Oleh: Khoiriyah
(Prodi Manajemen Dakwah, Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Tuban)
IAINUonline – Kebudayaan adalah cara bersosialisasi suatu masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Kebudayaan juga menjadi acuan pedoman hidup yang cenderung menjadi tradisi.
Tradisi akan tetap ada sampai kapanpun dan sulit untuk diketahui sumber asalnya karena sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu tradisi tampaknya sudah terbentuk sebagai norma yang dibakukan dalam kehidupan masyarakat.
Setiap daerah memiliki tradisi yang berbeda-beda. Tradisi yang sudah sejak dulu dilakukan banyak yang tidak lagi diselenggarakan. Dengan alasan zaman sudah modern banyak orang yang meninggalkan tradisi daerahnya.
Tradisi-tradisi daerah telah banyak yang diberikan nafas keislaman oleh para Wali songo. Contohnya tradisi selametan, selametan merupakan sebuah tradisi ritual yang hingga kini tetap dilestarikan oleh sebagian besar masyarakat Jawa.
Salah satu upacara adat Jawa ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah dan karunia yang diberikan Tuhan. Istilah Selamatan sendiri berasal dari bahasa arab yakni Salamah yang memiliki arti selamat atau bahagia.
Sedangkan Weton adalah hari lahir seseorang yang terdiri dari hari (dino) dan pasaran. Selametan weton merupakan bentuk cara mensyukuri kelahiran seseorang ke bumi ini. Dan dalam adat jawa hal ini diperingati setiap hari kelahiran sesuai dengan penanggalan jawa.
Hari kelahiran berdasarkan weton merupakan perpaduan antara penanggalan masehi dan juga kalender jawa. Sebagai contoh mereka yang lahir pada 21 Desember 2020, kelahiran orang tersebut pada Senin Legi yang berarti Senin itu hari dan Legi adalah pasarannya.
Maka dari itu setiap pada hari lahir tersebut di kepercayaan jawa dilakukan selametan weton. Dengan adanya selametan ini setidaknya bisa mensyukuri atas nikmat dari karunia tuhan dan sekaligus sebagai bentuk tolak bala akan diri seseorang.
Dalam praktiknya, selamatan atau syukuran dilakukan dengan mengundng beberapa kerabat atau tetangga. Secara tradisional acara syukuran dimulai dengan doa bersama dipimpin oleh pemuka agama (modin), dengan duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk. Kemudian dilanjutkan dengan membagi nasi tumpeng tersebut kepada setiap orang yang diundang.
Dan setelah dibagi para jama’ah yang diundang untuk mengikuti selametan mengucapkan kabul kajate kepada shohibul hajat atau yang memiliki hajat sebelum pulang. Dengan harapan apa yang menjadi keinginan shohibul hajat bisa diijabahi atau di kabulkan oleh Allah SWT.
Selametan weton tidak hanya di lakukan pada hari lahir orang yang sudah dewasa saja, melainkan anak-anak kecilpun juga. Jika weton yang diselameti itu wetonnya anak kecil maka yang diundang juga anak-anak kecil.
Berkat (hidangannya) adalah jajan pasar atau jajanan anak-anak kecil. Tata cara pelaksanaannya pun sama, ada modin yang memimpin.
Sayangnya tradisi baik tersebut jarang dikenal oleh kaum milenialis. Terutama keturunan suku Jawa yang sibukkan oleh pengaruh modernisasi hingga banyak melupakan tradisi. Banyak dari mereka yang bahkan tidak mengetahui weton atau hari kelahirannya sendiri.
Padahal selamatan weton itu selain menjadi sedekah makanan yang diberikan untuk tetangga kiri kanan atau kepada kaum fakir, kaum dhuafa, dan kaum tidak mampu lainnya.
“Juga sekaligus untuk mengingat dan mendoakan Kakang Kawah Adi Ari-ari Sedulur Papat Lima Pancer, yang selalu menemani kita sejak masih di dalam kandungan hingga ke liang lahat.”
Kita hidup di dunia ini tidak sendiri. Setiap diri kita itu ada yang selalu menjaga dari masih di dalam kandungan hingga ke liang lahat. Penjaga itu tidak hanya Raqib dan Atid, yang ditugaskan Alah SWT mencatat amal kebaikan dan keburukan kita setiap hari, detik demi detik, dari akhil baliq hingga tutup usia.
“Penjaga itu adalah Kakang Kawah Adi Ari-ari, Sedulur Papat Lima Pancer,”
Secara singkat, dalam sejarah Jawa masyarakatnya menggunakan istilah sedulur papat limo pancer untuk menggambarkan bahwa ketika manusia lahir, maka lahir, lahirlah empat saudara manusia itu. Istilah sedulur papat limo pancer ini diyakini oleh penganut Kejawen sebagai warisan budaya dari karya Sunan Kalijaga pada abad 15-16.
Konon katanya, istilah ini pertama kali ditemukan pada Suluk Kidung Kawedar, Kidung Sarira Ayu, pada bait ke 41-42. Sedulur papat limo pancer dipercaya sebagai satu kesatuan yang saling mempengaruhi dalam diri manusia, terdiri dari empat hal dan ke lima hal sebagai berikut:
- Kakang kawah
Kakang sawah atau yang disebut air ketuban adalah air yang membantu manusia untuk lahir ke bumi. Karena air ketuban keluar pertama kali, maka masyarakat Jawa menyebutnya sebagai Kakang, atau yang berarti Kakak.
- Adi ari-ari
Adi ari-ari atau disebut plasenta. Adi dalam bahasa Indonesia berarti adik, yakni sebutan untuk ari-ari yang keluar setelah bayi dilahirkan.
- Getih
Getih dalam bahasa Indonesia berarti darah. Yakni, hal yang utama pada ibu dan bayi. Saat berada dalam kandungan, bayi juga dilindungi oleh getih.
4.Puser
Puser atau pusar berarti tali plasenta. Dalam pengertian ini maksudnya, antara ibu dan bayi dihubungkan dengan tali pusar yang membuat mereka semakin kuat. Selain itu, tali pusar juga yang menjaga kelangsungan hidup si bayi karena telah menyalurkan nutrisi dari ibu untuk bayinya saat di dalam kandungan.
- Pancer
Pancer bisa disebut juga sebagai tubuh wadah yang berarti diri sendiri. Hal kelima ini merupakan pusat kehidupan yang utama ketika manusia lahir ke bumi. Masyarakat Jawa percaya bahwa sebagai manusia, kita harus menyelaraskan kelima hal itu agar menjadi satu kesatuan yang utuh.
Berikut do’a selametan weton :
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَللّهُمَّ اِجْعَلْ هَذَا الْوَلَدِ (…………….) بِبَرْكَةِ هَذِهِ الصَّدَقَةِ مِنْ عِيَالِ السَّلَامَةِ وَأَكْرِمْهُ بِطُوْلِ الْعُمْرِ فِى طَاعَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ مَعَ الصِّحَّةِ وَالْعَافِيَةِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا وَأَوْفِرْ حَظَّهُ مِنَ الْعِلْمِ النَّافِعِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ وَالْأَخْلَاقِ الْمَحْمُوْدَةِ وَاحْفَظْهُ مِنْ شَرِّ الزَّمَانِ وَمِنْ شَرِّ أَهْلِ الزَّمَانِ وَلَا تَضُرُّهُ.
Artinya : Ya Allah dengan berkahnya shodaqoh ini , jadikanlah anak ini (namanya di sebut) termasuk golongan keluarga yang selamat. Muliakanlah dengan memberinya panjang umur, menjadi orang yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dengan sehat wal afiat lahir batin. Berikanlah ilmu yang bermanfaat.
Bisa beramal saleh. Memiliki akhlak yang terpuji serta jauhkanlah dari kerusakan zaman, dan kerusakan ahli zaman. Dan jangan Engkau berikan bahaya kepada anak saya ini. Wa shollallohu a’la sayyidina muhammad wal hamdu lillahi robbil ‘alamin Lahul Fatihah…(*)