Oleh : Aufi Imaduddin

“Sorry to say and good bye” hehehe,, sepatah kalimat pendek yang cocok untuk saya tujukan pada pasal UU pemilu yang berbunyi “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya”. (Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017).

Hari Kamis 2 Januari 2025, ‘Paman-Paman’ yang mulia Hakim Konstitusi membacakan putusan yang memberi angin segar kepada pecinta demokrasi dan politik di Indonesia. Karena lewat tuah putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 tersebut pasal ambang batas tersebut dinyatakan inkonstitusional, dan perjalanan panjang UU Pemilu memulai babak baru.

Tak sedikit pihak baik partai politik maupun masyarakat sipil yang merasa lega dengan adanya uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu ini.

Sebuah gestur berdiri, tepuk tangan, dan membungkukkan badan sudah sepatutnya saya sampaikan kepada adek-adek 3 mahasiswa dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA Yogyakarta, sebagai tanda terimakasih, hormat dan applaus saya atas gugatan yang diajukannya.

Tanpa adanya pendampingan kuasa hukum atau advokat profesional, dan setelah melalui bebagai drama serta pengorbanan dalam beberapa bulan proses persidangan  dengan hanya mengandalkan literasi akademis dan kegigigahannya, mereka bertiga mampu membalikkan 180 derajat sikap “paman paman” MK dalam menguji pasal ambang batas calon presiden ini selama kurang lebih 7 tahun belakang.

Karena perlu diketahui gugatan terkait ambang batas ini sudah pernah diajukan sebanyak 32 kali oleh berbagai lapisan masyarakat dengan rincian 24 gugatan tidak diterima, 6 gugatan ditolak dan 2 lainya ditarik kembali.

Mungkin akan menjadi pertanyaan besar dari kalangan masyarakat awam yang masih belum paham tentang hukum, politik, dan demokrasi, terkait apa “efek positif dan efek samping” dari putusan paman paman MK ini?. Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45 putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding).

Artinya untuk gelaran pilpres tahun 2029 mendatang putusan ini sudah semestinya dan pasti akan dilaksanakan selayaknya putusan ‘Paman’ MK sebelumnya terkait usia capres yang melanggengkan Gibran untuk politik dinastinya presiden Jokowi waktu itu.

Efek positif besar dari putusan ini nantinya adalah pada 2029 setiap partai politik peserta pemilu walaupun kecil akan dapat mengusung pasangan capres dan cawapresnya sendiri bila menghendaki. Dominasi partai besarpun akan runtuh dalam pencalonan pasangan capres-cawapres nantinya, karena sudah tidak ada lagi monopoli partai partai besar tertentu dalam pencalonan capres-cawapres nantinya.

Karena tanpa adanya ambang batas, kesempatan bagi calon independent berkualitas untuk dicalonkan oleh partai kecil dan bersaing lebih terbuka. Efek positif lainya adalah akan meningkatnya partisipasi politik karena kemungkinan besar akan ada banyak pasangan calon yang maju dalam pilpres sehingga memberikan pilihan lebih luas bagi rakyat.

Hal tersebut juga akan menghindari polarisasi dan perpecahan pemilih yang sering terjadi ketika hanya ada 2 paslon. Selanjutnya juga akan meningkatkan kompetisi pilpres, dengan banyaknya calon akan dapat meningkatkan kompetisi dan kualitas debat publik.

Sementara itu efek samping yang mungkin akan muncul dari penghapusan ambang batas ini akan menimbulkan masalah baru. Di antaranya dengan ketiadaan ambang batas dapat menimbulkan potensi banjir kandidat yang berakibat pada pecahnya suara pemilih dan memperpanjang proses pemilu hingga dua putaran.

Hal tersebut akan berimplikasi pada peningkatan biaya politik dan administrasi, serta berpotensi memperpanjang ketegangan politik. Sebenarnya terkait potensi banjirnya kandidat ini paman-paman MK dalam putusannya sudah memberikan masukan kepada DPR. Agar dalam revisi pasal 222 tersebut dibuat rekayasa konstitusional dalam pencalonan pasangan calon. Dengan melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Secara akademis, menurut Dosen Ilmu Politik (FISIP UMJ) Drs. Sumarno, M.Si., sebagai solusi dari tidak adanya ambang batas, maka perlu ada mekanisme pendukung yang kuat untuk memastikan sistem tetap berjalan efektif. Misalnya dengan menambahkan aturan pada UU Pemilu yang mengatur sistem penyaringan calon.

Itu untuk memastikan yang dapat maju dalam kontestasi hanya kandidat paslon memiliki kapasitas dan rekam jejak yang baik. Proses pencalonan juga perlu diintegrasikan dengan mekanisme partisipasi publik yang lebih bermakna untuk memperkuat hubungan antara representasi politik dan preferensi masyarakat.

Kesimpulan akhir dari tulisan pendek ini adalah, penghapusan ambang batas dapat memperluas akses partisipasi politik dan memperkaya demokrasi. Namun tanpa pengelolaan yang tepat, langkah ini dapat menciptakan tantangan baru yang justru dapat merugikan stabilitas politik dan tata kelola pemerintahan. “Solusi terbaik adalah mengombinasikan inklusivitas dengan mekanisme seleksi yang berbasis kualitas, sehingga demokrasi Indonesia tidak hanya lebih terbuka tetapi juga lebih efektif dan berkelanjutan”.(*)

 

 

 

 

 

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *