Oleh : Fathul Amin

Di sebuah kota besar yang gemerlap, hiduplah seorang pemuda bernama Hilal. Ia bukan orang kaya, bukan pula seseorang yang memiliki jabatan tinggi. Ia hanya seorang pekerja serabutan yang setiap hari berangkat pagi dan pulang menjelang malam. Namun, ada satu hal yang membedakan Hilal dari banyak orang di sekitarnya—ia selalu tersenyum dan terlihat bahagia.

Suatu hari, seorang teman bertanya kepadanya, “Hilal, bagaimana mungkin kau selalu terlihat bahagia, padahal hidupmu penuh keterbatasan? Kami yang memiliki gaji besar dan fasilitas mewah justru sering merasa stres dan tidak puas dengan apa yang telah kami dapatkan. Apa rahasianya?”

Hilal tersenyum dan menjawab, “Aku bersyukur dengan apa yang aku punya. Kebahagiaan tidak datang dari memiliki segalanya, tetapi dari menghargai apa yang ada.”

Jawaban sederhana itu menggugah banyak orang. Mereka yang terbiasa mengejar dunia tanpa henti, yang merasa kurang meskipun telah memiliki banyak hal, mulai menyadari bahwa kebahagiaan bukan soal memiliki lebih banyak, tetapi tentang menerima dengan hati yang lapang.

Di era modern ini, kita hidup dalam budaya yang menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Media sosial menampilkan kehidupan yang tampaknya sempurna—mobil mewah, liburan ke luar negeri, rumah besar, dan segala bentuk kemewahan lainnya.

Kita pun tanpa sadar membandingkan diri sendiri dengan orang lain dan merasa hidup kita tidak cukup baik. Akibatnya, kita terus berlari mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak memiliki ujung.

Namun, apakah benar kebahagiaan ada pada harta yang berlimpah? Banyak orang yang telah mencapai kesuksesan materi justru merasa kosong. Mereka memiliki segalanya, tetapi kehilangan makna dalam hidupnya. Inilah yang terjadi ketika kita melupakan rasa syukur.

Bersyukur adalah seni melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lebih luas. Ketika kita bersyukur, kita tidak hanya fokus pada apa yang kurang, tetapi juga menghargai apa yang sudah ada. Bahkan dalam keterbatasan, selalu ada nikmat yang bisa kita syukuri—kesehatan, keluarga, sahabat yang baik, atau sekadar udara segar yang kita hirup setiap hari.

Dalam Islam, Allah berfirman: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7). Ini menunjukkan bahwa bersyukur bukan hanya membuat kita lebih tenang, tetapi juga menjadi sebab bertambahnya kebaikan dalam hidup kita.

Menghargai Hal-Hal Kecil

Mulailah dengan mensyukuri hal-hal kecil seperti udara yang kita hirup, makanan yang kita makan, dan momen kebersamaan dengan orang-orang tercinta.

Tidak Mudah Membandingkan Diri dengan Orang Lain – Ingatlah bahwa setiap orang memiliki ujian dan rezeki masing-masing. Apa yang terlihat sempurna di luar, belum tentu membahagiakan di dalam.

Berbagi dengan Sesama – Salah satu cara terbaik untuk merasakan nikmatnya bersyukur adalah dengan berbagi. Ketika kita membantu orang lain, kita akan semakin sadar betapa banyaknya nikmat yang telah kita terima.

Bersyukur bukan berarti kita berhenti berusaha untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Namun, bersyukur berarti menikmati perjalanan hidup dengan penuh ketenangan, tanpa terbebani oleh perasaan kurang. Di tengah dunia yang semakin hedonis, mari kita kembali kepada esensi kebahagiaan yang sejati: hati yang selalu bersyukur.(*)

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *