Sports tools


Oleh : Akhmad Aji Pradana

Di sebuah forum pendidikan nasional tahun 2024, seorang peneliti muda bernama Sarah menyampaikan temuannya tentang isu pembelajaran olahraga di sekolah dasar. Dengan penuh semangat, ia memaparkan data dari riset terbarunya.

“Dalam survei yang kami lakukan terhadap 500 sekolah dasar di lima provinsi, ditemukan bahwa rata-rata waktu pelajaran olahraga hanya 60 menit per minggu, jauh di bawah standar 120 menit yang direkomendasikan oleh Kementerian Pendidikan,” ujar Sarah.

Ruangan forum menjadi hening. Peserta mulai memperhatikan lebih serius saat Farah melanjutkan. “Selain itu, 40% sekolah disurvei kami tidak memiliki fasilitas olahraga yang memadai, seperti lapangan, bola, atau alat permainan lain. Bahkan, 25% sekolah menyatakan bahwa anggaran untuk olahraga sering dialihkan untuk kebutuhan akademik lain,”.

Sarah mengangkat salah satu contoh kasus nyata yang ia temui selama penelitian, sebuah sekolah dasar bernama SD Negeri Suka Maju di kota kecil Jawa Timur.

Dalam wawancara, kepala sekolah mengakui bahwa jam olahraga sering diambil alih oleh mata pelajaran lain seperti matematika atau bahasa Indonesia.

“Kami ingin murid lulus dengan nilai akademik yang baik supaya kedepannya murid bisa melanjutkan ke sekolah favorit. Olahraga, meskipun penting, belum menjadi prioritas utama,” katanya.

Namun, data lain yang diungkap Sarah menggugah hati para pendengar. “Ada hubungan kuat antara kurangnya olahraga dengan kesehatan dan performa akademik anak”.

Sesuai dengan hasil penelusuran kami, 57% anak-anak dan remaja serta 27,7 % orang dewasa belum memenuhi rata-rata aktivitas fisik harian sesuai dengan yang direkomendasikan WHO.

Di sisi lain, siswa yang memiliki waktu olahraga cukup menunjukkan peningkatan 20% dalam nilai akademik mereka dibandingkan siswa yang minim aktivitas fisik. Mereka juga lebih jarang absen karena sakit.”

Sarah juga membagikan kisah inspiratif dari salah satu sekolah yang ia teliti, SD Harapan Bangsa, di mana kepala sekolah justru memberikan perhatian besar pada pelajaran olahraga.

Sekolah itu memiliki program tambahan berupa permainan tradisional, turnamen olahraga antarkelas, edukasi tentang gaya hidup sehat, serta monitoring kesehatan siswa bulanan. Hasilnya, tidak hanya kesehatan anak-anak meningkat, tetapi prestasi akademik mereka juga naik, bahkan sekolah tersebut mulai memenangkan berbagai kompetisi di tingkat lokal.

Ketika sesi tanya jawab dimulai, seorang peserta dari lembaga pendidikan bertanya, “Jika olahraga terbukti penting, mengapa masih banyak sekolah yang mengabaikannya?”

Sarah menjawab dengan tenang, “Masalahnya kompleks. Di satu sisi, tekanan dari sistem pendidikan yang berfokus pada nilai akademik membuat sekolah mengorbankan olahraga. Di sisi lain, ada kendala seperti kurangnya fasilitas dan pemahaman tentang pentingnya olahraga. Namun, data kami jelas: olahraga bukan hanya soal fisik, tetapi juga membantu perkembangan mental, sosial, dan akademik anak-anak.”

Setelah presentasi selesai, banyak peserta yang tergerak untuk melakukan perubahan. Beberapa kepala sekolah bahkan menghubungi Sarah untuk meminta saran tentang bagaimana mengintegrasikan olahraga ke dalam kurikulum mereka tanpa mengorbankan mata pelajaran lain.

Melalui uraian di atas, penulis berharap dapat mendorong kesadaran lebih luas tentang pentingnya pembelajaran olahraga di sekolah dasar. Jangan sampai kita merasa merugi karena telat menyadari  betapa besarnya dampak aktivitas fisik dan olahraga untuk kesehatan di masa depan.

Bagi kami, olahraga bukan hanya sekadar permainan di lapangan, tetapi juga investasi masa depan untuk generasi yang lebih sehat, kompeten, dan bahagia.(*)

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *