IAINUonline – Meramaikan malam-malam ganjil di 10 hari terakhir Bulan Ramadan, Insitut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Tuban mengisinya dengan istighosah, buka puasa bersama dan penyaluran zakat fitrah. Zakat fitrah disalurkan melalui LazisNU Desa Tegalbang, Kecamatan Palang.
Acara digelar di aula KH.Hasyim Asy’ari Kampus IAINU Tuban dan dihadiri Ketua BPP IAINU Tuban KH.Miftahul Asror, Sekretaris BPP Tasyhudi, Rektor IAINU Tuban, para Wakil Rektor, Ketua Senat, para Dekan, Kaprodi, dosen, karyawan dan staf dan undangan lainnya.
Rektor Prof Dr. Syamsul Huda, M.Fil.I membuka sambutannya dengan mengutip salah satu pendapat Alvin Toffler, seorang penulis dan futurolog asal Amerika, yang mengatakan semakin tinggi sisi rasionalitas seseorang, maka semakin tinggi sisi spiritualitasnya.
Apalagi bagi kaum muslim, di bulan Ramadan seperti ini diajarkan untuk mengendapkan sisi rasionalitasnya dan meningkatkan sisi spiritualitas,’’ ujar Prof Syamsul.
Saat ini, lanjut Rektor, sisi spiritualitas kebanyakan orang semakin tipis, terutama rasa empati pada orang lain. Berita tentang kasus kekerasan bertebaran di media masa. Itu menjadi bukti bahwa rasa kemanusiaan, empati dan kepedulian antarmanusia sudah menipis.
Masih terkait rasa peduli pada orang lain ini, dalam waktu tidak lama lagi, IAINU Tuban bakal melakukan kegiatan yang bersifat global. Para dosen diberi kesempatan melakukan inovasi yang bukan hanya fokus pada akademik, tapi yang punya dampak dan benar-benar bisa dirasakan manfaatnya untuk orang lain. Bukan hanya bagi civitas akademika IAINU saja, namun juga bagi masyarakat yang lebih luas.
‘’Karena itu, kampus ini adalah tempat ijtihad sekaligus jihad, karena menyiapkan generasi-generasi yang berbeda dengan kampus lain. Mahasiswa bukan hanya disiapkan sisi kualitas saja, tapi juga spiritualitas dan bisa adaptasi pada perubahan-perubahan,’’ lanjutnya.
Untuk mencapai hal itu, butuh tenaga dan pikiran yang luar biasa besar. Karena itu, Rektor berterimakasih pada Senat IAINU Tuban dan BPP yang terus mendukung bagaimana IAINU bisa menjelma sebagai lembaga yang bisa menjadi kebanggaan, bukan hanya bagi NU tapi kebanggaan bangsa ini.
‘’Itu utuh kerja keras dan bikin lompatan-lompatan,’’ urainya.
Rektor juga menyampaikan pesan dari PBNU, bahwa kampus IAINU juga harus menjadi komponen penting membentuk keluarga maslahah. Menurut Rektor, saat ini kerapuhan-kerapuhan keluarga sudah nampak dan banyak terjadi.
‘’Maka pesan PBNU, bukan hanya menyiapkan keluarganya, tapi bagaimana juga membangun ekonominya, pendidikannya, agamanya, teknologinya dan sebagainya. Dan NU punya peran itu, maka PBNU memesankam demikian,’’ katanya.
Sementara Ketua BPP IAINU KH.Miftahul Asror yang memberikan sambutan sekaligus mauidhoh hasanah banyak menerangkan soal puasa dengan menyitir Surat al Baqarah ayat 183 ; yâ ayyuhalladzîna âmanû kutiba ‘alaikumush-shiyâmu kamâ kutiba ‘alalladzîna ming qablikum la‘allakum tattaqûn.
‘’Saya menggaris bawahi pada kalimat kamâ kutiba ‘alalladzîna ming qablikum, yakni juga diwajibkn pada orang-orang sebelum kamu,’’ ujar Kiai Miftah.
Menurut dia, ayat itu menunjukkan bahwa tradisi puasa juga dilakukan oleh umat-umat sebelumnya, malah jaman dulu puasanya lebih berat.
Pada masa Nabi Adam misalnya, dijelaskan bahwa Nabi Adam diciptakan pada hari Jumat, diturunkan ke dunia jua pada hari Jumat, termasuk diturunkannya iblis dan binatang lain ke dunia juga pada hari Jumat.
‘’Kiamat kabarnya jauga hari Jumat,’’ seloroh Kiai Miftah.
Nabi Adam, lanjutnya, diturunkam di India, sedangkan Hawa di Jedah. Maka Nabi Adam terus mencari Hawa, yang di dalam riwayat butuh waktu 300 tahun baru ketemu. Dalam masa pencarian tersebut, Nabi Adam tiap hari Jumat berpuasa.
Dan banyak berdoa; “Robbana dholamna Anfusana wa inlam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakunanna minal khosirin”. Artinya: “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi”. Dan sampai ketemu Hawa di Arafah juga pada hari Jumat pas posisi sedang puasa.
‘’Bayangkan berpuasa setiap hari Jumat selama 300 tahun, betapa banyaknya,’’ ujarnya.
Tradisi itu dilanjutkan oleh nabi-nabi selanjutnya. Mulai Nabi Idris dan Nabi Nuh. Pada masa Nabi Nuh, karena kaumnya membangkang perintah Allah, Nabi Nuh diutus membuat perahu. Saat dibuat, perahu itu diletakkan di atas sebuah sumur atau sumber air yang dikenal dengan nama tanur. Dari tanur inilah diriwayatkan muncul banjir bandang besar. Umat Nabi Nuh yang iman selamat karena naik ke kapal. Saat naik mereka berpasang-pasangan.
Banjir yang menenggelamkan umat yang ingkar itu berlansung selama 5 bulan, dalam riwayat lain disebutkan 6 bulan. Nah, dalam masa kapal mengapung di atas air itu Nabi Nuh menerapkam aturan puasa, yakni tidak boleh kumpul dengan pasangannya.
Tradisi dilanjutkan sampai masa Nabi Musa, saat setiap mau dakwah ke Firaun pasti puasa dulu. Juga masa Nabi Isa yang kalau mau dakwah pada umatnya juga berpuasa. Lalu sampai 300 tahun kemudian lahir Nabi Muhammad tradisi puasa masih dilanjut sampai sekarang ini.
‘’Di Jawa, sebelum Islam datang, juga sudah ada tradisi puasa yang macam-macam namanya. Juga jaman Hindu Tantrayana juga ada ritual uposo yakni tidak makan, minum, dan kumpul istri sampai lama, hingga bisa moksa. Yang kemudian Wali Songo memodofikasinya menjadi puasa.
Kiai Miftah yang juga Sekretaris PCNU Tuban juga menyampaikan dari PBNU. Disebutkan, dalam setiap pidatonya, Ketua PBNU KH. Yahya Cholil Staquf selalu menyampaikan kalimat kita harus koheren. Ternyata koheren itu bukan hal yang mudah. Bagaimana mulai dari PBNU sampai PCNU bisa satu tarikan nafas yang sama sulit dilakukan.
‘’Karena masih ada noise, ada suara-suara yang mengganggu,’’ ungkapnya.
Menurut kiai asal Perengan ini, yang dilakukan Rektor IAINU sangat bagus. Tapi untuk bisa koheren memang tidak mudah.
‘’Maka haruss sabar, karena itu di NU ada aplikasi digdaya yang aplikasi ini setengah mekso by system. Misal soal rangkap jabatan diatur sistem, misal kalau KTP diinput dobel dengan jabatan lain di NU pasti ditolak sistem,’’ ungkapnya.
Terkait tugas para dosen, Miai Miftah berpesan dengan menyitir sebuah ayat yang artinya Allah sangat cinta ketika sesuatu dipahami betul-betul dan dilakukan sebaik mungkin. Sebagai dosen, harus faham betul tugasnya apa saja, dan kemudian tugas itu dilakukan secara profesional.
’’Jadi bener-bener memahami tugasnya dan melakukan secara profesional. Semoga semua bisa memahami tugasnya masing-masing dan menjalankan dengan profesional,’’ harapnya.(*)