IAINUonline – Banyak dari kalangan orangtua yang yang menginginkan anaknya aktif namun secara praktiknya tidak banyak yang mampu mewadahi keaktifanya sehingga apa yang dilakukan cenderung menciptakan banyak batasan–batasan yang membatasi.

Batas – batas inilah nantinya yang akan menentukan sebuah karakter pada anak. Karakter adalah rangkuman – rangkuman dari hal – hal yang dia lakukan.  Sehingga sesuatu yang diberikan orang tua terhadap anak sangat menentukan bagaimana gambaran anak di masa yang akan datang.

Ada beberapa jenis pola asuh, di antaranya adalah pola asuh demokratis dan pola asuh otoriter.  Pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang mengedepankan sebab akibat. Sedangkan pola asuh otoriter lebih mengedepankan konteks benar dan salah. Dalam dua pola tersebut tentunya keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan demokratis mungkin lebih pada bertanggung jawab karena treatment yang dilakukan adalah memilih salah satu dari banyak opsi beserta risiko yang akan muncul dan bertanggung jawab atas risiko tersebut. Sedangkan pola otoriter anak akan cenderung lebih disiplin karena dogma salah dan benarnya.

Ketidakmampuan mewadahi keaktifan adalah mula dari mulainya pola otoriter, seringkali pola otoriter cenderung menggunakan pola top down. Maksud top down di sini adalah anak harus mematuhi apapun yang diperintahkan orang tua dan beranggapan anak tidak tau mana yang baik dan buruk. Sehingga semua aturan main yang menentukan langsung dari orang tua sehingga anak tidak tahu alasan peraturan itu dibuat.

Pola asuh otoriter cenderung tidak memberikan ruang kepada anak untuk menyampaikan bahkan tidak ada ruang untuk bertanya apa dan mengapa. Orang tua selalu beranggapan bahwa orang tualah yang tahu segalanya.

Kemudian apa dampak dari pola asuh otoriter? Hukum sebab akibat memang tidak pernah bisa lepas dari kita. Apapun yang terjadi saat ini adalah hasil dari pola yang kita berikan di hari kemarin. Anak yang dihasilkan  dari pola asuh otoriter cenderung banyak diam namun cenderung mendominasi kelompoknya, memiliki sedikit keterbatasan kreativitas dan juga lebih keras kepala, cenderung diam karena tidak terbiasa bercerita.

Pola otoriter kerapkali menghasilkan ketidakmampuan dalam mengekspresikan emosi  sehingga cenderung lebih mudah frustasi hingga membanting atau memukul sesuatu untuk mengekspresikan emosi yang dia rasakan dan mempunyai potensi tantrum lebih tinggi. Tantrum sendiri sering diartikan dengan ledakan emosi yang muncul saat keinginannya tidak terpenuhi.

Lalu jika sudah seperti itu, kita harus bagaimana? Jika hukum sebab akibat masih berlaku maka hukum setiap masalah tentu ada solusi juga masih berlaku. Kemudian apa yang harus kita lakukan sebagai orang tua?

Yang pertama mulailah membuka diri, rangsang anak agar mulai berani untuk berkomunikasi dengan nyaman hingga kemudian berani bercerita sehingga orang tua kembali dipercaya menjadi tempat bercerita.

Kurangi pembahasan benar salah dan mulai kenalkan dengan hukum sebab akibat, perkenalkan dengan berbagi opsi beserta resikonya serta memfasilitasi perubahan secara aktif berikut strategi yang mungkin bisa diaplikasikan.

Dalam buku konseling anak – anak karya Kathryn Geldard & David Geldard nama strategi ini adalah “Strategi Monster Dalam Diri Saya”  strategi ini menggunakan  pendekatan terapi perilaku kognitif untuk membantu anak mengenali bahwa ia mempunyai kemampuan mengendalikan perilakunya bukan membiarkan perilaku itu yang mengendalikan dirinya.

Apa yang dilakukan saat memakai strategi ini? Pertama yang harus dijelaskan dari strategi ini adalah kita menjelaskan kepada anak bahwa sebenarnya yang bermasalah bukan dia (anak) melainkan monster yang hidup di dalam diri merekalah yang membuat  mereka mendapat masalah, katakan bahwa ini adalah kesalahan si monster.

Gagasan ini mungkin terkesan sedang membebaskan anak dari tanggungjawab atas perilakunya, tetapi sebenarnya ini adalah awal  menunjukan dengan jelas bahwa anak bertanggung jawab mengendalikan si monster.

Katakan kepada anak bahwa masalah yang didapat karena ada monster dalam dirinya, biasanya monster ini tidur, dan saat ia tidur, ia mengerut dan menjadi sangat, sangat, sangat kecil. Begitu kecil sehingga ukurannya lebih kecil dari seujung jarum. Tetapi jika dia (anak) mulai marah, si monster kemudian bangun dan menjadi besar, semakin besar, besar, dan besar.

Monster kemudian mengambil alih  dan melakukan banyak hal mengerikan ia melempar barang–barang, menendang, memukul dan berteriak–teriak. Akibatnya dia akan mendapat masalah dan tentunya tidak adil. Si monster bisa kembali tidur begitu saja tanpa mendapatkan masalah sama sekali, tetapi dia (anak) yang mendapat masalah.

Kemudian minta anak untuk menggambar monster yang tinggal di dirinya besar–besar dan minta untuk di warnai. Setelah anak selesai menggambar monster itu lalu mintalah untuk menggambar dirinya sendiri pada lembaran kertas lain. Kemudian minta untuk menunjukan di mana monster itu tinggal dengan cara memberi bulatan di gambar dirinya.

Tanyakan apakah monster itu tinggal di perutnya, kepala, atau di tempat lain? Lalu lontarkan pujian yang membuat dia (anak) kuat “sepertinya kamu anak yang kuat”, “tetapi monster juga kuat, apakah sih monster lebih kuat dari kamu, atau kamu yang lebih kuat dari monster?” “ siapa bosnya? Apakah kamu bosnya, apakah monster bosnya?”

Kemudian dorong  anak untuk percaya bahwa dialah pemimpinya, dialah yang lebih kuat. Selanjutnya jelaskan kepada anak bahwa si monster menurut kamu pengecut, ingatkan kembali kepada anak bahwa menurut kamu si monster itulah yang membuat dia (anak) mendapat masalah, dan ini tidak adil.

Lalu sampaikan bahwa si monster menyelinap mendadak tanpa disadari anak sampai situasinya terlambat. Ingatkan kembali bahwa monster itu bangun menjadi besar dan muncul saat dia mulai marah. Kemudian tanyakan  hal pertama apa yang akan terjadi ketika dia mulai marah.

Apa mukanya menjadi merah, tangan mengepal, rambut berdiri?” apa yang terjadi pada dirinya, tujuannya supaya anak mengenali tanda fisiologi  yang memicu ledakan kemarahan. Dalam tahapan ini masuklah ke terapi perilaku.

Katakan kepada anak bahwa si monster sangat pengecut, dan dia tetap menjadi bos yang mampu mengendalikan monster. Jelaskan bahwa saat monster muncul dan dia mampu mengontrol si monster berarti pada saat itu pula dia menjadi pemenangnya, lalu rekap semua kemenangan – kemenangan itu lalu apresiasilah entah dengan ucapan maupun hadiah agar anak kembali kepada kepercayaan dirinya dan kemampuanya sendiri, strategi ini lebih relevan untuk anak usia taman kanak-kanak.

Dalam hal ini tidak ada benar dan salah karena metode apapun itu murni atas pilihan kita yang berperan sebagai orang tua, yang terpenting adalah kita tahu penuh dengan sadar kondisi saat ini dan tahu kita akan kemana di kemudian hari.

Jangan mengasuh dengan perasaan bersalah sebab apapun yang terjadi atas ketidaktahuan kita di masa lalu selalu ada cara untuk memperbaiki pada saat ini.

 

Penulis : Vicky Kurniawan (Mahasiswa Program Studi Psikologi Islam Fakultas Dakwah IAINU Tuban)

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *