Oleh: Misbahul Huda

“Seluruh kota… merupakan tempat bermain yang asik… oh senangnya… aku senang sekali… …” Suara nyanyian yang sayup-sayup terdengar melodinya entah bersumber dari mana, mungkin di salah suatu ruang pada deretan kantor yang terpisahkan lorong sepi.

Pada baitnya terasa tidak asing.  Melodi yang indah yang penuh kenangan. Nyanyian itu adalah nyanyian masa kecil anak generasi 90-an. Anak pada masa itu masih sangat menikmati dunianya. Dunia berpetualang dengan ditemani Digimon dan Pokemon.

Dunia penuh imajinasi dan cerita-cerita tentang kuatnya persahabatan, saling mendukung saat berhadapan dengan valiant kuat. Keajaiban-keajaiban yang akan muncul ketika sang tokoh pantang menyerah dan mengeluarkan potensi dan kekuatan barunya.

Di situasi berbeda, terlihat seorang laki-laki yang telah berumur lebih dari separuh abad. Badanya tegap berpenampilan dewasa dan sangat berwibawa. Ia tertunduk tenang dengan raut muka yang sedikit serius.

Di tangannya terlihat buku bacaan entah sudah berapa lama ia baca dengan sangat khidmat. Seolah berusaha memahami kata demi kata, alur demi alur, dan detail demi detail buku yang dibacanya.

Ternyata yang ia baca adalah buku novel anak yang berjudul Harry Potter and the Sorcerer’s Stone karya dari J.K. Rowling yang mendunia. Dalam benak sedikit menggerutu, “laki-laki sedewasa itu membaca novel anak?”.

Dari penggalan situasi anomali di atas muncul beberapa pertanyaan yang mendasar. Mengapa kita masih merasa nyaman saat membaca ulang buku-buku novel bacaan untuk anak-anak? Mengapa kita masih sangat menikmati entah itu, cerita, novel, komik, atau bahkan film anak di usia yang sudah dewasa? Apa yang membuat cerita-cerita ini begitu merasuk ke dalam jiwa?.

Ternyata banyak cendikiawan dan sastrawan telah meneliti bagaimana buku atau tontonan anak-anak yang masih menjadi bacaan kesukaan di usia dewasa. Salah satunya adalah Dr. Joy. Ia menafsirkan bahwa kita masih membaca karya-karya tersebut karena membangkitkan apa yang tidak dimiliki pada dunia orang dewasa.  Dan kita ingin gagasan-gagasan dalam karya itu bisa diaplikasikan pada kehidupan nyata dalam konteks persahabatan, ketekunan, pengorbanan, kebahagiaan dan sebagainya. Kita menghargai karya tersebut justru karena karya tersebut menggambarkan dunia yang tidak menyerupai dunia yang kita alami saat ini.

Alur-alur dan setiap percakapan dalam tontonan atau novel anak bersifat jelas dan langsung. Tokoh dalam cerita memilih kata-kata mereka dengan hati-hati dan tepat. Hasilnya, penyampaian makna hampir selalu berhasil dan penuh pertimbangan sehingga tokoh utama sangat jarang salah paham satu sama lain. Sebaliknya, dalam keadaan nyata di dunia orang dewasa, percakapan selalu menjadi ladang ranjau miskomunikasi, membicarakan keburukan orang, pembicaraan dengan maksud mendapat pujian atasan dan lainya.

Seperti sebuah kutipan dari Dr. Joy: “Bahasa tidak akan pernah cukup untuk merangkum apa yang ingin kita katakan, dan kita tidak akan pernah mampu mengatakan apa yang sebenarnya kita maksud. Orang dewasa menggunakan bahasa tidak hanya untuk berkomunikasi, tetapi juga untuk tidak berkomunikasi; kita menggunakan kata-kata yang tidak bermakna untuk mengekspresikan emosi, menyembunyikan makna, untuk menghabiskan waktu atau berpura-pura tertarik”.

Maka ada banyak seni ketika kita berusaha untuk memahami dialektika dalam dunia nyata. Namun sebuah karya sastra akan selalu memberikan makna yang tulus untuk dinikmati tanpa adanya kebohongan.

Seperti sebuah kata homonim. Sastra anak memiliki pemaknaan ganda dalam penempatannya. Sastra sebagai karya yang dinikmati oleh anak-anak yang mencintai dunia kepenulisan. Dan sastra anak oleh orang dewasa dimaknai sebagai pelarian akan ketidak puasanya pada dunia nyata yang ia bayangkan saat jauh di masa kanak-kanak.(*)

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *