IAINUonline – Setiap desa memiliki rutinan yang berbeda-beda, salah satunya desa yang ditempati oleh mahasiswa KKN Tematik IAINU Tuban 2024 yaitu Desa Tasikharjo Kecamatan Jenu Kabupaten Tuban. Di desa ini terdapat rutinan yang dilaksanakan setiap Jum’at Aage pada bulan Muharram berupa Bari’an.
Bari’an berasal dari kata bari’a yabrau yang berarti terlepas atau terbebas, ini dinisbahkan pada kemerdekaan Indonesia yang telah bebas dari penjajah. Dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia, Wali Songo menggunakan media tradisi atau budaya yang sudah diakulturasi dengan nilai-nilai Islam untuk membumikan Islam di indonesia.
Banyak tradisi/budaya peninggalan leluhur yang diakulturasi oleh Wali Songo dan diteruskan oleh para ulama Indonesia, seperti sedekah bumi, sedekah laut dan halal bihalal.
Dalam tradisi Bari’an sendiri, ada beberapa hal yang bisa dijadikan sebagai pertimbangan terkait hukum pelaksanaannya. Pertama, sebagai sarana tolak balak sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَ تَدْفَعُ مِيْتَةُ السُّوْءِ
“Bahwasanya sedekah itu memadamkan amarah Tuhan, dan menolak dari kematian yang buruk (HR. Al-Tirmidzi);
Kedua, sarana bersyukur atas nikmat Allah SWT di dalam Alqur’an disebutkan: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nkmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim:7)
Ketiga, sebagai bentuk mewarisi tradisi nenek moyang sebagaimana keterangan dalam Ahkamul Fuqaha NU “Orang yang pertama meminta perlidungan kepada jin adalah kaum dari Bani Hanifah di Yaman, kemudian hal tersebut menyebar di Arab, setelah alam datang maka perlindungan kepada Allah SWT menggantikan perlidungan kepada Jin”.
Maka, Tradisi BARIAN ini adalah suatu kebudayaan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kebaikan, Sehingga perlu di lestarikan keberadaannya.
Terkait dengan lokasi kegiatan di jalan kampung atau gang, tidak ditempatkan di masjid atau musala adalah sesuatu yang boleh dilakukan. Perlu kita telaah beberapa hal dalam masalah ini: Ini adalah hajat semua warga negara dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda.
Bisa saja di suatu lingkungan ada warga yang beda agama. Sehingga dia justru sungkan untuk datang dalam kegiatan ini. Atau bisa jadi warga di suatu kampung beragama Islam semua. Tapi perlu dipahami, seorang yang tidak punya kebiasaan ikut salat jamaah di masjid atau musala justru akan sungkan untuk datang. Karena takut akan anggapan bahwa dia datang di acara tersebut karena untuk mendapatkan berkat dan lain sebagainya.
Karena ini adalah sebuah tradisi dan bukan ibadah makhdlah (murni), maka kearifan diperlukan untuk menyikapinya. Yang paling penting, hal-hal prinsip dijadikan sebagai acuan.
Pertama, aqidah yakni nilai keyakinan atas limpahan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Kedua, ini dilakukan dengan tujuan mengharap ridha Allah SWT. Ketiga, akhlakul karimah yang ada pada nilai penghargaan pada para pahlawan pejuang kemerdekaan yang gugur dalam memerdekakan bangsa ini.
Adapun tata cara Bari’an yaitu setiap warga membawa tumpeng kecil, atau di desa Tasikharjo disebut dengan bucu. Bucu tersebut terdapat lauk pauk berupa urapan atau urap-urap, yang paling khusus dari lauk tersebut adalah telur ayam Jawa.
Dalam tradisi Jawa, urap atau urapan memiliki makna keberagaman dan keseimbangan. Maksudnya kombinasi berbagai sayuran dalam urap juga mencerminkan keberagaman dan keseimbangan dalam kehidupan.
Setiap jenis sayuran memiliki rasa dan tekstur yang berbeda, tetapi ketika dicampur menjadi satu, menghasilkan harmoni yang lezat. Ini menggambarkan bagaimana perbedaan dapat menyatu dalam keharmonisan.
Terkait dengan telur ayam jawa, telur ayam jawa dipecahkan di perempatan jalan ataupun pertigaan jalan dengan maksud telur tersebut untuk membuang segala musibah.(*)