Sumber Gambar : IDN Times


Latar belakang pemuda dan Sumpah Pemuda dapat kita lihat dari penjajahan yang dilakukan bangsa lain terhadap Indonesia. Kegagalan Indonesia menghalau bangsa lain yang disebabkan sifat masyarakat Indonesia pada saat itu masih kedaerahan.

Awal perjuangan para pemuda Indonesia memprakarsai Sumpah Pemuda 1928 adalah berdirinya Budi Utomo. Pada saat itu bangsa Indonesia, khususnya pemuda Indonesia mulai bangkit. Akibat berdirinya Budi Utomo adalah memunculkan organsisasi baru seperti Tri Koro Darmo, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Betawi, Jong Minahasa, Sekar Rukun, dan Pemuda Timor. Pemuda-pemuda di daerah sangat bersemangat untuk berjuang, tetapi pada saat itu mereka masih berjuang untuk daerah mereka sendiri-sendiri.

Organisasi-organisasi itu gencar melakukan seruan tentang persatuan bangsa, khususnya organisasi Perhimpunan Indonesia (PI). PI adalah organisasi permuda yang terdiri atas pemuda dari berbagai suku yang ada di Belanda. Para pemuda kemudian bersatu dan menjadi satu bangsa Indonesia tanpa memikirkan sifat kedaerahan lagi.

Lahirnya sumpah pemuda adalah dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan antar organisasi kepemudaan yang sudah ada. Maka dimulailah pertemuan antar organiasi sejak 1920. Namun, pada saat itu mereka belum menemukan solusi yang tepat karena berbeda landasan pemikiran.

Pada tanggal 15 November 1925 diadakan Kongres Pemuda untuk membahas panitia pelaksanaan kesepakatan bersama. Dan pada tanggal 30 April 1926 organisasi pemuda berkumpul dan melaksanakan rapat Kongres Pemuda I. Kongres ini berhasil merumuskan dasar-dasar pemikiran bersama yaitu :

  1. Kemerdekaan Indonesia merupakan cita-cita bersama seluruh pemuda di Indonesia.
  2. Seluruh organisasi kepemudaan bertujuan untuk menggalang persatuan.

Para pemuda kemudian menyelenggarakan Kongres Pemdua II pada tanggal 26 sampai 28 Oktober. Sayang pada kongres ini sempat terjadi insiden di mana pemimpin rapat tidak diperkenankan menyebut tentang kemerdekaan Indonesia. Mereka merasa dipersulit dan banyak dari mereka yang dipenjara dan diasingkan ke daerah terpencil.

Pada 28 oktober 1928 yaitu hari terakhir Kongres Pemuda II akhirnya Sumpah Pemuda lahir. Mohammad Yamin membuat inti sari seluruh isi kongres. Dari inti sari itulah lahir perumusan Sumpah Pemuda yang disetujui seluruh peserta Kongres Pemuda II.

Generasi Muda

Ada beberapa hal yang kita kaji mengenai sejarah sumpah pemuda. Sebagai generasi muda/mudi kita setidaknya bisa belajar dari para terdahulu kita yang berjuang mengikrarkan sumpahnya dalam Sumpah Pemuda sebagaimana poin ketiga yaitu Berbahasa Satu Bahasa Indonesia. Dengan berbahasa yang baik dan benar berarti kita ikut serta menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan serta rasa Nasionalisme yang telah diperjuangkan para pendahulu kita.

Bahasa Melayu Menjadi Bahasa Indonesia

Dalam pengantar buku Tempoe Doeloe (1982), Pramoedya menyebutkan bahwa bahasa Melayu rendah sebagai bahasa lingua franca. Lingua franca merupakan fenomena tunggal di Asia Tenggara. Bahasa ini dikembangkan dan dipergunakan oleh orang-orang asing ketika memasuki Nusantara dan Malaka. Dan untuk kosa katanya menghisap dari bahasa dan dialek mana saja yang dianggap cocok oleh penggunanya. Dalam perkembangan bahasa lingua franca memberikan sumbangan yang cukup besar dalam pembentukan bahasa Indoseia yang kemudian didapuk menjadi bahasa persatuan lewat ikrar sumpah pemuda.

Bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa latin yang sudah menjadi bahasa “mati”, sehingga tidak ada lagi penambahan kosa kata baru. Sebagai bahasa yang masih bertumbuh, dalam proses penyerapan kosa kata dalam bahasa Indonesia merupakan hal yang wajar. Namun, yang menjadi masalah sekarang adalah ketika bahasa asing sudah diserap dan dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia justru malah ditinggalkan.

Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XI

Pada tahun 2018 perlu menegaskan bahwa Bahasa Indonesia merupakan bahasa pembentuk hati dan pikiran ke-Indonesia-an, termasuk dalam bentuk kesusastraannya. Kehendak akan bersatu (le desir d’etre ensemble dalam ungkapan Ernest Renan) sebagai syarat adanya bangsa telah disepakati pada tanggal 28 Oktober 1928 bermaujud dalam bahasa persatuan. Elemen bahasa—bukan agama dan/atau ras—yang dipilih demi kesatuan negara-bangsa Indonesia yang makin berjaya. (baca: Muryanto)

Ketika negara-bangsa hendak berjaya pada era global ini, tantangan tampak makin besar untuk memantapkan pilihan atas bahasa yang lahir dari induk bahasa Melayu ini. Makin bertambah waktu pada era ini, makin sistematis dan masif upaya mengembalikan bahasa Indonesia agar masuk ke dalam kandungan bahasa Melayu. Untuk itu, masih diperlukan penguatan kedudukan dan fungsi bahasa Melayu–di samping bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Batak, Madura, dan lain-lain–sebagai bahasa daerah di Indonesia.

Sementara itu, tantangan global juga terlihat dari cerminan hati dan pikiran orang Indonesia yang cenderung menduakan bahasa sendiri dengan bahasa asing. Bahasa asing makin marak ditempatkan di ruang publik dengan keyakinan akan penguasaan bahasa asing Inggris sebagai simbol kejayaan, kemajuan, atau masa depan Indonesia. Perlu usaha yang makin keras untuk mengendalikan penggunaan bahasa asing di ruang publik tanpa  mengendurkan upaya mempelajari bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya sebagai sarana strategi—selain sebagai sarana komunikasi—untuk memahami cara berpikir penutur bahasa itu.

Globalisasi juga telah membawa konsekuensi bangsa Indonesia berintegrasi dengan bangsa lain sehingga terbentuk sebuah masyarakat antar-bangsa seperti pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean. Integrasi antar-bangsa itu diharapkan berdampak positif untuk menunjukkan kejayaan jati diri dan daya saing bangsa Indonesia. Untuk itu, pemanfaatan bahasa dan sastra sebagai ilmu strategi kebahasaan perlu dikembangkan dan diterapkan dalam bentuk diplomasi halus dengan wawasan kebinekaan yang lebih luas guna menjadikan bahasa dan sastra Indonesia secara internasional setara dengan bahasa dan sastra dari negara maju yang lain.

Pada akhirnya, tak-kalah penting kemajuan teknologi informasi yang telah begitu rupa sehingga berdampak pada cara bertindak dan bertutur yang sekaligus mencerminkan hati dan pikiran. Kehalusan hati dan pikiran—yang mestinya terungkap melalui sastra—telah mulai luntur. Hanya dengan mengetukkan jari dan jempol pada tombol gawai, sangat mudah untuk menyebarkan kata-kata kasar, perkataan bohong, atau ungkapan yang bernilai rasa dan pikiran negatif. Untuk mengantisipasi kemungkinan rusaknya kesatuan bangsa Indonesia sebagai akibat perkembangan zaman ini, sangat mendesak pengembangan strategi di dalam ranah forensik kebahasaan guna mendukung tengaknya Indonesia sebagai negara hukum.

Bahasa Sebagai Kepentingan

Pada poin ini, saya membayangkan bagaimana bahasa itu tidak ada, dan betapa bahayanya bahasa itu diciptakan. Ludwing Wittgenstein dalam Anindita. Menyatakan bahwa bahasa serupa alat. Sebagai alat bahasa bisa mengemban tugas yang tak terhitung jumlahnya. Soal fungsi, hal itu tergantung apa yang hendak dituju oleh pengguna bahasa.

Mey mengatakan bahwa wacana adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Istilah wacana mengacu ke rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan dan dapat pula memakai bahasa tulis (Samsuri, 1987/1988:1). Wacana memperlakukan kaidah-kaidah tata bahasa sebagai suatu sumber daya yang menyesuaikan dengan kaidah-kaidah itu ketika memang diperlakukan.

Wacana kadang kala diartikan sebagai sebuah individualisasi sekelompok  pernyataan dan kadang kala diartikan sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan (Foucoult, 1972).

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *