Membangun karakter anak, dapat dilakukan melalui berbagai media. Di antara media itu adalah dongeng, folklore, cerita rakyat, dan lain sebagainya. Berbagai media tersebut dianggap sangat efektif dalam membangun karakter anak. Namun di sisi lain, memiliki berbagai kelemahan.
Kelemahan media dongeng, folklore, dan cerita rakyat di antaranya, tidak dapat disampaikan dan diperdengarkan secara terus menerus dan simultan. Tetapi hanya dalam waktu-waktu tertentu. Misalnya, ketika akan tidur atau ketika pembelajaran sastra di sekolah.
Membangun karakter anak sebaiknya dilaksanakan secara simultan, terus-menerus, dan massif. Kegiatan yang dilaksanakan seperti itu, akan berdampak pada terbentuknya pembiasaan. Dari proses pembiasaan itu akan terbangunlah wilayah bawah sadar. Sehingga ketika seorang anak ingin melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama, dengan cepat menyadari dan kembali ke jalan yang benar.
Berdasarkan uraian di atas, dipandang perlu menghadirkan media atau cara lain yang dapat digunakan secara tarus menerus dan simultan dalam membangun karakter anak. Adapun cara atau media itu adalah melalui kearifan lokal.
Keraifan Lokal
Beberapa ahli memberi batasan yang secara redaksional berbeda, namun dari segi content memiliki maksud dan makna yang hampir sama. Menurut Marfai (2013), kearifan lokal merupakan formulasi dari keseluruhan bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan dalam komunitas ekologis.
Senada dengan batasan di atas, Keraf (2005) menyatakan bahwa kearifan lokal juga menyangkut pengetahauan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam, dan memahami bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Yang dimaksud komunitas ekologis dalam pengertian ini adalah menyangkut lngkungan fisik dan sosial.
Sedangkan Andi dan Syamsudin(2007) memberi batasan bahwa kearifan lokal merupakan suatu bentuk tata nilai, sikap, persepsi, perilaku dan respon suatu masyarakat lokal dalam berinteraksi pada suatu sistem kehidupan dengan alam dan lingkungan tempat hidup secara arif.Berdasarkan batasan di atas, Marfai (2013) menjelaskan bahwa kearifan lokal merupakan suatu tatanan nilai yang dinamis responsif terhadap perkembangan dan perubahan dimensi waktu sehingga kearifan lokal dimungkinkan mengalami perubahan pada tempat dan waktu yang berbeda dan kelompok masyarakat yang berbeda.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal adalah suatu tatanan kehidupan dan perilaku manusia yang menyangkut sistem kepercayaan, tata nilai dan norma, tradisi, dan mitos yang diekspresikan dalam kehidupan dalam waktu yang lama.
Bahasa sebagai Bentuk Kearifan Lokal
Dalam Seminar Nasional “Sosok Sastra Indonesia Mutahkir” yang diselenggarakan tanggal 17 Mei 1989 di Universitas Wijaya Kusuma (UWK) Surabaya, Prof. Budi Darma, mengatakan bahwa bahasa yang baik adalah bahasa hasil dari kesepakatan atau konvensi dari pemakai bahasa itu. Kesepakatan yang terbangun itu, tentu saja sebagai hasil interaksi, sikap, perilaku, respon, dan persepsi suatu masyarakat terhadap lingkungannya.Karena merupakan hasil kesepakatan, bahasa memiliki sifat arbitrer atau manasuka.
Sementara Samsuri (1985) mengatakan, bahwa bahasa merupakan kumpulan aturan-aturan, kumpulan pola-pola, kumpulan kaidah-kaidah, atau dengan singkat dapat dikatakan sebagai suatu sistem. Bahasa memang memiliki aturan-aturannya sendiri, baik itu dalam tataran kata dan berbagai bentukannya maupun kalimat dan susunannya.
Berdasarkan panadangan Budi Darma dan Samsuridi atas, maka bahasa dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk kearifan lokal.Sebagai bentuk dari kearifan lokal, bahasa harus dipahami, dipakai, dan dipelihara oleh pemakainya agar tidak tergerus oleh perkembangan zaman.
Salah satu bahasa yang telah tergerus oleh perkembangan zaman dan teknologi adalah bahasa Jawa.Bahasa Jawa, yang dulu merupakan bahasa yang besar, dengan berkembangnya zaman dan teknologi, penggunanya semakin berkurang. Saat ini, anak-anak dan remaja yang masih usia sekolah, sebagian besar tidak menguasai bahasa Jawa. Penyebabnya adalah gencarnya serbuan budaya asing dan arus informasi yang masuk melalui berbagai sarana, seperti televisi dan internet.
Menurut Wahab (1998), bahasa Jawa adalah salah satu bahasa Austronesia yang dipakai oleh lebih dari seratus juta penutur. Bahasa ini, memiliki kesusastraan yang kaya dan adhiluhung sejak zaman kuna. Tidak ada bahasa-bahasa di dunia, termasuk beberapa bahasa Internasional, yang mampu melampaui kekayaan dan keadhiluhungan bahasa Jawa.
Jika dilihat dari segi sosiolinguistik, bahasa Jawa memiliki sistem stratifikasi. Menurut Wahab (1998), stratifikasi tutur adalah satu sistem bertutur kata yang mempunyai batas-batas jelas terhadap formalitas dan hal-hal yang menyangkut rasa hormat. Makin tinggi drajat formalitas dan rasa hormat yang ingin ditunjukkan dalam bertutur kata, makin tinggi pula kesopanan yang ditunjukkan dalam bertutur kata.
Rasa hormat dan kesopanan yang ditunjukkan pengguna bahasa Jawa ketika berkomunikasi, berinteraksi, bertutur, dan bersosialisasi dengan sesama menunjukkan dan membuktikan bahwa pemakai bahasa itu memiliki karakter yang baik.
Dalam penggunaannya, bahasa Jawa memiliki tiga stratifikasi. Pertama, adalah ngoko yang dipakai oleh setiap penutur bahasa Jawa, mulai dari anak-anak sampai pada orang tua, dari yang berpendidikan rendah sampai yang berpendidikan tinggi, dari rakyat jelata sampai para pejabat.
Bahasa Jawa ngoko dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu ngokolugu dan ngoko alus. Ngoko lugu biasanya dipakai untuk membahasakan diri sendiri, berbicara dengan sahabat dekat yang umur dan status sosialnya sama, atau bertutur dengan orang yang umur dan status sosialnya lebih rendah. Sedangkan ngoko alus, pada dasarnya adalah bentuk oplosan antara ngoko dengan krama. Jenis ini, biasanya dipakai antara penutur dan lawan tutur yang bersahabat dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan antara anak dengan orang tua.
Kedua, adalah krama madya. Stratifikasi ini biasanya dipergunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang tingkat sosialnya rendah, tetapi usianya lebih tinggi.
Ketiga, adalah krama. Krama ini merupakan stratifikasi tertinggi dalam bahasa Jawa. Krama, biasanya dipergunakan untuk menunjukkan rasa hormat terhadap lawan tutur yang dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi. Misalnya, anak terhadap ayah dan ibunya, anak terhadap orang yang lebih tua, anak terhadap guru, atau dapat pula dipakai untuk yang usianya sejajar demi terbangunnya pembiasaan dan pendidikan karakter.
Pola Penerapan
Penerapan bahasa Jawa Krama sebagai produk kearifan lokal dalam pendidikan karakter, bisa dilakukan dalam beberapa lembaga. Di antara lembaga-lembaga itu adalah, lembaga keluarga, lembaga pendidikan formal (sekolah), dan lembaga non formal lain (baca: komunitas tertentu).
Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dam utama. Di dalam keluargalah berbagai bentuk pendidikan, baik yang sesuai dengan kaidah pendidikan, maupun yang bertentangan dengan kaidah pendidikan diperkenalkan kepada anak. Dalam keluargalah, anak dibentuk menjadi manusia yang berkarakter: dilatih kejujuran, kesopanan, dan berbagai akhlak mulia lainnya. Dalam keluarga pulalah, anak dididik untuk menjadi orang yang tidak berkarakter atau tidak berakhlak mulia. Jika dalam perkembangannya seorang anak kemudian menjadi pembohong atau suka mengambinghitamkan orang lain, maka semata-mata perilaku seperti itu merupakan produk dari pendidikan orang tua (ayah dan ibu) dalam lingkungan keluarga.
Pola penerapan Bahasa Jawa Krama sebagai produk kearifan lokal dalam lingkungan keluarga dapat dilakukan dengan mengondisikan seluruh anggota keluarga membuat aturan atau kesepakatan dalam berkomunikasi antaranggota keluarga. Kesepakatan itu dalam bentuk klausul-klausul yang berisi tentang penggunaan bahasa Jawa Krama dalam berkomunikasi antaranggota keluarga.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal juga memunyai peran penting dalam menerapkan bahasa Jawa krama dalam upaya pendidikan karakter. Sekolah dapat membuat regulasi yang diberlakukan bagi semua warga sekolah untuk menggunakan bahasa Jawa krama ketika di sekolah. Regulasi seperti ini, tentu saja tidak berlaku setiap hari, namun dalam hari-hari tertentu saja.
Lembaga nonformal lain juga dapat berperan secara aktif dalam upaya membangun karakter anak melalui penggunaan bahasa Jawa krama ini. Hal yang dapat dilakukan oleh lembaga nonformal ini, misalnya dengan membentuk komunitas pelestari bahasa Jawa krama atau komunitas peduli karakter anak bangsa melalui penggunaan bahasa Jawa krama, atau bentuk-bentuk komunitas lainnya.
Jika ketiga lembaga di atas, bersinergi secara massif dan bersungguh-sungguh dalam membangun karakter anak bangsa, insyaallah permasalahan merosotnya karakter ini dapat diatasi. Semoga!