BARU TERUNGKAP : Wasekjen PBNU Mun'im DZ (tengah) saat Bersama Nyai Suryani (foto dok Mun'im DZ/NU Online)
IAINUonline – Pernah dengar cerita tentang ampuhnya bambu runcing dan rotan dari pesantren Tebu Ireng Jombang? Dua senjata yang dibawa para pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebagian para pejuang itu memang kaum santri.
Betapa heroiknya perjuangan para pejuang itu dalam mempertahankan kemerdekaan, juga sebelumnya merebut kemerdekaan. Tengoklah kisah heroik pertempuran 10 November di Surabaya, yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan.
Kisah itu, perjuangan itu tak lepas dari perjuangan para santri, dan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus pengasuh pondok pesantren Tebu Ireng, Jombang berpesan besar memunculkan perlawanan heroik itu.
Salah satu satu yang terkenal adalah bambu runcing dan sebatang rotan yang diberikan pada kaum santri dan warga yang ingin turun di medan laga menghadang tentara Sekutu yang ingin mengangkangi lagi Indonesia.
Bagaimana bisa, dan tak masuk di nalar ketika bambu runcing dan sebatang rotan mampu melawan bedil, bom dan meriam. Perlawanan anak-anak bangsa dalam palagan 10 November membuat kocar-kacir Sekutu. Bahkan, mampu membunuh salah satu Jendral pasukan Sekutu yang memimpin pasukannya kala itu.
Keberhasilan ‘pasukan Indonesia ‘membunuh pemimpin pasukan menjadi guncangan bagi tentara Sekutu. Juga menjadi pukulan telak bagi negara asalnya. Dan tamparan keras bagi penjajah. Sekali lagi, sebagian besar senjata yang melawan bedil, bom dan meriam itu sekadar bambu runcing dan rotan.
Tentu bukan bambu runcing dan rotan sembarangan. Sebab, sebelum dibagikan sebagai senjata, bambu runcing dan rotan itu disuwuk atau diasma’i lebih dulu di pesantren Tebu Ireng, sehingga ampuh. Hal itu memberikan sugesti dan menambah keberanian para santri melawan penjajah. Hasilnya memang sudah terbukti.
Saya pernah tahu wujud rotan yang dikatakan ampuh itu, milik salah satu kawan. Panjangnya sekitar satu meter. Saat itu rotan tersebut dibungkus kain putih, dan sering di bawa ke mana-mana. Menurut kawan saya ini, rotan itu warisan dari ayahnya.
Hanya, saya belum sampai ditunjukkan secara langsung keampuhan rotan itu. Hingga kawan saya ini suata saat bilang kalau rotannya hilang. Saat di naik bus ke luar kota, karena suatu hal rotan itu dititipkan pada orang yang ada di sebelahnya. Namun, saat dia turun dari bus, dia lupa tak meminta kembali rotan itu.
Dan, ternyata tukang ngasma’i bambu runcing dan rotan itu seorang perempuan. Dia santri langsung dari Mbah Hasyim Asy’ari. Namanya, Nyai Suryani yang punya nama asli Djuwariyah atau Syuriyah.
Nyai Suryani baru meninggal dunia dalam usia 102 tahun di Rumbia, Lampung Tengah, pada Selasa 23 Maret 2021. Sampai akhir hayatnya, Nyai Suryani berdomisili di Kampung Bina Karya Utama, Kecamatan Putra Rumbia, Kabupaten Lampung Tengah.
Nyai Suryani dimakamkan di Komplek Pesantren Miftahussa’adah Kecamatan Putra Rumbia, Kabupaten Lampung Tengah. Pada Sabtu (27/3) malam Nahdliyin menggelar tahlil tujuh hari wafatnya Nyai Suryani.
Cerita tentang asal usul Nya Suryani ini dibeber Wasekjen PBNU, H Abdul Mun’im DZ. Dia mengatakan Nyai Suryani berasal dari Kebumen, Jawa Tengah. Nyai Suryani menjadi santri Mbah Hasyim tahun 1940-1947, kemudian masuk ke Lampung pada kisaran 1960-an. Menurut Mun’im, Nyai Suryani adalah sosok yang istimewa.
“Saat nyantri di Tebuireng Jombang beliau yang mendapat tugas, mengasma’i bambu runcing yang hendak digunakan perang melawan Sekutu 10 November 1945 di Surabaya dan dalam menghadapi Agresi Belanda 1947 dan 1948,” kata Abdul Mun’im DZ.
Tidak hanya itu, lanjutnya, Nyai Suryani yang kala itu masih muda belia turun di front selatan Jombang Kediri melawan Agresi Belanda.
“Setelah perjuangan melawan penjajah usai perempuan itu menghilang dari peredaran. Ternyata selama ini beliau menyamar sebagai dukun bayi di Lampung Tengah. Juga banyak membantu pembangunan masjid dan langgar di daerahnya,” lanjut Mun’im. Mun’im meneruskan, sekitar tahun 2015 identitas sang dukun bayi yang santri Mbah Hasyim Asy’ari ini baru terungkap.
Tersingkapnya rahasia tersebut berkat kewaskitaan seorang kiai yang mendapatkan isyarat agar berguru pada sang dukun bayi itu.
“Setelah dikorek akhirnya Mbah Nyai Suryani mau membeber jatidirinya sebagai santri Mbah Hasyim Asy’ari, antara tahun 1940-1947. Para santri Mbah Hasyim yang lain seperti Mbah Sulhani Tlangbawang segera merapat, dan Mbah Muhilal Jambi juga segera kontak,” lanjut penulis buku Fragmen Sejarah NU.
Diceritakan Mun’im, Mbah Suryani pernah ditugasi Mbah Hasyim mengisi mantra atau mengasma’i bambu runcing dan penjalin sebanyak 250 buah. Beberapa di antaranya sangat ampuh, apa saja yang diterjang pasti berantakan. Bahkan ketika ditusukkan ke pohon langsung layu.
Di usianya yang senja Nyai Suryani masih mengajar mengaji untuk jamaah di sekitarnya, selain mengobati tetangga yang sakit tanpa meminta upah.
Sebagai seorang pejuang, walaupun hidup di tengah perkebunan karet yang sepi terpencil, beliau selalu memikirkan keselamatan NU.
‘’Padahal tidak berhubungan dengan pengurus NU mana pun dan tahu kondisi NKRI, walau tidak pernah ketemu pejabat mana pun. Beliau selalu berdoa untuk kejayaan NU dan keutuhan NKRI,” kata Mun’im.
Selain itu, Mun’im menceritakan, Nyai Suryani sering menasihati agar bersabar di NU, karena NU sedang menghadapi tantangan keretakan.
“Ikatan NU memang longgar, karena itu harus dijaga agar jangan sampai ambyar. Keikhlasan dan ketulusan serta kesungguhan yang bisa menyelamatkan NU. Kalau NU kuat insyaallah negara tenteram dan aman tidak ada yang berani mengganggu. ‘Doaku bersama kalian semua’. Demikian Mbah Juwariyah atau Nyai Suryani mengakhiri wejangannya,” pungkas Mun’im. (*)
Disadur dari : https://www.nu.or.id/post/read/127599/nyai-suryani-santri-mbah-hasyim-asy-ari-wafat-di-usia-102-tahun
Editor : Sri Wiyono