hari. Kritikan dan bantahan Lukman Sardi di meja makan itu, terjadi bak air sungai, mengalir, dan penuh canda tawa. Kondisi keluarga yang ceria dan penuh kebersamaan ini, kelak menjadi hal yang dirindukan si Bungsu ketika keluarganya tetiba menjadi kaya raya dan banyak duit.

Namun, kebijksanaan Lukman Sardi kepada anak-anaknya tak bergeser. Ketiga anaknya kuliah dan sekolah di perguruan tinggi terbaik. Si Sulung yang cowok kuliah di jurusan seni dan bercita-cita menjadi sutradara handal. Yang tengah cewek,  dikenal cerdas dan pintar kuliah di jurusan teknik dan bercita-cita menjadi arsitektur. Dan si Bungsu masih di sekolah dasar elit.

Bisa dibayangkan bagaimana tiga anak ini menjalani keseharian dalam pendidikan di tengah teman-temannya yang rerata dari keluarga kaya raya. Hebatnya, mental tiga anak ini kuat dalam menghadapi bullyan teman-temannya. Dan mereka selalu bisa berkelit atas keterbatasan yang dipunyai untuk mencari jalan keluar dari kesulitan.

Dalam satu adegan, Lukman Sardi yang pada keluarganya mengaku bekerja di sebuah bengkel keukeuh anaknya harus bersekolah di sekolah terbaik, mendapat pendidikan terbaik, saat Cut Mini mengeluhkan biaya sekolah anaknya, sedangkan pendapatan keluarga minim. Bahkan, Cut Mini sebagai istri ikut membantu menopang kebutuhan keluarga dengan membuat kue yang dititipkan ke warung-warung.

Pada adegan selanjutnya, Lukman Sardi terbukti benar-benar pembohong. Ini terungkap saat dia kemudian meninggal dunia usai makan malam yang hangat bersama anak-anaknya, dan seperti biasa diselingi saling ledek dan bersenda gurau. Usai makan dia duduk di kursi di teras depan. Lalu, dia ditemukan sudah tidak bernafas oleh anak perempuannya.

Usai kematian Lukman Sardi kebohongannya terungkap. Ternyata dia tidak kerja di bengkel seperti pengakuannya. Karena kebohongan ini, dia tidak pernah mengajak keluarganya ke bengkel tempat kerjanya. Kebohongan kedua adalah, dia bukan orang sederhana, karena dia adalah pria dengan warisan harta dan uang yang melimpah.

Pengacaranya yang kemudian menunjukkan surat wasiat sekaligus memutar video pesan dan pernyataan Lukman Sardi untuk keluarganya. Video ini boleh diputar setelah dia meninggal. Pada pesan di video itu, dia memberikan uang yang banyak pada istri dan anak-anaknya. Hingga kemudian, keluarga yang ditinggalkannya itu menjadi orang kaya baru (OKB). Semua yang diinginkan bisa didapat, bisa dibeli, karena uangnya tak terbatas.

Selama ini, Lukman Sardi sengaja mendidik keluarganya menjadi orang yang sederhana dengan tujuan agar bisa menghargai apa yang dimiliki. Menghargai kebersamaan dan hangatnya sebuah keluarga, meski kalau makan harus membagikan seekor ikan untuk seluruh anggota keluarga.

Niat ini setidaknya benar, karena pada satu titik, keluarga kaya baru ini merasakan hidup yang hampa ketika semua dengan mudah bisa didapat. Karena rumahnya besar, dan tentu saja mewah, interaksi antarmereka menjadi jarang. Seluruh anggota keluarga sibuk dengan kegiatannya masing-masing. kehangatan dalam keluarga hilang.

Sang ibu yang dermawan, sibuk dengan kegiatan sosialnya memberi santunan dan bantuan sana sini. Diliput TV dan diunggah di media sosial. Bahkan setiap hari dia membagikan uang pada pengamen jalanan yang ditemui, hingga para pengamen jalanan selalu menunggu Cut Mini lewat dengan harapan dibagikan uang. Dan harapan itu selalu terpenuhi.

Cut Mini dan dua anaknya masing-masing punya mobil jenis Mini Cooper yang tak murah. Masing-masing juga punya sopir pribadi. Masing-masing sibuk. Si Sulung sibuk dengan proyek pentas teaternya. Si Tengah yang cewek sempat mengkhawatirkan karena mulai salah pergaulan dan sering pesta serta mengunjungi tempat hiburan malam.

Bahkan, dia nyaris menjadi korban jaringan narkoba, saat temannya memaksanya minum pil terlarang. Beruntung dia tak menelannya, dan kemudian membuang pil yang disimpan di mulutnya itu ke kloset toilet. Saat dia di dalam toilet dia mendengar obrolan dua teman barunya yang dikenal dari keluarga kaya, yang ternyata dua teman tersebut punya maksud jahat padanya.

Ditinggal tiga orang yang selama ini selalu membersamainya, bahkan selalu menemaninya makan, membuat si Bungsu merasa kesepian. Dia selalu tak selera makan, karena di meja makan yang mewah itu, dia hanya sendirian. Meski di atas meja terhidang berbagai makanan yang mewah dan tentunya lezat, namun tak membuatnya merasa bersemangat untuk makan.

Bahkan, dalam satu adegan, si Bungsu ini memanggil asisten rumah tangga (ART) nya untuk menemaninya makan di meja makan keluarganya. Tentu, ini tidak lazim dan pantangan bagi ART. Dua ART yang dipanggil itu nampak takut untuk makan di meja makan majikannya. Dan, atas perintah si Bungsu, yang memintanya ditemani makan, dua ART itu akhirnya mau makan juga, meski dengan canggung.

Di akhir film ini, keluarga kaya baru itu akhirnya sadar, bahwa kemewahan tak membuat kehidupan mereka menjadi bahagia. Karena terasa kosong dan mulai banyak konflik. Maka ketika lagi-lagi atas pesan video dari Sang Ayah yang disampaikan oleh pengcara, semua fasilitas dan kemewahan ditarik kembali.

Keluarga Cut Mini kembali hidup kekurangan dan harus kembali ke rumah lamanya yang sempit. Bahkan, ada adegan si Sulung memperbaiki kipas yang butut agar mau berputar lagi untuk mengusir hawa gerah di ruangan. Justru kembali pada kehidupan lamanya yang bertahun-tahun di jalani dengan kekurangan dan sekian kesulitan, menjadikan keluarga ini kembali kompak dan hangat. Ah, ada-ada saja.

Kembali ke bahasan. Bagaimana dengan ibu? Dialah pembohong terbesar itu bagi anak-anaknya. ‘Kebohongan’ ibu sering lebih besar dibanding bapak. Sering kali soal makanan, sang ibu berbohong tidak suka, alergi atau gak biasa makan makanan tertentu. Padahal sebenarnya, sang ibu ingin agar makanan itu dimakan oleh anak-anaknya.

Pun saat ada makanan dan sang ibu mengaku belum lapar, masih kenyang, atau sudah memakannya tadi, padahal dia perutnya keroncongan. Sang ibu ingin memastikan anak-anaknya makan kenyang, meski dirinya sendiri lapar.

Dia rela. Anak-anak tak menyadari, dan menganggap alasan sang ibu itu benar. Anak-anak baru menyadari ‘kebohongan-kebohongan’ itu ketika kelak sudah dewasa dan sudah memiliki keluarga dan anak-anak tentunya.

Lalu kenapa kita jauh-jauh mudik untuk sungkem dan mencium tangan para ‘pembohong’ itu? Bahwa akibat ‘kebohongan’ itulah kita bisa tumbuh sehat, menjadi dewasa dan bisa bekerja menghasilkan uang sendiri. Bahwa dengan tirakat dan doa-doanyalah kemudian Allah memberikan kita kemudahan dalam studi dan berusaha. Bahkan, berkat doa ‘para pembohong’ itu kita bisa menakhlukkan dunia dan sukses.

Lalu, sepadankah kesulitan saat kita menjalani mudik untuk alasan-alasan tersebut. Ketika ‘para pembohong’ itu masih ada, maka sungkem dan mencium tangannya adalah berkah yang luar biasa. Ketika sudah tidak ada, maka mendatangi pusaranya dan mendoakan juga tak kalah khidmat.

Bahkan, tidak sepadan rasanya mudik beserta kesulitan dalam perjalanan dibandingkan dengan ‘kebohongan-kebohongan’ yang pernah dilakukan orangtua kita. Dengan lantunan doa-doa dan tirakat orang tua untuk kita. Kita belum tentu bisa meniru ‘kebohongan-kebohongan’ tersebut.

Jangan bilang membalas jasa, karena anak tak akan mampu membalas jasa orang tuanya. Meski sang anak merawat orang tuanya sekalipun. Ada kata-kata bijak : ‘Seorang ibu bisa merawat dua, tiga, empat, lima  bahkan lebih anak-anaknya dengan kasih sayang yang tulus. Namun, seorang anak belum tentu bisa merawat satu orang ibu dengan baik’.

Belum lagi ajaran agama, bagaimana anak harus memperlakukan orang tuanya dengan baik, menghormati, menyayangi dan merawatanya. Dalam ungkapan Jawa ada istilah ; ‘mikul duwur, mendhem jero’  dan ajaran-ajaran luhur lain bagaimana interaksi dan relasi anak dengan orang tuanya.

Lalu nikmat apalagi yang harus Anda dustakan ketika mudik dan bisa ketemu orang tua, bisa sungkem dan mencium tangannya. Jadi, selalu ada alasan yang kuat bagi para perantau untuk mudik Lebaran. Meski barangkali mudik juga menjadi ajang pamer keberhasilan di tanah rantau. Selamat Idul Fitri, minal aidin walfaizin. Taqobalallahu minna waminkum, taqobbal yaa kariim..Wallahu a’lam.(*)

 

 

 

 

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *