Oleh : M.Syamsul Huda, Rektor IAINU
Di Negeri Paman Sam, di Kota Newark, berdiri stasiun kereta api klasik di kota tua. Suasananya cukup ramai. Keluar masuk para penumpang menuju kota tujuan bisnis mereka. Selayaknya instansi pemerintah, stasiun ini juga punya berbagai macam layanan; tenan soft drink yang menjual aneka roti dan minuman ringan, layanan ticketing melayani pembelian tiket kereta serta tenaga security yang bertugas mengecek tiket dan barang bawaan penumpang. Juga kantor pusat informasi.
Penampakan kondisi bangunan stasiun tua ini, banyak yang lapuk dan rusak, kelihatan tidak terawat secara layak, gelap, bau aroma tidak sedap serta penggap. Di sudut – sudut stasiun tertata rapi rambu rambu jalan, papan informasi untuk penumpang, terutama informasi barang bawaan yang boleh dan tidak boleh dibawa masuk ke dalam stasiun maupun gerbong kereta api, kesannya tidak berfungsi .
Di pojok ruang menegemen terpampang dengan jelas SOP (standar operasional prosedur), nampak diabaikan begitu saja oleh karyawan dan petugas keamanan. Normalnya berdasarkan standar ini, setiap penumpang masuk, harus dicek satu persatu barang bawaan mereka. Realitasnya mereka terlihat bebas keluar masuk membawa apa saja, termasuk minuman keras, senjata tajam hingga narkoba.
Tidak mengherankan, banyak kejadian kriminal dan vandalism di dalam gerbong kereta api yang merugikan para penumpang lainnya,. Tindakan pencurian, perampasan bahkan tawuran menjadi pengalaman hidup sehari-hari yang dialami para penumpak kereta api tersebut.
Suatu malam, penjaga keamanan keliling di area gedung stasiun untuk melihat situasi, tanpa sengaja ia menemukan koran “ The Atlantic Monthly “yang dibuang oleh penumpang yang cuek dengan lingkungan stasiun. Dipungutlah koran harian bekas tersebut olehnya, hitung hitung untuk bacaan pengusir rasa sepi dan kantuk.
Di pintu masuk tempat ngepos, ia duduk dan mulai membuka halaman demi halaman koran terseut. Ia menemukan artikel dengan judul ‘Broken Window’. Artikel ini berisikan menejemen layanan publik transportasi, yang ditulis oleh James Q Wilson (1982) , pakar ilmu menejemen transportasi di sebuah universitas terkemuka di Amarika serikat.
Substansi artikel ini ialah bahwa kerusakan kecil dapat memicu efek berantai pada lingkungan sosial “ Theori ini relevan dengan fenomena para pekerja jawatan yang mengabaikan kerusakan kecil pada sebuah jendela yang pecah di stasiun, sehingga diiringgi dengan pengabaian kerusakan fasilitas lain, tanpa memikirkan dampak besar bagi keselamatan dan keamanan sebuah kawasan. Sebaliknya, jika hal kecil diperhatikan secara serius akan membawa keamanan serta kesejehteraan, bukan saja bagi para penumpang tetapi pada kota bahkan negara.
Artikel ini nampaknya membuat tenaga keamanan ini tersadar, bahwa cara berfikir abai terhadap hal kecil serta segala prosedur yang sudah tertulis, mengakibatkan kondisi buruk serta timbul ketidak amanan yang sangat serius, kritis.
Salah satu insiden ialah peningkatan tindakan kriminalitas di stasiun maupun kawasan kota. Sebagai tanggung jawabnya sebagai petugas keamanan, ia mulai melakukan pemeriksaan tiket dan mencek barang bawaan setiap penumpang yang hendak masuk stasiun maupun kereta api secara ketat, tanpa pandang bulu. Dampaknya, dari hari-ke hari stasiun ini mengalami penurunan angka kriminalitas hingga pada angka zero axciden.
Berita prestasi petugas stasiun viral di mana-mana dan menular ke arena public transportasi lainnya. Maka pada tahun 1990 . Polisi New York City menerapkan strategi “ Broken Windows “ untuk menguranggi kriminalitas . Walhasil kota kecil ini menjadi teraman dan nyaman di Amerika Serikat.
Prinsip utama dari teori ini ialah 1. Kecilnya kerusakan dapat memicu efek berantai, 2. Pengabaian, terhadap kerusakan kerusakan kecil dapat memicu kerusakan yang lebih besar, 3. Persepsi, masyarakat akan merasakan ketidakamanan dan kekacauan, 4. Efek Berantai, kerusakan kecil dapat memicu tidakan kriminalitas yang lebih besar.
Pertanyaannya adalah lantas apa korelasi pengalaman petugas keamanan stasiun tersebut dengan menegemen pelayanan, terutama pada lembaga pendidikan. Jawabannya sangat kuat, bagaimana argumentasinya. Pertama, Perguruan Tinggi sesungguhnya merupakan lembaga layanan masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan, tentu sangat banyak bersentuhan dengan insfrastruktur atau sarana dan prasarana dalam proses pembelajaran dan pengajaran yang dapat berbentuk fisik maupun nirkabel.
Nirkabel misalnya, mengabaikan penempatan ruangan instalasi jaringan pengelolaan data informasi dan data akademik, serta pengecekan secara berkala setiap perangkat computer. Lambat laun akan berdampak pada layanan hulu sampai hilir, baik pada internal kampus maupun eksternal kampus.
Pelaporan PDPT (pangkalan data perguruan TinggI) berkala pada sistem jaringan yang dikelola oleh operator Kementerian Agama maupun Kementerian Ristek Dikti, bukti kongkrit ekosistem pendidikan yang harus dikelola. Bayangkan efek berantai, bagi mahasiswa maupun institusi kampus.
Efek untuk mahasiswa, mereka akan dianggap sebagai mahasiswa illegal, ketika pelaporan nilai akademik terganggu. Tentu tidak akan diakui oleh penguna (user) , apalagi efek bagi kampus, bisa diancam pidana maupun perdata, karena dinilai tidak menjalankan sistem secara benar , ujung-unjungnya ijin oprasionalnya dapat dicabut.
Kedua, kepuasan dan keterpercayaan (trust). Masyarakat adalah raja, dalam konsep market, logikanya konsumen bebas memilih mana saja lembaga pendidikan yang berkualitas dan terbaik dalam memberi layanan PBM.
Maka ukuran paling sederhana adalah apa performa yang ditawarkan oleh produser (pengelola perguruan tinggi) kepada konsumen (masyarakat dan mahasiswa). Artinya apa jaminan sistem dan standar mutu yang diterapkan pada lembaga pendidikan tersebut sesuai dengan standar mutu.
Misalnya kelengkapan gugus kendali mutu berbagai tingkatan, mempunyai dokumen kurikulum yang relevan dengan dunia usaha dan industri, dengan segala turunannya, mempunyai sistem evaluasi yang berkelanjutan dan terencana. Atau memiliki buku pedoman akademik yang dapat diakses oleh mahasiswa maupun dosen dan seterusnya.
Satu saja komponen tersebut diabaikan, maka berdampak besar pada pencapaian tujuan pembelajaran dan pengajaran. Ketiga, persepsi masyarakat akan meningkat terhadap lembaga pendidikan, tidak saja pada aspek akademik, tetapi juga dipengaruhi tampilan fisik dan kebersihan serta keramahtamahan pengelola terhadap stakeholder.
Pengabaian terhadap kondisi fasilitas gedung dan saran penunjang lainya, misalkan, kondisi ruang kelas yang kurang bersih, ruang perpustakaan yang kurang nyaman , kondisi kantin yang kurang higinis atau ruangan kerja dosen dan karyawan yang kurang rapi. Juga tempat ibadah yang kurang terawat, lingkungan kampus yang tidak tertata rapi.
Sikap yang culas dan cuek terhadap mahasiswa dan mitra kampus, tentu berdampak pada ketidak ketertarikan masyarakat untuk mempercayakan dirinya, keluarganya maupun institusinya pada lembaga pendidikan tersebut.
Namun sebaliknya, sistem pengelolaan fasilitas dan asset kampus dilakukan secara total, maksimal dan tuntas, pada menejemen pelayanan, antara lain: perawatan rutin fasilitas untuk mencegah kerusakan, pelayanan cepat dalam menanggapi keluhan dan masalah pelanggan, kualitas layanan ditingkatkan, komunikasi dengan pelanggan ditingkatkan serta mengawasi dan menindaklanjuti masalah lapangan secara cepat. Tanpa dinyatakan secara verbal, masyarakat dapat menilai, bahwa lembaga pendidikan tersebut layak untuk dipilih dan dipercaya.(*)