IAINUonline – Apakah Anda tahu tidak selamanya pergi haji untuk menjalankan rukun islam ke lima itu wajib? Karena, pada jamannya, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu pernah mengeluarkan fatwa haram berangkat haji.
Ketika terjadi agresi Belanda sekitar tahun1946-1947 umat Islam risau karena perjalanan haji terhenti, yang diakibatkan oleh perang. Sehingga, tidak menjamin keamanan para jamaah. Melihat situasi itu pemerintah Kolonial Belanda melalui Gubernur Van der Plaas segera mengambil tindakan untuk menolong umat Islam. Tentu saja ada maksud di balik pertolongan itu yang tentunya untuk keuntungan Belanda sendiri.
Belanda mengumumkan bagi yang hendak melaksanakan ibadah haji disediakan fasilitas selengkapnya dan dijamin keamanannya. Tentu saja tawaran itu menggoda umat Islam yang kebetulan selama beberapa tahun dalam gelora revolusi itu perjalanan ibadah haji terganggu. Dan saat ini Belanda menjamin fasilitas untuk mereka, maka banyak yang mendaftar untuk menunaikan ibadah haji.
Di tengah kegairahan umat Islam untuk berhaji itu, tiba-tiba Rois Akbar NU, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa bahwa melakukan ibadah haji saat ini hukumnya haram. Ibadah haji memang sebuah kewajiban bila syarat rukunnya terlengkapi.
Sementara saat ini Indonesia dalam keadaan perang, kapal sebagai sarana transportasi haji belum dimiliki oleh bangsa Indonesia. Karena itu bila pergi haji naik kapal milik orang kafir (Belanda) maka hukumnya haram dan hajinya tidak sah.
Fatwa itu membuat umat Islam tertegun, tetapi bagaimanapun dengan hujjah-nya yang kuat dan sesuai nalar, maka seberat apapun fatwa itu mesti ditaati. Sehingga banyak yang membatalkan perjalanan hajinya.
Tentu saja hal itu dan membuat Belanda geram, bukan karena usaha pelayarannya tidak laku, tetapi lebih penting lagi usahanya untuk mempengaruhi hati umat Islam agar tidak memihak pada republik pimpinan Soekarno-Hatta dengan memberikan simpati pada Belanda.
Di situlah kepekaan seorang ulama pewaris nabi, bagaimana ia tahu bahwa tujuan Van der Plaas membantu umat Islam dalam menjalankan rukun Islam itu bukan untuk menolong, tetapi sebuah tipu muslihat untuk mengalihkan kesetiaan pada bangsa sendiri.
Haji politis semacam itu tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Sebagai seorang imam yang berpengaruh, maka fatwanya yang kontroversial itu tetap diikuti.
Menghadapi penjajah memang tidak cukup hanya mengandalkan perlawanan fisik dan bersenjata, tetapi upaya batin melalui sejumlah wirid serta perlawanan kultural juga menjadi strategi penting yang perlu dilakukan rakyat Indonesia.
Perlawanan kultural yang cukup ampuh menghadang penjajah Belanda kerap dilakukan oleh kalangan pesantren. Keberhasilan perlawanan kultural oleh kaum santri karena mampu menggerakkan sekaligus memompa nasionalisme bangsa Indonesia dalam melawan kolonial.
Mengeluarkan fatwa dan menjadi wadah pergerakan nasional secara umum adalah salah satu strategi kultural yang saat itu dilakukan. Sejumlah fatwa yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari, pemimpin besar NU dan pemimpin besar bangsa Indonesia ialah ketika mengharamkan santri memakai pakaian yang menyerupai Belanda.
Fatwa ini terbukti efektif menggerakkan perlawanan secara luas terhadap kolonial. Namun, fatwa tersebut hanya berlaku pada konteks saat itu, bagaimana Kiai Hasyim Asy’ari melihat propaganda Belanda melalui borjuisme kolonial lewat busana.
Fatwa penting juga dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari bersama ulama se-Jawa dan Madura ketika mengeluarkan Fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Saat itu Belanda (NICA) yang membonceng pasukan sekutu (Inggris) hendak kembali menduduki wilayah Indonesia dalam Agresi Militer Belanda II.
Fatwa Jihad tersebut seketika menggelorakan semangat juang rakyat Indonesia dari seluruh penjuru tanah air untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari mempunyai esensi bahwa berjuang mempertahankan kemerdekaan merupakan kewajiban agama. Pada masa-masa revolusi antara tahun 1946-1948, Belanda tidak juga surut untuk terus berupaya kembali menduduki Indonesia.
Menurut catatan Sejarawan NU, Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017), gejolak revolusi tersebut dirasakan sebagai penderitaan luar biasa karena semua kegiatan sosial ekonomi terganggu termasuk aktivitas menjalankan ibadah haji bagi umat Islam.
Tawaran Belanda bagi yang hendak melaksanakan ibadah haji disediakan fasilitas selengkapnya dan dijamin keamanan jemaah nampak populis. Tapi mengandung intrik politik untuk meraup simpati umat Islam Indonesia.
Masih dalam catatan Mun’im DZ, fatwa bahwa melakukan ibadah haji saat itu hukumnya haram. Yang dikeluarkan Mbah Hasyim Asy’ari tentu saja mengagetkan. Ibadah haji memang sebuah kewajiban bila syarat rukunnya terlengkapi.
Sementara saat itu Indonesia dalam keadaan perang, kapal sebagai sarana transportasi haji belum dimiliki oleh bangsa Indonesia. Karena itu bila pergi haji naik kapal milik orang kafir (Belanda), maka hukumnya haram dan hajinya tidak sah.
Kepekaan KH Hasyim Asy’ari mampu menggerakkan perlawanan dan propaganda Belanda yang melakukan segala cara untuk menarik simpati umat Islam. Kiai Hasyim Asy’ari tahu bahwa tujuan Van der Plaas membantu umat Islam dalam menjalankan rukun Islam itu bukan untuk menolong, tetapi sebuah tipu muslihat untuk mengalihkan kesetiaan pada bangsa sendiri.
Haji politis semacam itu tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Sebagai seorang imam yang berpengaruh, maka fatwanya yang kontroversial itu tetap diikuti. (*)
Sumber: https://www.nu.or.id/fragmen/ketika-kiai-hasyim-haramkan-ibadah-haji-DhQe8