Oleh : Ana Achoita, M.Pd.

Indonesia adalah salah satu negara dengan penuh keanekaragaman, bukan hanya etnis dan budaya akan tetapi juga bahasa sebagai alat komunikasi bagi pengguna bahasa yang ada di daerah masing-masing.

Akan tetapi dari berbagai bahasa yang ada di setiap daerah di negara Indonesia, ada bahasa pemersatu bangsa yaitu bahasa Indonesia. Bahasa ini adalah bahasa komunikasi yang wajib dikuasai oleh setiap individu masyarakat Indonesia.

Bukan tanpa alasan karena tanpa bahasa tersebut niscaya kita sebagai rakyat Indonesia tidak akan mampu bersatu dan menyatu dengan masyarakat yang ada di daerah lain yang mana notabenya juga memiliki bahasa daerah. Bahasa daerah ini yang digunakan di masing-masing daerah sebagai bahasa komunikasi selain bahasa Indonesia, tak terkecuali etnis-etnis yang ada di negeri ini.

Hal unik di negeri ini yang lain adalah ”pesantren” (tempat pendidikan kuno/klasik). Pesantren dengan kekhasannya dan karakteristiknya menjadikan tempat pendidikan ini tetap eksis sampai saat ini. Perlu diketahui bahwa pesantren merupakan tempat pendidikan klasik terbanyak di dunia dengan ketradisionalannya atau kemoderenannya atau bahkan menggabungkan antara keduanya.

Termasuk di antaranya yang paling khas di pesantren adalah literatur yang digunakan kebanyakan berbahasa Arab sehingga menuntut bagi setiap “santri” (penyebutan murid/siswa yang ada di pesantren) untuk menguasainya sebagai upaya memahami isi dan kandungan yang ada di literatur kuno tersebut.

Namun hal itu tidak serta merta mereka para santri juga mahir muhadtasah (berbicara) dengan Bahasa Arab, bahkan ketika ada kunjungan tamu dari Timur Tengah untuk sekadar memberi kuliah atau dialog ilmiah, mereka para santri harus mendatangkan “mutarjim” (penerjemah) untuk menterjemahkan apa yang disampaikan oleh tamu Timur Tengah tersebut.

Dan ternyata ini terjadi karena bahasa komunikasi dan bahasa “kitab salaf” atau “kitab kuning” (penyebutan buku pegangan dan panduan di pesantren) banyak perbedaannya.

Di antara perbedaannya adalah jika bahasa komunikasi lebih sederhana sedangkan bahasa kitab kuning atau kitab salaf lebih detail dalam penyusunannya, yaitu dengan menggunakan ilmu nahwu dan sharaf (kaidah gramatikal Arab).

Sehingga dari hal ini timbul pertanyaan: “kok bisa bahasa yang lebih sederhana sulit dipahami dari pada bahasa yang lebih terinci”. Dari jawaban pertanyaan di atas tidak lain karena karakteristik bahasa yang berbeda.

Bahasa percakapan atau muhadtasah mempunya prinsip تَطْبِيْقٌ (practice), تَسْمِيْعٌ (listen) dan تَعْوِيْدٌ   (habituation). Sehingga tidak heran, orang-orang yang hidupnya di Arab tanpa mereka belajar ilmu nahwu dan sharaf (gramatikal Arab) mereka tampak mahir dan pintar dibandingkan para santri yang kesehariannya berkutat dengan ilmu nahwu dan sharaf.

Sedangkan di kalangan pesantren pada umumnya prinsip-prinsip tersebut tidak dilakukan sehingga menjadikan mereka sulit memahami dan mempraktikkan bahasa Arab muhadtasah.

Maka dari itu, pada awal tahun 90an para pengampu atau pengasuh pesantren mulai sadar akan pentingnya bahasa arab muhadtasah sehingga di tahun tersebut pula mulai banyak bermunculan pesantren yang membuka program dan keterampilan dalam bahasa Arab muhadtasah.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan dalam satu kaidah :

اَلْعَادَةُ إِذَا رَسَخَتْ نَسَخَتْ

Artinya: “Sebuah kebiasaan jika telah kuat maka hal itu akan melekat pada pribadi orang tersebut”. (*)

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *