MEGAH : Gedung Rektorat IAINU Tuban


IAINUonline – Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Makhdum Ibrahim (STITMA) yang sudah menelorkan banyak alumni, yang di antaranya sudah menjadi ‘orang’ sudah dikenal. Kemudian STITMA naik status menjadi Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) juga diketahui.

Bahkan kemudian kabar berseliweran mengiringi pergantian dari STITMA menjadi IAINU Ini. Tentu tak semua kabar yang muncul selalu enak didengar, karena sebagian kabar yang muncul entah dari mana membuat  gerah sejumlah pihak. Terlepas dari kabar yang menguar tersebut, sejarah bagaimana upaya perubahan itu, usaha-usaha yang dilakukan serta ikhtiar seperti apa yang dijalankan layak dicatat.

Di awali dengan pergantian kepemimpinan di STITMA pada 2017. Bersamaan dengan itu, muncul Surat  Edaran  Periode Awal Pelaporan  PDDIKTI Nomor:5478/A.P1/SE/2017  tertanggal  21 Desember 2017.

Dalam surat edaran itu, semua perguruan tinggi harus melaporkan kegiatannya dalam  pangkalan data di PDDIKTI. Kondisi STITMA waktu itu PDDIKTI-nya kosong tidak ada laporan. Yang seharusnya dilaporkan adalah data mahasiswa aktif dan dosen tetap ber-NIDN (Nomor Induk Dosen nasional) atau NIDK (nomor induk dosen khusus).

Sementara, pelaporan ke PDDIKTI, harus valid dan clear terkait data mahasiswa dan dosen. Kondisi STITMA waktu itu: dosen NIDN cuma ada  11 orang. Padahal, jumlah mahasiswa 1.400 orang.

Dalam rumpun ilmu social, rasio dosen dan mahasiswa  adalah 1:40 (1 dosen maksimal mengajar 40 mahasiswa). Jadi, dengan jumlah mahasiswa sebanyak itu seharusnya minimal STITMA harus memiliki 40 dosen ber-NIDN.  Sementara dosen-dosen yang ada merupakan guru PNS dan guru yang memiliki NUPTK yang tidak bisa dimasukan datanya di laporan PDDIKTI.

Di sisi lain, STITMA belum memiliki akreditasi institusi, yang syarat untuk mengajukan akreditasi institusi adalah semua prodi harus sudah terakreditasi. Kondisi saat itu, hanya prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) yang sudah terakreditasi (akreditasi B). Sedang prodi  Pendidiakn Guru Madraah Ibtidaiyah (PGMI) proses pengajuan dan prodi Pendidikan Islam Anak Usia dini (PIAUD) belum terakreditasi. Salah satu syarat akreditasi prodi adalah, jumlah dosen NIDN di setiap prodi harus terpenuhi.

Untuk menyelamatkan kampus STITMA agar tidak mengalami masalah, misalnya (mohon maaf) seperti yang dialami Unirow sampai akhirnya mendapat sanksi karena permasalahan SDM dan pelaporan, pimpinan memutuskan untuk melakukan rekrutmen dosen untuk memenuhi kebutuhan dosen yang ber-NIDN setiap prodi dan persiapan prodi baru.

Dari hasil rekruitmen itu, pada tahun 2018 diproses 20 dosen ber-NIDN, di tahun 2019 diproses 6 dosen ber-NIDN, di tahun 2021 diproses 7 dosen ber-NIDN, dan di tahun 2022 diproses 9 dosen ber-NIDN. Dengan bertambahnya sekian banyak dosen ber-NIDN akhirnya kondisi ini menyebabkan jam mengajar harus dibagi antara dosen yang telah lama mengabdi dengan para dosen ber-NIDN baru.

Rekrutmen dosen baru itu, juga terkait karena pada tahun 2017 juga ada amanah dari PC NU Tuban untuk pengembangan STITMA menjadi Institut. Di mana dengan minimnya SDM akhirnya rekruitmen mau tidak mau harus dilakukan untuk proses menuju perubahan dari STITMA menjadi IAINU dengan berbagai hal.

Pada tahun 2018 proses akreditasi Institusi pun diajukan. Alhamdulillah akhirnya   IAINU mendapatkan SK ijin operasionalnya tertanggal 26 desember 2019 disertai dengan terbitnya 3 prodi baru yaitu Perbankan syariah, Menejemen dakwah dan Hukum Keluarga Islam. Di mana konsekuensi yang muncul adalah penambahan dosen ber-NIDN. Dan pada 2020 Alhamdulillah akhirnya IAINU mendapatkan SK Akreditasi Institusi dengan predikat BAIK.

