Oleh : Sri Wiyono

Suatu siang, beberapa hari lalu di Bulan Ramadan, di jalanan Kota Tuban, saya ketemu dengan seorang lelaki tua yang tubuhnya udah agak bungkuk. Dia memikul dua keranjang berisi berbagai barang. Ada pisau dapur, sumbu kompor, benang jahit, saringan teh, saringan santan, ember, parutan kelapa dan lain sebagainya.

Saya melewatinya, karena pria tua ini berjalanan berlawanan arah dengan saya yang mengendarai motor. Sekilas saya melihat barang yang sudah lama saya ingin beli. Tambal panci. Ya, tambal panci yang berbentuk lembaran semacam stiker dengan warna putih perak itu, sudah ada di angan saya sejak lama.

Saya sempat berniat membeli tambal panci itu di pasar, namun belum kesampaian. Tambal panci itu, akan saya gunakan untuk menambal mesin pompa air di rumah yang bocor. Bocor alus, karena air yang keluar dari bocoran di mesin pompa air itu sangat kecil, namun sangat mengganggu karena lebih dari satu.

Sebelum kepikiran untuk membeli tambal panci, saya sudah berusaha menutup kebocoran itu dengan cara mengecat dan memberi lem besi, namun bocor alus masih ada. Sehingga, jika mesin pompa air dinyalakan, ada sedikit genangan air di lantai dekat mesin pompa tersebut.

Karena ingat lagi butuh tambal panci, saya putar balik. Lalu memanggil lelaki tua itu. Lelaki itu berhenti, lalu saya turun dari motor dan menghampirinya.

’Meniko tambal panci Mbah. Saget damel nambal talang nopo wadah seng?’’ (Itu tambal panci Mbah, apa bisa untuk menambal talang dan tempat dari logam),’’ tanya saya.

’Nggih saget, saget didamel nambal sembarang, (ya bisa, bisa nambal semua),’’ jawab lelaki tua itu.

’Pintenan Mbah? (berapa harganya),’’ tanya saya lagi.

’Gangsal ewu (lima ribu),’’ jawabnya.

Ya, tambal panci itu sudah dipoton dengan panjang sekitar 1 meteran dan lebar sekitar 10 sentimeter (cm). Satu lembar diharai Rp5 ribu.

’Nyuwun tigo Mbah, (beli tiga Mbah),’’ kata saya.

‘’Alhamdulillah,’’ ucapnya lirih, sambil menarik tiga lembar tambal panci itu dari keranjangnya. Namun, saya masih bisa mendengar suara lirih itu.

Saya tertegun sebentar, sebelum mengulurkan uang Rp15 ribu pada lelaki tua ini. Lelaki tua itu dengan spontan mengucap syukur atas rejeki Rp15 ribu yang didapatnya kala itu. Muka rasanya tertampar, karena sering mengeluh dan merasa kurang, dengan rejeki yang jauh lebih banyak dibanding yang didapat lelaki tua ini. Rerata dari kita juga tidak pandai bersyukur.

Barangkali ada yang membantah, kebutuhan lelaki tua itu tak sebanyak kita. Sehingga dengan Rp15 ribu sudah bersyukur. Siapa bisa memastikan!. Kebutuhan kita misalnya untuk bayar sekolah, uang kuliah, tagihan ini, tagihan itu dan tetek bengek kebutuhan lain, hingga muncul jumlah yang besar.

Siapa tahu lelaki tua itu juga tak seringan anggapan kita beban di pundaknya. Siapa tahu di rumah lelaki tua itu ditunggu istrinya yang sedang sakit, tunggakan listrik yang belum kebayar. Bahan makanan dan bumbu dapur yang kebetulan habis, persiapan Lebaran dan kebutuhan-kebutuhan lain yang barangkali tak kalah banyak dari kebutuhan kita. Namun, lelaki tua ini tetap bersyukur atas apa yang ada. Atas rejeki yang dia terima. Lalu kita…??

Tamak, selalu merasa kurang dan membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain, memang sifat dasar manusia. Kalau sifat tamak ini tidak dikelola, maka akan menjemuskan diri pada tindakan yang negatif, bahkan dibenci oleh Tuhan. Bukanlah muslim diharapkan sebagai pribadi yang pandai bersyukur. Bahkan ancaman atas orang yang kufur, atau tidak mau bersyukur atas nikmat yang diberikan padanya, siksanya teramat pedih.

Rasa selalu kurang atas yang kita miliki, membawa pada kesengsaraan karena nekat melanggar aturan. Misalnya yang sedang diamanahi jabatan, atau diamanahi mengelola keurangan. Karena kesempatan ada, dan rasa syukur kurang, tak jarang berani korupsi. Dan kalau kita lihat di berita-berita, tersangka atau pelaku korupsi bukan orang tergolong miskin ekonominya.

Maka menata hati dan merasa cukup atas nikmat yang kita terima lebih baik, dibanding terus merasa kurang dan tidak bersyukur atas apa yang ada. Memelihara sifat tamak bisa  menjadi sumber penyakit, menyakiti hati dan mental, yang pada gilirannya mengundang sakit secara fisik. Tamak bisa membentuk karakter dan mental miskin. Sehingga, maunya hanya menerima tanpa mau mengeluarkan atau sedekah misalnya.

Di akhir-akhir Ramadan seperti sekarang ini, biasanya muncul fenomena di tengah masyarakat berlomba-lomba menampakkan kesalehan sosial. Mulai membagikan zakat, sedekah, santunan dan sebagainya.

Bahkan, sejak awal Ramadan kesalehan sosial juga mulai nampak. Budaya membagikan takjil gratis marak. Hanya, kebanyakan dibagikan di pinggir jalan-jalan raya. Menimbulkan kerumunan, yang melahirkan kemacetan di jalan. Tentu saja ini mengganggu pengguna jalan lainnya. ‘’Ah hanya sebentar saja kok. Toh tidak tiap hari,’’ begitu barangkali alasannya.

Padahal rerata membagikan takjil butuh waktu minimal 30 menit. Jika selama itu terjadi kemacaten, lalu ada kondisi darurat atau pengguna jalan yang punya urusan sangat mendesak, lalu terjebak macet gegara kegiatan ’kesalehan sosial’ ini, bagaimana?

Belum lagi fenomena pembagian zakat langsung oleh para dermawan pada warga yang membutuhkan. Ya, orang-orang yang datang ke lokasi pembagian zakat kita anggap orang yang butuh.  Dan, karena mental selalu butuh, maka warga yang mendatangi lokasi seperti ini juga sangat banyak.

Tak jarang kegiatan pembagian zakat juga menimbulkan kerumuman luar biasa. Bahkan, sering ada korban jiwa. Warga yang antre menerima zakat meninggal di lokasi karena kelelahan, saling berdesakan, bahkan terjatuh dan terinjak.

Ingat tragedi pembagian zakat di Pasuruan, Jawa Timur pada September 2008 silam? Saat itu 21 orang meninggal dunia, dan puluhan lainnya luka-luka akibat saling berdesakan ketika antre menerima zakat dari seorang dermawan. Jumlah zakat yang dibagikan kala itu Rp30ribu per orang. Yang datang ribuan orang. Lokasinya tidak memadai.

Akibat peristiwa, anak lelaki Sang Dermawan yang menjadi ketua panitia pembagian zakat  itu dihukum 3 tahun penjara karena dianggap lalai dan mengakibatkan korban jiwa.

Sebelumnya, tahun 2007 seorang warga di Gresik juga diberitakan meninggal saat antre pembaian zakat di rumah seorang dermawan. Di Jakarta pada 2003 juga ada 3 warga meninggal dalam kegiatan yang sama, termasuk pada 2014 di Makassar saat keluarga mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla membagikan zakat, satu orang meninggal.

Ketika melihat fenomena itu, hati merasa miris. Kesenjangan sosial begitu kentara dan menampar di muka kita. Dermawan yang rumahnya gedong berpagar tinggi, membagikan uang pada ribuan orang yang antre di luar pagar. Wajahnya kuyu, pakaiannya lusuh dan penampilannya acak-acakan. Menyedihkan.

Belum cukupkah pelajaran dari meninggalnya warga yang antre zakat itu? Karena itu, pengelolaan zakat dan cara pentasyarufannya barangkali perlu diubah menjadi yang lebih manusiawi dan memanusiakan mustahik atau mereka yang berhak menerima zakat. Kesalehan sosial memang sangat bagus, bahkan penting. Namun, jika membawa petaka atau menarik hal negatif barangkali butuh dipertimbangkan lagi.

Kalau ngomong soal kaya dan miskin, sampai kiamat juga tidak akan selesai. Bahwa selalu ada figur kaya dan figur miskin. Menghapus kemiskinan juga hampir mustahil. Sunatullah. Tapi cara mengelola dan mengatasinya bisa disesuaikan.

Toh, sekarang sudah ada lembaga-lembaga amil zakat yang diakui pemerintah. Misalnya lembaga yang dikelola pemerintah Baznas, atau LazisNU milik Nahlatul Ulama (NU), ada LazisMU milik Muhammadiyah atau lembaga lain yang para dermawan percayai untuk tempat penyaluran zakatnya. Agar penyaluran zakat tidak memunculkan pemandangan yang menyedihkan sebagaimana fenomena pembagian zakat langsung dari dermawan ke penerima tersebut.

Ada juga fenomena warga yang menjemput sedekah atau zakat ini. Hari-hari terakhir Ramadan, di beberapa kampung di Tuban Kota biasanya mulai muncul kelompok-kelompok orang yang bertamu dari rumah ke rumah untuk meminta zakat. Jarang mereka datang sendirian, hampir selalu berkelompok, tiga orang, lima orang, bahkan lebih.

Puncaknya, pada malam takbiran dan pada Hari Raya Idul Fitri. Mereka terang-terangan meminta zakat pada pemilik rumah. Bagi rumah yang didatangi, banyak yang sudah hafal di antara wajah-wajah mereka. Sebab, sebagian adalah para ‘penjemput sedekah’ yang mendatangi rumah-rumah warga setiap Hari Jumat. Rerata mereka masih terlihat sehat, bahkan ada yang masih muda, yang kelihatan kuat jika misalnya bekerja.

Kelompok ‘penjemput sedekah dan zakat’ ini, semakin banyak pada malam takbiran dan Hari Raya Idul Fitri. Karena muncul kelompok-kelompok baru. Bahkan, juga kelompok pemuda-pemudi, remaja pria dan wanita, yang sungguh dia kelihatan sangat kuat jikalau mau bekerja. Di beberapa kampung di Kota Tuban, pemandangan seperti ini seolah menjadi tradisi. Entah mulai kapan ini terjadi, dan sampai kapan akan berlangsung.

Apakah mereka itu tergolong yang bermental miskin, atau keterpaksaan, atau sudah merasa nyaman dengan mencari uang dengan cara yang terlihat ringan seperti itu. Atau mereka hanya orang-oran yang malas berusaha dan bekerja? Bukankah pepatah mengatakan; tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah? Wallahua’lam.(*)

 

 

 

 

 

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *