Oleh : Moh. Mundzir, mohamadmundzir71@gmail.com
Sepekan kemarin Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Tuban genap berusia 36 tahun. Usia yang cukup matang pada sebuah lembaga pendidikan. Dalam usia yang ke 36 tahun ini mengusung tema yang menarik untuk kita cermati “ Khidmad IAINU Dalam Merawat Jagat Membangun Perdaban”.
Satu kata kunci “Pardaban” ini yang coba penulis cermati. Peradaban adalah hasil dari kompleksitas interaksi antra manusia, lingkungan, nilai-nilai budaya, dan zaman yang membentuk pola kehidupan sebuah masyarakat. Konsep peradaban tidaklah statis; sebaliknya, ia adalah refleksi dari dinamika yang senantiasa berubah, bergerak menuju kemajuan, namun juga rentan terhadap kemunduran seiring dengan perubahan zaman.
Peradaban Barat telah berhasil mencapai prestasi yang luar biasa. Berbagai kebutuhan manusia telah dipenuhi dengan cara-cara yang makin canggih; cepat, tepat sasaran, efektif dan efesien. Dari segi kemajuan, prestasi ini belum pernah tertandingi oleh prestasi perdaban manapun di dunia ini baik Yunani kuno ,Cina kuno, India kuno maupun Islam pada zaman klasik.
Namun beradaban Barat itu ternyata juga mengalami kegagalan sangat fatal terkait dengan persoalan spiritual, kejiwaan dan kemanusiaan. Peradaban ini memupuk arogansi dan menjauhkan manusia dari Tuhannya; mendegradasikan derajat dan martabat manusia, bahkan tidak jarang orang-orang Barat sendiri ketakutan terhadap penggunaan senjata-senjata super canggih dan super berbahaya bagi kehidupan umat manusia.
Oleh karena itu, perlu dicarikan peradaban alternatif bagi umat manusia. Suatu bentuk beradaban yang memberikan keseimbangan antara kemajuan material dan sepiritual, sehingga kemajuan itu bisa terkendali dengan baik. Abdul Aziz Othman Altwaijri menyatakan bahwa pedaban Islam adalah berdaban yang menambahkan demensi keagamaan pada ide kemajuan.
Kemajuan tidak dicari demi kemajuan. Akhir dari kemajuan itu adalah kemajuan kemanusian, yang melayani naluri manusia dan aspirasi-aspirasinya untuk hidup damai dan harmoni dengan mahluk-mahluk lain serta bekerja sama dengan kawan-kawanya dengan suatu pandangan untuk mencapai keindahan, kabajikan dan kesejahteraan yang universal.
Ungkapan senada disampaikan Ahmad H. Sakr bahwa peradaban Islam sejak awal sekali memperhatikan kebutuhan integrasi spiritual dengan material seperti keterpaduan alasan dengan keimanan; dan memang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Pemisahan kedua hal itu akan menyebabkan kesalahan konsep-konsep epistemology dan kekacuan moralitas di dunia.
Ada pertimbangan moralitas dalam memajukan perdaban Islam sebagai pradaban alternatif itu sehingga yang dikejar bukan sekedar prestasi gemilang semata, tetapi juga yang tidak kalah penting, adalah kemaslahatan alam khususnya manusia.
Dengan kata lain, dalam peradapan lslam itu yang harus diwujudkan bukan sekedar science for science (ilmu untuk mewujudkan prestasi ilmu), melainkan juga science for peace of society ( ilmu untuk mewujudkan kedamaian masyarakat) atau science for human welfare (ilmu untuk mewujudkan kesejahteraan manusia), sehingga arah kemajuan sains maupun tehnologi bisa dikendalikan tetap berada dalam jalur yang lurus (al-sirath al-mustaqim) dan dapat terhindarkan perkembangan yang liar.
Perdaban aternatif itu selanjutnya digambarkan sebagai bentuk peradaban yang mempertahankan bahkan berusaha mengangkat derajat dan martabat manusia. Peradaban ini menempatkan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi(khalifat Allah fi-ardh) yang diberikan kepercayaan untuk memakmurkan alam, tetapi tidak untuk menggeser posisi Tuhan dan menjadikan manusia sebagai pusat realitas seperti pandangan antroposentrisme.
Sebaliknya drajat manusia tidak akan di degradasikan hanya menjadi elemen yang mati dari proses produksi. Jadi peradaban tersebut berusaha menempatkan manusia sebatas kapasitasnya, tidak lebih dari kapasitas itu yaitu khalifa Allah. Posisi ini sesungguhnya telah memberikan penghargaan kepada manusia itu secara terhormat.
Oleh karena itu, berfikirlah menjadi pengendali pedaban di samping berupaya menguasai ditribusi peradaban juga agar dapat mengendalikan peradaban secara arif dan bijaksana. Sehingga peradaban itu justru dijadikan instrument untuk merangsang penyempurnaan peradaban lagi; menjaga keseimbangan alam, mengembangkan material maupun sepiritual.
Juga mengangkat kehormatan manusia, menggaransi keharmonisan dan kedamian mahluk hidup serta mengekspresikan karakter ramah lingkungan baik lingkungan geografis, social maupun kultural. Misi ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mendasar bagi pelestarian dan kemakmuran alam semesta, dimana termasuk manusia di dalamnya. WAALLAHU A’lAMU.(*)