Bersamaan dengan perubahan bentuk itu, BPP STITMA- STIKES harus menetapkan siapa yang menjadi Rektor dan perubahan nama BPP. Dari rapat BPP diputuskan Akhmad Zaini yang masih memegang SK Ketua STITMA untuk meneruskan jabatan sebagai rektor dangan pertimbangan salah satunya masa jabatan ketua STITMA masih 2 tahun.

Sehingga dibuatkan SK menjadi rektor oleh BPP/PCNU yang pada waktu itu juga mengusulkan untuk dibuatkan SK rektor baru dan BPP IAINU oleh PBNU. Beberapa saat kemudian, SK Rektor IAINU-pun dikeluarkan oleh PBNU  bersamaan dengan SK BPP IAINU. SK tersebut menetapkan H Musta’in Syukur sebagai ketua BPP dan Akhmad Zaini sebagai rektor. Dengan masa kepemimpinan sampai 2026.

Dalam perjalanan IAINU sejak tahun 2020-2021 dilakukan berbagai perbaikan sistem. Salah satunya adanya sistem SIAKAD dalam kegiatan akademik kampus yang tujuanya merapikan dan  memudahkan dalam input data yang bisa langsung singkron dengan laporan PDDIKTI. Yang menjadi kendala ketika penerapan SIAKAD adalah dosen yang tidak ber-NIDN walaupun bisa mempunyai akses ke SIAKAD tetapj tidak bisa masuk di PDDIKTI. Akhirnya ketika pelaporan ke PDDIKTI harus mengatur ulang laporan yang ada agar bisa masuk. Ini sangat menyulitkan.

Pada tahun 2021 prodi PAI melakukan visitasi reakreditasi. Alhamdulillah hasilnya sama dengan sebelumnya yaitu B dengan aturan Ban PT terbaru yang seharusnya mendapat B susah sekali.

Di tahun 2022 prodi PS dan MD juga melakukan akreditasi awal dengan keluar hasilnya BAIK. Diikuti oleh prodi HKI yg mengajukan akreditasi awal. Berikutnya, pada tahun 2022 juga alhamdulillah prodi PGMI melakukan reakreditasi oleh LAMDIK dengan hasil BAIK SEKALI.

Hasil akreditasi ini (meski ke depan harus ditingkatkan lagi) adalah buah dari pembenahan yang dialakukan sejak 2017. Bila tidak dilakukan pembenahan, jangankan dapat mendapatkan nilai BAIK atau BAIK sekali, bisa jadi kampus STITMA terancam tidak lolos akreditasi. Bila ini terjadi, maka ijin operasional penyelenggaraan pendidikan dicabut dan kampus harus tutup.

Dalam perkembangan selanjutnya, terbit regulasi baru, baik dari Kemendikbudristek dan Kemenag mengharuskan kampus menyesuaikan. Salah satunya aturan dalam penilaian akreditasi mengenai dosen di setiap prodi harus sesuai keilmuan atau linier. Aturan tersebut mengharuskan kampus untuk menyesuaikan kembali kebutuhan dosen di setiap Prodi. Akhirnya dilakukan kembali perekrutan dosen yang linier atau sesuai keilmuanya dengan prodi. Kondisi ini ditambah dengan tuntutan akreditasi yang salah satu kriteria penilaianya adalah kinerja dosen.

Perbedaan kinerja dosen dengan guru adalah dosen mempunyai kewajiban melakukan Tridharma perguruan tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang kesemuanya harus terlaporkan secara terstruktur dan rutin setiap tahun. Kewajiban dosen dalam karir akademiknya tidak hanya mengajar saja. Dan dalam pelaporan Tridharma yang sudah menggunakan singkronisasi data ke google scholer dan sinta harus selalu menyantumkan NIDN atau NIDK.

Di sinilah, dosen yang tidak ber-NIDN dan berstatus sebagai guru, tidak terakomudir lagi oleh sistem yang dibuat pemerintah. Seiring dengan kemajuan IT, regulasi tentang penyelanggaraan perguruan tinggi memang semakin ketat. Bila ingin eksis, maka penyenggara perguruan tinggi harus menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut.

Saat ini data terkait laporan PDDKTI yang di dalamnya termuat data prodi, akreditasi berikut juga data dosen dan mahasiswa bisa dilihat secara terbuka oleh masyarakat umum. Sehingga kondisi kampus yg sebenarnya tidak bisa ditutupi atau disembunyikan lagi. Alhamdulillah  data di laporan PDDIKTI IAINU bisa terlaporkan dengan baik (bisa dilihat di PDDIKTI: Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban).

Sehingga pembenahan yang dilakukan memang sesuai dengan pengelolaan kampus yang ditetapkan pemerintah. Bukan karena didorong keinginan untuk mencampakkan dosen lama yang berstatus guru dan tidak memiliki NIDN/NIDK.

Harus diakui, pembenahan secara kelembagaan ini, membawa ekses yang mungkin merugikan beberapa pihak. Khususnya, para dosen yang berlatar belakang guru dan tidak memiliki NIDN. Kondisi ini bukanlah situasi yang dikehendaki dan direncanakan. Namun, menjadi pilihan pahit yang harus ditempuh.

Padahal seiring dengan itu, juga muncul aturan dari kementrian Agama yang membatasi penerimaan mahasiswa di prodi PAI (Pendidikan Agama Islam). Semula, prodi PAI adalah prodi favorit yang setiap tahunnya bisa menerima 6-7 kelas. Namun, karena dianggap alumni PAI sudah over, maka dilakukan pembatasan hanya 3 kelas. Dan itu, juga berlaku di prodi PAI kampus negeri (IAIN/UIN).

Dengan pembatasan itu, dampaknya langsung terasa. Jumlah mahasiswa baru turun drastis. Sehingga, jumlah mahasiswa yang semula 1.400, kini hanya tinggal 1.000 mahasiswa lebih sedikit. Prodi baru yang dibuka (Perbangkan Syarian, Menegemen Dakwah dan Hukum Keluarga Islam), ternyata belum terlalu menarik untuk mahasiswa baru.

Sehingga, keberadaannya tidak bisa mengganti berkurangnya jumlah mahasiswa karena dibatasinya prodi PAI. Berkurangnya jumlah mahasiswa ini, tentu memunculnya persoalan baru. Kelas-kelas yang ada, menjadi lebih difokuskan untuk diberikan kepada dosen-dosen NIDN. Dosen yang tidak ber-NIDN, dari tahun ke tahun jumlahnya dikurangi.

Dari sinilah narasi seolah-olah pembuangan orang-orang lama itu mulai muncul. Sangat disadari, inilah bagian dari resiko yang harus diambil. Karena dengan keuangan yang masih sangat minim, para dosen baru hanya bisa diberi bisyaroh yang sedikit lumayan bila mendapatkan jam mengajar yang lumayan.

Sampai saat ini, kampus belum mampu memberikan bisyaroh atau gaji memadai di luar mengajar. Komponen besarnya masih dari gaji mengajar. Itu pun, setiap bulannya para dosen gajinya belum mencapai UMR Tuban sebesar RP2,5 juta.

Masalah ini, menjadi persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Satu sisi kampus dituntut memiliki dosen tetap (NIDK) yang jumlahnya memadai dan kualitasnya bagus. Namun, di sisi lain kemampuan keuangan masih sangat terbatas.

Di luar tuntutan pembenahan kelembagaan, perbaikan sarpras juga menjadi tuntutan tersendiri. Akhirnya secara pelan-pelan, pada tahun 2017 untuk persiapan perubahan status STITMA menjadi IAINU dipersiapkan bangunan perpustakaan yang “representative” dengan tiga lantai. Lantai 1 diperuntukkan kantin mahasiswa, lantai 2 untuk perpustakaan dan lantai 3 untuk laboratorium.

Selain itu, juga pembangunan rektorat karena seiring dengan perubahan bentuk dari STITMA menjadi IAINU juga memerlukan perkantoran untuk para dekan, kaprodi, ketua Lembaga dan unit.

Sarpras lain yang juga dibangun adalah mess atau tempat menginap para dosen. Ini dibutuhkan karena banyak dosen yang berasal dari luar daerah. Kemudian, –meski sampai saat ini belum bisa dikatakan selesai pembangunannya–, pembangunan masjid juga dilakukan. Selain itu, dilakukan pavingisasi untuk parkir kendaraan mahasiswa.

Untuk pembenahan sarpras itu, sejak 2017 hingga sekarang tidak kurang menghabiskan dana kurang lebih Rp14 miliar. Hasil pembenahan sarpras ini, dengan mudah bisa dilihat secara kasat mata. Wujud bangunan fisik dan infrastruktur lain bisa dilihat dan dinikmati secara langsung.(*)

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *