KALPATARU
IAINUonline – Pidato Presiden pertama Republik Indonesia, Soerkarno di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945 menjadi tonggak lahirnya Pancasila. Di antara pidatonya, Bung Karno saat itu menyampaikan beberapa hal yang bisa menjadi dasar negara. Salah satunya adalah soal kerukunan, toleransi dan persatuan.
Soekarno yang dikenal agamis dan santri memang dekat dengan para ulama, kiai dan tokoh-tokoh agama lain. Intensitasnya bertemu dan diskusi serta minta wejangan para kiai mengentalkan pikirannya, bahwa bentuk negara yang paling ideal adalah kesatuan. Dengan mempertimbangkan, menghormati dan menghargai perbedaan.
Maka seluruh perbedaan itu dikelola menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa besar dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda namun tetap satu kesatuan sebagai bangsa Indonesia. Konsep ini juga linear dengan konsep islam, bahwa perbedaan adalah rahmat. Klop. Maka Pancasilalah yang menjadi dasar negara dengam simbol burung garuda.
Pemikiran para ulama dan kiai masa itu, juga tak lepas dari pemikiran para pendahulunya. Konsep kebersamaan, konsep persatuan dan menghargai perbedaan sudah diajarkan sejak berabad-abad sebelumnya. Ada sanad (urutan, menyambung) ke atas sampai pada para penyebar islam, Wali Songo. Bahkan, sanad ke atas sampai pada pokok ajaran Islam yang dijalankan Nabi Muhammad SAW.
Salah satu tonggak sejarah itu adalah Piagam Madinah, yang menghargai perbedaan dan keyakinan. Bahwa dalam kehidupan di Madinah kala itu, konsep kebersamaan dan kesatuan sudah dijalankan. Dalam piagam tersebut di antaranya mengatur hidup berdampingan dan saling menghargai perbedaan.
Bukan hanya kaum muslimin yang bisa hidup bebas, karena nonmuslimpun dihargai dan dilindungi kepentingan dan kehidupannya di bawah pemerintahan yang dipegang kaum muslim.
Konsep Pancasila, atau kesatuan dengan menghargai perbedaan itu juga dibawa dan dipraktikkan Sunan Bonang, salah satu Wali Songo penyebar Islam. Salah satu bukti ajaran yang mengedepan toleransi tersebut dilihat dari peninggalan Sunan Bonang. Kalpataru namanya.
Kalpataru yang terbuat dari batang pohon yang diukir tersebut setidaknya menggambarkan bagaimana hidup bermasyarakat dijalankan. Dalam ukiran kayu tersebut, di antaranya ada bentuk beberapa tempat ibadah, bukan hanya muslim yang diwakili masjid. Karena ada semacam pura atau candi, yang menggambar keyakinan sebagian besar masyarakat Jawa kala itu di masa Wali Songo.
Kalpatru menjadi koleksi masterpiece atau unggulan di Museum Kabang Putih, yang dikelola Pemkab Tuban. Pembuatan Kalpataru juga di masa-masa Sunan Bonang Hidup sekitar 1445 – 1525 Masehi. Sebab, Sunan Bonang diperkirakan wafat pada 1525 Masehi ini. Apa dasar yang menyebutkan kalau Kalpataru itu adalah peninggalan Sunan Bonang ? Uji karbon atas Kalpataru itu dasarnya. Sebab, Kalpataru sudah diuji karbon 14 atau C 14. Uji ini untuk menentukan umur pasti atau kronologi absolut sebuah benda atau koleksi cagar budaya.
Uji karbon dilakukan di Beta Analytic Radical Foundation Laboratory yang berada di Miami-Florida, USA. Sebuah lembaga yang sudah diakui kredibilitasnya, dan dijadikan rujukan di dunia. Angka tahun yang keluar dari uji karbon tersebut 1445 – 1525.
Kalpataru yang dikenal sebagai pohon harapan, menggambarkan kehidupan. Dengan empat undak, dan bangunan keberagaman agama di dalamnya. Peninggalan tersebut membuktikan Sunan Bonang merupakan salah satu ulama besar yang mau menerima keberadaan agama lain di sekitarnya.
‘’Sehingga tak heran apabila Kabupaten Tuban yang sekarang dikenal sebagai Bumi Wali dikatakan sebagai miniatur nilai Pancasila, sebuah dasar negara yang yang mengajarkan nilai luhur kemanusiaan,’’ pendapat Drs. H. Ahmad Mundzir, Msi, Ketua Yayasan Mabarrot Sunan Bonang (YMSB) Tuban, pada 2015 silam.
Selain Kalpataru Sunan Bonang juga meninggalkan alat musik berupa bonang yang sekarang berada di Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Alasan kenapa Lasem menjadi tempat penyimpanan bonang, karena saat itu wilayah tersebut dijadikan tempat pengkaderan bagi santri di Lasem, selain bonang juga ditemukan tempat pasujudan Sunan Bonang di Lasem.
Sedang Tuban sejak dulu dikenal sebagai tempat penggemblengan masyarakat umum. Terkait ajaran, Sunan Bonang memiliki ajaran istimewa, yakni cinta atau mahabbah. Sehingga dalam melakukan apapun harus dilandasi dengan kecintaan terhadap Allah SWT. Hal tersebut terlukis di gerbang pertama makam Sunan Bonang yang menghadap ke utara, ada tulisan mencintai rosullullah dan dalam kehidupan nyata harus dibuktikan mencintai segalanya.
Selain itu ada bukti yang ditemukan, saat pemugaran gerbang kedua di komplek makam Sunan Bonang, pernah ditemukan patung kepala arcakala. Bukti tersebut menunjukkan bahwa Sunan Bonang seorang ulama yang pluralis, artinya orang yang mau menerima keberadan keyakinan yang lainnya.
Sebagian ulama menyebutkan bahwanya Sunan Bonang merupakan gurunya para guru. Alasannya, Sunan Bonang merupakan salah satu ulama terkenal, juga seorang sufi, ilmuwan dan satu-satunya Wali Songo yang meninggalkan karya tulis dan ajaran tertulis.
Sedangkan yang lain hanya meninggalkan dalam tutur kata. Salah satu karya beliau yang menonjol adalah kitab Bonang, yang sampai saat ini dijadikan desertasi orang Belanda, selain itu masihada 16 karya tulis beliau yang tersimpan di museum Leiden Belanda.
Berkat ajarannya yang tergambar dalam Kalpataru, perselisihan di Tuban tidak berlaku. Penyebabnya warga ingin meneruskan ajaran Sunan Bonang kepada generasi selanjutnya. Kehidupan masyarakat di Tuban adalah miniatur Pancasila:rukun dan Pancasilais.(*)
Penulis/editor : Sri Wiyono