Oleh: Yudi Arianto, S.Sy.,M.HI

Potret dialektika pemikiran antara modernitas dengan tradisi menimbulkan perbedaan paradigma tentang orientasi pemahaman dan pemaknaan dalam beragama. Yakni paradigma moderat di satu sisi dengan paradigma puritan di sisi yang lain.

Kedua paradigma inilah yang kemudian mewarnai corak pemikiran Islam kontemporer yang acapkali tarik-ulur dalam menciptakan kadar dan peran sebagai yang paling benar dan otentik. Pada saat yang sama keduanya memiliki integritas pemahaman yang tidak pernah ada titik temu dialogis. Karena kedua paradigma tersebut memiliki perbedaan lahan interpretasi yang khas terhadap teks keagamaan.

Istilah moderat menemukan akarnya lewat preseden Alqur’an yang selalu memerintahkan umat Islam untuk menjadi orang yang moderat, (Lihat Surat al Baqoroh: 143) dan preseden al-Sunnah yang menggambarkan sosok nabi yang menunjukkan tipikal pribadi moderat, tatkala dihadapkan pada dua pilihan ekstrem, maka Nabi selalu memilih jalan tengah.

Sedangkan istilah puritan, menunjuk pada keyakinan absolutisme yang tidak kenal kompromi, dan dalam banyak hal otoritasnya cenderung puris, yakni tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas plural sebagai bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.

Islam moderat, menghormati kewajiban-kewajiban kepada Tuhan, dan meyakini bahwa Islam sangat pas untuk setiap saat dan zaman, li kull zamân wa makân. Kelompok ini tidak memperlakukan agama laksana monumen yang baku, tetapi memperlakukannya dalam kerangka iman yang dinamis dan aktif. Konsekuensinya, Islam moderat menghargai pencapaian-pencapaian sesama Muslim di masa silam, untuk direaktualisasikan konteks kekinian.

Berbeda dengan Islam moderat, Islam puritan memperlakukan Islam secara kaku dan tidak dinamis. Mereka sangat membesar-besarkan peran teks dan memperkecil peran aktif manusia dalam menafsirkan teks keagamaan.

Dalam hal ini orientasi Islam puritan mendasarkan diri di balik kepastian makna teks, sehingga implementasi perintah Tuhan, yang seutuhnya dan secara menyeluruh seakan sudah termaktub di dalam teks, bukan pada nuansa kontekstualisasi.

Untuk memahami petunjuk Tuhan yang termodifikasi dalam wujud Alqur’an, Islam moderat memandang bahwa Alqur’an benar- benar telah menyampaikan putusan secara spesifik terhadap persoalan tertentu dan putusan spesifik yang seperti itu harus dipahami dalam kaitannya dengan konteks.

Maksud dari putusan spesifik dan khusus yang dinyatakan di dalam alqur’an bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan putusan yang diwahyukan pada waktu itu untuk mencapai tujuan moral dari Alqur’an seperti keadilan, keseimbangan, kesetaraan, kasih sayang, kebajikan dan seterusnya.

Hal ini berbeda dengan Islam puritan yang menjalankan putusan yang disampaikan Alqur’an tanpa mempertimbangkan lingkungan historis waktu putusan itu diwahyukan sekaligus mengabaikan tujuan-tujuan etika dan moral Alqur‘an.

Sedangkan terhadap H}adis, Islam moderat menerapkan prinsip- prinsip sistematis dalam bentuk kritik sejarah terhadap Hadis-Hadis yang dinisbatkan pada Nabi. Karena suatu kenyataan bahwa H}adis terkodifikasi dan terpelihara satu abad sepeninggal Nabi, adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari akan cerminan lingkungan historis, perselisihan sektarian, dan konflik politik.

Menghadapi situasi yang demikian, Islam moderat menggunakan metode analisis kritis dengan meneliti kondisi-kondisi lingkungan yang melingkupi. Tujuannya untuk menyakinkan bahwa setiap riwayat yang ada dapat dipahami dengan baik secara historis maupun rasional.

Seakan tidak menemukan titik temu, Islam puritan menganggap Hadis Nabi selayaknya Alqur‘an yang mutlak, sebagai kode hukum yang harus diterapkan tanpa dipertanyakan, hal ini dikarenakan di dalam kepercayaan mereka semua persoalan hidup sudah terjelaskan dalam sumber hukum tersebut secara spesifik, detail dan gamblang.

Sampai di sini dapat dipetakan dengan jelas, bahwa Islam moderat yang mengedepankan kontekstualisasi sekaligus memperhatikan aspek tujuan moral dan etis, berkeyakinan bahwa hukum Islam bersifat dinamis dan fleksibel dalam merespons perubahan zaman yang semakin kompleks. Lain halnya dengan Islam puritan lebih mengedepankan kekuatan teks sehingga terkesan kaku dalam menerapkan hukum.

Salah satu isu yang menarik dalam hal ini adalah terkait dengan hukum alat musik/alatul malahi, di kalangan ulama, musik menjadi perhatian serius, terutama dalam masalah hukum mendengarkan atau memainkan alatnya. Hal itu disebabkan Nabi pernah menyebutkannya dalam salah satu perkataan (hadis) beliau.

Status hukum mendengarkan musik sejauh ini masih menjadi perdebatan di kalangan cendekiawan muslim, bahkan sejak awal pertumbuhan Islam. Mereka sepakat di salah satu aspek dan berbeda di aspek yang lain. Ada yang membolehkannya, ada yang menghukuminya haram dengan kriteria tertentu dan ada yang mengharamkannya secara mutlak.

Salah satu hadis yang kerapkali dijadikan landasan hukum tentang pengharaman musik, adalah hadis yang termuat dalam Sahih Bukhari, Juz VII, Hadis Nomor 5590 yang berbunyi: 

ليكونن فى أمتى أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف

“Bahkan, akan ada sebagian umatku yang memandang anggur, sutra, zina, dan alat musik halal.”

 

Dalam konteks dakwah, musik mempunyai peran yang tidak bisa dibilang kecil. Ia menjadi media dakwah yang jitu dalam rangka menyebarkan kebaikan dan ajakan menuju jalan Allah SWT. Di samping itu, musik dan nyanyian dapat menjadi sarana penyebaran berbagai ilmu pengetahuan, termasuk ilmu agama.

Penting untuk melakukan upaya mengembalikan konteks asli hadis agar dapat ditafsirkan secara objektif. Sebab, untuk mengungkap kebenaran konsep yang disajikan dalam sebuah teks, banyak faktor dan konsep tersembunyi yang harus diperhatikan.

Membaca sebuah karya tulis terkadang dapat menimbulkan kesalahpahaman karena tidak memahami secara utuh pembaca yang dituju, konteks politik-psikologis, atau motivasi di balik penciptaan karya tersebut.

Pendekatan baru dalam memahami hadis mungkin bisa menjadi solusi untuk mencari legitimasi hukum bagi musik yang tidak bisa dipungkiri telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap berbagai segi kehidupan maupun dakwah Islamiyyah. Meskipun tidak juga menafikan hukum asalnya (haram) dalam definisi-definisi musik tertentu.

Tetapi paling tidak, pendekatan baru terhadap pemahaman hadis dapat menghasilkan keputusan hukum yang dapat memberikan ruang terhadap kebebasan memanfaatkan berbagai media dalam kemaslahatan dan kesejahteraan umat.(*)

 

 

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *