Berbicara literasi tidak cukup bicara tentang baca dan tulis. Tetapi sebagaimana literasi menjadi konsep perdaban umat manusia. Sesuai dengan perkembangan zaman yang sangat funmental ini. Sehingga literasi juga harus mengikuti perkembangan yang ada.

Perubahan zaman mulai  dari sosisal budaya, politik, dan sain. Bahkan perubahan di era gitital ini, yang setiap detiknya akan berubah. literasi harus mampu berperan dan menjawab segala persoalan dan harus mampu menyiapkan sumber daya manusia yang akan datang. Sehingga konsep dasar dari literasi mengena dan mampu di terima oleh masyarakat.

Kemajuan era teknologi komunikasi dan digitalisasi merupakan penunjang utama dalam Belajar di masa pandemi ini, terutama bejalar dengan jarak jauh. Dari sinilah kita bisa melihat diri kita sendiri, apakah kita mampu dan mumpuni dalam menggunakan alat teknologi-komunikasi secara digital. Ini kesempatan kita untuk mensosialisasikan kepada masyarakat, bahwa dengan belajar harus dan wajib dilaksanaan dalam situasi dan kondisi apapun.

Banyak ekspektasi dalam ruang-ruang yang mengaungkan pendidikan 4.0 semakin mencuat dan berharap mampu mengemplementasikan dan mampu memjadi kiblat pendidikan ditanah air ini, sehingga pendidikan yang berlandaskan 4,0 mampu mendobrak perubahan yang nyata dalam bidang pendidikan. Harapan itu akan mamou jika dalam suatu instandi serta gotong royong mampu mendorong kerjasama dan memiliki tujuan yang sama dalam menyongsong pendidikan di era digital ini.

Tidak bisa dipungkiri di zaman yang serba digital ini, sehingga sebelum kita membekali anak didik kita, perlu kiranya membekali diri sesuai dengan zaman yang berkembang. Sehingga literasi tidak melulu soal baca dan tulis seperti yang saya sebutkan di atas.

Sebagaimana menurut Puncerobutr (2016), konsep pendidikan 1.0 hanya merespon kebutuhan masyarakat agraris terhadap pengetahuan (knowledge). Dengan demikian, pendidikan hanya berupa transfer pengetahuan dari guru ke murid. Guru hanya berfokus pada penjelasan (explanation), dan murid hanya mengikuti (follow).

Kemudian, pendidikan 2.0 muncul untuk merespon kebutuhan masyarakat industri dengan konsep teaching to learn. Pendidikan model ini tidak mampu membuat peserta didik menjadi kreatif. Pada masa tersebut, pembelajaran teknologi hanya diorenstasikan dalam pekerjaan.

Selajutnya, pendidikan 3.0 yang hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat teknologi. Dalam era ini, munculnya pendidikan yang lebih interaktif dengan menggunkan bahan ajar, baik bahan ajar yang berupa digital maupun sosial. Dalam hal ini, pendidikan semakin berorentasi bahwa pendidikan bukan hanya mengkonsumsi pengetahuan tetapi menghasilkan pengetahuan.

Sementara pendidikan 4.0 yang saat sedang gencar-gencarnya dan berkembang dalam masyarakat luas. Pendidikan 4.0  merupakan konsep yang lahir seiring dengan revolusi indusri 4.0 yang berindikasian dengan perkembangan Ekonomi digital dan teknologi robotic.

Pendidikan 4.0 terseut difungsikan untuk membantu siswa agar memiliki keterampilan dan inovasi. Selain itu, mereka secara individu mampu memanfaatkan berbagai varian teknologi, seperti komputerisasi cluod, teknologi mobile, intelligent agent, dan sejenisnya (Heryani, 2011-2019).

Perubahan ekosistem dalam ruang Pendidikan 4.0 menuntut peran para pemangku kebijakan dan peran Guru mau tidak mau harus mampu menyesuaikan. dalam hal ini, bukan berarti peran Guru menjadi sumber penentu utama dalam kesuksesan implemantasi pendidikan 4.0. Namun, setidaknya Guru harus memiliki kompetensi yang lebih kompleks, baik kompetensi lunak maupun kompetensi keras. Sebab, guru 4.0 harus mampu menjadi sparing-pratner siswa secara efektif (Heryati, 2019).

Dari bebrapa paparan di atas, dapat kita pahami dan mampu mengaplikasikan tentunya sesuai dengan bidang-bidang kita. Selaku pendidik baik di sekolah tingkat bawah, menengah, dan di perguruan tinggi setidaknya kita harus berani mencoba dan meaktualisasikan ide maupun gagasan kita demi tumbuh-kembangnya pendidikan yang kita emban ini.

Jika belajar merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, setidaknya kita tidak bisa menggingkari suatu kewajiban yang seharusnya kita emban sampai nyawa regang dari tubuh ini. Kira-kira begitu makna dari membumikan. Dari arti tersebut patut kita selami esensi makna yang lebih dalam lagi, sehingga kita mampu menangkap secara esensial makna tersebut.

Belajar di masa pandemik ini merupakan tantangan tersendiri bagi pendidik, untuk mengubah polah dan strategi dalam belajar mengajar yang semakin klise dan tertinggal. Patut kita sadari bahwa, di Negara Indonesia masih terlalu ansih untuk menerima sesuatu yang baru, sesuatu yang dianggap tidak lumrah. Sehingga apapun yang kita lakukan sepeuluh dua puluh tahun yang lalu masih kita pertahankan dengan dalih tidak terbiasa. Hal  inilah yang memicu ketidakterbukaan kita terhadap roda berkembangan zaman.

Membumikan makna Bejalar di masa pandemi, merupakan tema besar  untuk kita pahami bersama. Setidaknya kita mampu memberikan sebuah pencerahan terhadap diri kita sendiri, bahwa belajar harus sesuai dengan berkembangan zaman yang ada. Di masa pandemi ini, membumikan belajar secara esensial, bahwa belajar tidak memandang usia, tempat, dan siapa.

Kesadaran akan belajar menjadi tugas kita bersama untuk memparoodikan kepada masyarakat secara umum. Dalam kesempatan ini, dimasa pandemi ini merupakan kesempatan kita melakukan refleksi diri bahwa belajar tidak memandang siapapun dan kondisi apapun.

Literasi digital merupakan salah tantangan bagi kita untuk mengejar zaman di era 4,0 ini. Stidaknya kita siap dengan segala gelombang perubahan zaman yang semakin bergemuruh. Dan mau tidak mau kita harus siap berdiri tegak dengan segala mental yang mulai hari ini kita siapkan.

Sehingga di era 4,0 esok kita mampu memberikan suatu perubahan yang segnifikan khususnya dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, ilmu pengetahuan tidak hanya sebatas sebagai konsumsi secara invidi, tetapi mampu memberikan keterampilan secara inovatif dan kratif.

Dari sinilah kesadaran dan keterbukaan diri akan perkembangan zaman harus dimulai sejak dini. Segala perkembangan tidak akan berarti apa jika tidak dibarengi dengan infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadahi. Dan yang terakhir, adanya kemauan untuk berubah.

Penulis : Kumaidi

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *