Oleh: Nur Hidayatul Istiqomah
Dalam dunia yang digerakkan oleh jempol, perilaku konsumen di Indonesia kini bergerak laksana air di sungai deras cepat, dinamis, dan sulit ditebak arahnya. Dulu, keputusan membeli ditentukan oleh iklan di televisi atau kata-kata tetangga.
Kini, satu ulasan dari pengguna anonim di e-commerce atau video 15 detik di TikTok mampu mengubah pikiran jutaan orang. Konsumen tidak lagi menjadi penerima pasif informasi, mereka telah naik kelas menjadi aktor utama dalam dunia dagang digital.
Media sosial tak hanya menjadi tempat bersenang-senang, ia telah menjelma menjadi panggung besar tempat merek dan produk berlomba tampil sempurna. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube adalah alat pemasaran yang hidup, menyuguhkan promosi secara halus namun membekas.
Fenomena influencer marketing misalnya, telah menjadi strategi wajib bagi brand yang ingin bertahan di hati generasi milenial dan Gen Z.
Menurut survei DataReportal tahun 2024, lebih dari 60% pengguna internet di Indonesia menggunakan media sosial sebagai sumber informasi produk sebelum membeli. Ini artinya, media sosial kini bukan sekadar hiburan visual, melainkan juga kompas belanja.
Konsumen melihat pengalaman orang lain sebelum memutuskan, dan tren pun lahir dari viralitas, bukan lagi dari strategi korporasi semata.
Kemunculan e-commerce ibarat menghadirkan mal raksasa di telapak tangan. Shopee, Tokopedia, dan TikTok Shop memberi konsumen kebebasan untuk berbelanja kapan saja, dari mana saja. Tak perlu lagi menembus macet atau antre di kasir, cukup duduk manis, klik, dan tunggu paket datang.
Kenyamanan ini lambat laun membentuk kebiasaan. Konsumen kini menginginkan pengalaman belanja yang cepat, aman, dan personal. Fitur-fitur seperti rekomendasi produk otomatis, ulasan pembeli, dan voucher instan bukan lagi bonus, melainkan standar. Dan dengan meningkatnya digital payment, transaksi menjadi lebih mudah, sekaligus lebih impulsif.
Namun di balik kenyamanan ini, ada ekspektasi tinggi yang harus dipenuhi. Konsumen tak lagi mudah dibujuk oleh iklan manis; mereka menuntut transparansi, kecepatan respon, dan layanan yang konsisten. Satu kesalahan saja bisa jadi bumerang, viral di media sosial, dan mencoreng citra merek secara luas.
Bagi pelaku usaha, terutama UMKM, semua perubahan ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, digitalisasi membuka pasar tanpa batas. Di sisi lain, ia menuntut adaptasi yang tidak ringan. Banyak pelaku usaha yang masih tertatih memahami algoritma media sosial, apalagi bersaing dalam perang harga di e-commerce.
Menurut laporan Katadata Insight Center tahun 2023, salah satu tantangan utama UMKM dalam era digital adalah literasi digital yang rendah, keterbatasan modal untuk promosi, serta kurangnya SDM yang siap digital. Di saat yang sama, mereka dihadapkan pada konsumen yang kritis, mudah bosan, dan haus inovasi.
Artinya, pelaku usaha bukan hanya dituntut menjual produk, tapi juga membangun cerita, menghadirkan pengalaman, dan terus memperbarui diri. Mereka harus siap menghadapi konsumen yang bisa berubah pikiran dalam waktu lima menit, hanya karena melihat postingan lain yang lebih menarik.
Perubahan perilaku konsumen bukan sekadar fenomena sesaat, tapi pertanda zaman yang berganti arah. Teknologi dan media sosial telah menulis ulang cara konsumen berpikir dan bertindak. Mereka tidak lagi terjebak dalam pola konsumsi lama; mereka menuntut kecepatan, kejujuran, dan koneksi emosional.
Maka pelaku usaha pun harus berubah. Bukan sekadar ikut tren, tapi benar-benar memahami apa yang dibutuhkan dan diinginkan konsumen hari ini. Karena di era digital ini, hanya mereka yang mampu berlari mengikuti arah angin perubahanlah yang akan tetap berdiri di tengah pasar yang penuh gejolak.(*)