Oleh : Agus Fathoni Prasetya
Polemik tentang tempat tujuan belajar ilmu keislaman bagi kaum akademisi sudah tidak begitu menguat seperti halnya pada tahun 2000 an. Baik sarjana yang lulusan dari Barat maupun lulusan dari Timur Tengah sudah banyak tersebar di berbagai perguruan tinggi, menjadi peneliti, pendidik, tenaga ahli dan lain sebagainya.
Pemikiran-pemikiran yang dimiliki dari latar belakang tempat mereka mendalami ilmu keislaman mempunyai ciri khas dan tentunya terdapat kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Sarjana lulusan dari kampus Barat, baik dari Amerika, Eropa, maupun Australia memang diakui mempunyai penguatan dalam metodologi. Pendekatan dalam memahami Islam bukan sebagai agama yang transenden dan normatif, membuat kajian Islam di barat terlihat ilmiah, adil dan objektif.
Hal ini juga diperkuat dengan adanya perkembangan keilmuan di Barat sejak abad ke-19 yang semakin fenomenologis dan positivis, menjadikan pendekatan sejarah agama lebih dominan sebagai paradigma dalam kajian-kajian ilmu agama, termasuk kajian Islam di Barat (Azra, 1999).
Dalam perkembangan ini, tentu kajian Islam di Barat semakin diminati. Pemahaman Islam yang lebih pada kajian tentang historis masyarakat muslim dan peradabannya menjadikan objek kajian keislaman lebih menarik dari pada kajian normatif tentang Alquran dan hadis yang bersifat kumpulan doktrin.
Oleh karena Islam dijadikan objek studi yang ilmiah, maka setara dengan studi-studi ilmiah lainya. Sehingga dalam proses kajianya bebas untuk dikritik secara terbuka tanpa adanya rasa berdosa. Pendekatan dengan metodologi ilmiah inilah yang menjadikan karya-karya studi Islam oleh ilmuan Barat terlihat menarik dan mengagumkan, walaupun bukan berarti tanpa cacat.
Melihat begitu banyaknya kampus-kampus Eropa dan Amerika yang mendirikan studi Islam khususnya yang ada di kawasan Asia, ditambah para ilmuan dan profesor dari Barat yang menghasilkan karya-karya yang fenomenal dalam kajian Islam kontemporer. Membuat pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Agama mendorong dan mengirimkan para dosen atau calon dosen IAIN untuk studi lanjut di kampus-kampus Amerika dan Eropa.
Mereka dikirim secara bergelombang, dan hasilnya banyak para sarjana lulusan kampus Barat yang setelah lulus menjadi dosen dan pengajar di UIN, IAIN, STAIN, dan lainya yang tersebar di seluruh Indonesia.
Tidak heran pada tahun 80 an-90 an terjadi pergeseran pendekatan dalam memahami kajian Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Yang awalnya objek kajian Islam bersifat doktrin dan normatif berubah lebih luas dengan pendekatan, sosiologis, historis, dan empiris.
Beberapa ilmuan dan guru besar lulusan dari Barat seperti Mukti Ali, Harun Nasution, dan beberapa tokoh generasi di bawahnya memberikan warna dan nuansa baru dalam bidang kajian Islam di Indonesia. Penguatan metodologi yang ilmiah terlihat begitu jelas, sehingga kajian-kajian keagamaan yang tadinya lebih sempit dan bersifat hati-hati berubah menjadi luas dan interdisipliner.
Di sisi lain, sebagai tradisi yang sudah berlangsung lama, pengiriman para siswa dan sarjana untuk studi lanjut di kawasan Timur Tengah juga terus dilakukan. Tidak hanya di kawasan Arab Saudi, tetapi juga di Mesir, Asia Selatan, dan Turki. Para sarjana lulusan dari Timur Tengah mempunyai ciri khas memiliki khazanah keislamaan yang begitu mendalam.
Tujuan studi kajian islam di Timur Tengah memang untuk memperdalam ilmu agama yang muaranya memperkuat keimanan dan menjalankan syariatnya. Studi Islam di Timur Tengah menekankan kajian yang normatif dan ideologis. Sehingga Islam tidak dijadikan hanya sebagai objek studi ilmiah tetapi diletakkan sebagai doktrin yang kebenaranya diyakini tanpa keraguan.
Hal ini berbeda dengan pendekatan Islamic studies di Barat, dimana Islam diletakkan sebagai objek studi yang murni dan ilmiah, tanpa komitmen apapun terhadap Islam.
Meski Pendidikan Islam di Timur Tengah lebih pada pendekatan normatif dan ideologis, akan tetapi tidak semua mahasiswa seragam dalam pemikiran. Pendekatan objektif dan ilmiah yang bersumber dari Barat, kadang juga dijadikan pendekatan oleh mahasiswa Timur Tengah.
Walaupun awalnya sekedar perbandingan metodologi, namun tidak sedikit para sarjana menggunakan pendekatan historis dan sosiologis dalam mengkaji persoalan-persolan dalam realita masyarakat muslim. Sehingga banyak juga tokoh ilmuan Timur Tengah yang berpikir secara liberal (Azra, 1999).
Melihat dua pendekatan dalam kajian Islam antara Barat dan Timur Tengah yang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pendidikan Islam khususnya pada Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia ingin memadukan kedua-duanya.
Perpaduan antara studi Islam Timur Tengah yang kaya akan materi dan penguasaan khazanah Islam dengan studi Islam di Barat yang kaya metodologi menjadi Impian yang ingin diwujudkan. Ditambah pada satu dekade terakhir ini Indonesia menjadi rujukan terkait harmonisasi konsep Islam dan negara. Sehingga tidak heran kalau banyak mahasiswa dari luar negeri baik dari Kawasan Asia, Afrika, Timur Tengah, bahkan Eropa yang kuliah di perguruan Tinggi di Indonesia untuk belajar tentang Islam.
Perguruan tinggi Islam di Indonesia ingin mengembalikan masa keemasan dalam sejarah peradaban para ulama Nusantara. Kita tahu bahwa banyak ulama kita yang karya-karyanya diakui di dunia bahkan di Kawasan Timur Tengah yang notabene sebagai pusat dan awal kajian Islam.
Selain itu banyak juga para ulama yang diakui keilmuanya sehingga menjadi pengajar dan mendapat kedudukan tinggi dalam bidang keilmuan Islam seperti halnya Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz At-Turmusi, Syekh Khatib Minangkabau dan banyak lainnya.
Visi perguruan tinggi Agama Islam di Indonesia yang mempunyai cita-cita untuk mencetak sarjana yang ideal ternyata tidak berjalan dengan mulus. Banyak faktor yang menjadikan model perpaduan konsep antara Barat dan Timur Tengah yang diimpikan belum terwujud dan masih menjadi pekerjaan rumah.
Kurikulum yang disusun belum sepenuhnya bisa menjangkau untuk memadukan kedua pendekatan tersebut. Para sarjana yang menguasai metodologi masih terjebak dengan pendekatan sosiologis, historis, dan empiris.
Padahal penguasaan studi Islam juga memerlukan sumber-sumber yang otentik, yang tentunya membutuhkan penguasaan tentang dasar keislaman yang mumpuni baik itu bahasa arab, tafsir, balaghah dan sebagainya.
Dan itu tidak bisa dikejar dalam kurun waktu selama menjadi mahasiswa. Harus ada program pendidikan bertingkat untuk memudahkan dalam memahami keilmuan tersebut seperti halnya di pondok pesantren.
Begitu juga ketika pedidikan Islam yang lebih menekankan pada kajian keislaman yang normatif dan ideologis seperti halnya di pondok pesantren, masih tersandera dengan hafalan yang dianggap tidak aplikatif. Sehingga para sarjananya memang menguasai kajian keislaman yang spesifik seperti tafsir, fiqih, dan tasawuf.
Akan tetapi dianggap  belum sepenuhnya menguasai metodologi yang ilmiah dengan pendekatan historis dan empiris, sehingga belum bisa memecahkan berbagai masalah yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Pada akhirnya, Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah untuk merumuskan model dalam memadukan antara pendekatan Barat dan Timur Tengah, sehingga bisa mencetak sarjana yang intelek sekaligus ulama atau ulama yang intelek.
Impiannya adalah menghasilkan sarjana yang menguasai dan ahli di bidang kajian Islam sekaligus mempunyai kemampuan metodologi yang mumpuni sehingga mampu membaca dan memberikan solusi terhadap problem-problem yang ada di masyarakat.
Dan menurut saya itu sangat bisa diwujudkan karena kita sudah mempunyai role modelnya yaitu Prof. Quraish Shihab dan KH. Bahaudin Nur Salim atau Gus Baha’.(*)