Mendidik Anak Usia Dini. Sumber Gambar : edukasikompas.com/tribunnews.com
IAINUonline – He…he…he…! Itulah jawaban Prof. Mustaji, guru besar Unesa, menjawab pertanyaan saya terkait dengan tren pemberian ulangan akhir semester bagi anak-anak TK. Isi pertanyaan saya adalah, “bagaimana pendapat Profesor tentang tren guru TK yang memberi ulangan akhir semester bagi anak didiknya?” Saya tidak puas melihat jawaban singkat itu dan menanyakan apa maksud dari jawaban seperti itu. Ternyata profesor itu baru tahu kalau di TK ada ulangan. Oleh karena itu beliau mendoakan semoga guru TK yang memberi ulangan kepada anak didiknya mau belajar bagaimana mendidik dengan menggunakan ilmu pendidikan.
Mendidik pada hakikatnya adalah memimpin anak (Purwanto, 1997:3). Orang yang memimpin atau pemimpin (baca guru) mempunyai tugas yang cukup berat dalam mengarahkan anak didiknya. Karena tugas ini berat, maka tidak sembarang orang bisa jadi guru terutama guru TK/Paud. Sementara ini banyak orang (berpendidikan atau tidak berpendidikan) beranggapan bahwa untuk menjadi guru di TK/Paud sangat mudah, yang penting bisa bertepuk tangan sambil bernyanyi. Alangkah naifnya jika kompetensi guru TK/paud hanya sekadar bertepuk dan bernyanyi. Jika itu yang terjadi di masyarakat, maka tidak heran jika kemudian para pendidik di TK menyelenggarakan ulangan akhir untuk mengukur kompetensi anak didiknya. Karena mereka mendidik tidak menggunakan ilmu mendidik.
Ilmu pendidikan, sebagaimana dalam Purwanto (1997:3) adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Perbuatan mendidik anak TK tidak boleh disamakan dengan perbuatan mendidik anak usia SD, SMP, atau bahkan SMA. Mengapa demikian? Karena karakteristik dan tugas perkembangan anak masing-masing jenjang pendidikan tidaklah sama. Usia anak TK/Paud atau yang lazim disebut usia keemasan mempunyai karakteristik dan tugas perkembangan yang tidak boleh secara sembarangan dan serampangan dalam penanganannya. Di sinilah pentingnya ilmu pendidikan atau yang lazim disebut dengan istilah pedagogik.
Beberapa Penyebab
Penyelenggaraan Ulangan Akhir Semester (UAS) di TK mengandung konsekuensi yang harus dibayar mahal oleh anak. Konsekuensi itu adalah anak dituntut menguasai dan mampu membaca, menulis, dan berhitung.
Pertanyaan mendasar yang patut diajukan adalah, apakah guru-guru TK yang menyelenggarakan UAS bagi anak didiknya itu tidak pernah belajar ilmu pendidikan? Tentu saja mereka pernah belajar ilmu pendidikan dan rata-rata berpendidikan sarjana (S-1) kependidikan, bahkan gelar sarjananya lebih dari satu dan sudah mengantongi sertifikat pendidik profesional. Wah, hebat! Ya, hebat sekali! Tapi mengapa dalam praktik keseharinnya seolah-olah mereka tidak pernah belajar dan menyimpang dari disiplin ilmu yang dimiliki?
Menurut hemat saya, ada beberapa faktor yang menyebabkan guru tidak mengamalkan/mengaplikasikan disiplin ilmunya. Pertama, pengalaman masa lampau, artinya guru tersebut dalam praktik pembelajarannya dibayang-bayangi oleh kebiasaan gurunya di masa lampau sebelum ilmu pendidikan berkembang dengan pesat. Kedua, komitmen rendah, adalah keterikatan guru terhadap tugas yang diemban tidak semata-mata bagaimana mengembangkan potensi yang dimiliki anak supaya berkembang dengan baik, tetapi lebih ke arah bekerja untuk memperoleh pendapatan. Ketiga, takut dengan perubahan, artinya guru tersebut tidak mau berubah ke arah yang lebih baik sesuai dengan perkembangan ilmu pendidikan dengan dalih tidak mau repot. Adapun yang keempat, tuntutan wali murid, wali murid lah yang menghendaki pembelajaran berlangsung seperti itu, misalnya anak dibelajarkan calistung dan berbagai kegiatan akademik yang tidak sesuai dengan tugas dan perkembangan anak TK dan menafikkan kegiatan pembelajaran sambil bermain.
Sebagian besar orang tua menghendaki agar anak mereka cepat lancar membaca, menghitung, dan membawa tugas ke rumah (pekerjaan rumah). Bahkan ada orang tua yang lebih gila lagi dengan menuntut anak mereka menghafal berbagai materi pengetahuan sosial, sains, berhitung, dan lainnya sekalipun bersifat abstrak dan belum bermakna bagi anak TK.
Sebagai pendidik yang sudah dibekali dengan ilmu mendidik, seorang guru harus dapat mengarahkan dan memberi penjelasan kepada orang tua siswa, bahwa cara belajar terbaik bagi anak usia TK/Paud adalah belajar melalui bermain. Sah-sah saja anak dibelajarkan membaca dan menulis, namun harus tetap dalam koridor yang benar dan tidak mencederai hak tumbuh-kembang anak. Harus sesuai dengan fasenya. Sebagai contoh, ketika anak bermain balok, sesungguhnya pada saat bermain itu anak sudah dibelajarkan tentang konsep berhitung sederhana. Konsep berhitung antara lain menjumlah, mengurang, membagi dan banyak hal lagi yang bisa dieksplorasi dengan permainan itu. Tergantung daya kreativitas dan improvisasi guru.
Dampak Negatif dan Solusi
Dampak dari pemberian UAS bagi anak TK/Paud tentu saja ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. Dampak positifnya adalah anak lebih cepat matang di bidang tertentu: di bidang membaca, menulis, dan menghitung. Namun harus disadari bahwa kematangan yang dicapai anak itu dalam kondisi keterpaksaan dan menafikkan hak anak dalam tumbuh-kembangnya sesuai dengan fasenya.
Adapun dampak negatif menurut hemat saya lebih bersifat semesta dan jangka panjang. Anak yang dipaksa` belajar membaca terlalu dini dan didrill secara tidak proporsional akan berdampak (1) mengalami jenuh belajar yang biasanya muncul 4 atau 5 tahun ke depan, (2) anak akan menganggap belajar sebagai beban bukan sebagai hal yang menyenangkan dan anak menjadi trauma, (3) traumatis itu akan muncul dan terulang kembali ketika anak berusia sekitar 20 tahun, dan (4) kemampuan akademik hanya berperan 20% dalam menentukan tingkat kesuksesan anak dan selebihnya (80%) dipengaruhi oleh kecerdasan emosionalnya.
Sampai saat ini, sepengetahuan saya, belum ada satu penelitian pun yang mengatakan ada perbedaan kemampuan membaca (dalam arti sesungguhnya) antara anak yang dipaksa membaca pada usia prasekolah dengan anak yang dibelajarkan membaca sesuai dengan fase perkembangannya. Oleh karena itu lebih bijak jika guru TK/Paud banyak mengeksplorasi domain dan bidang pengembangan yang memungkinkan anak berkembang kecerdasan emosionalnya. Tentu saja dalam konteks pembelajaran sambil bermain yang menyenangkan sebagaimana dalam ilmu mendidik anak usia dini. Bagaimana?
Penulis : M. Zaqin