IAINUonline – Warga Nahdlatul Ulama (NU) sudah tak asing dengan nama ini. Namanya selalu harum semerbak di setiap kajian ilmu aqidah. Setiap kita meneliti paham aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah tentu kita akan mengenal beliau sebagai salah satu tokoh pendirinya.

Ia adalah Ali bin Ismail atau yang lebih terkenal dengan julukan Abu Musa al-Asy’ari. Ia merupakan ulama besar keturunan Abu Musa al-Asy’ari, seorang sahabat Nabi yang disabdakan oleh Baginda Nabi bahwa kaumnya adalah golongan yang selalu mencintai Allah dan mereka dicintai oleh Allah.

Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, beliau berkata, “Aku membaca di hadapan Nabi ﷺ penggalan ayat ‘…Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.’ Maka, Nabi ﷺ bersabda ‘Mereka (yang dimaksud dalam penggalan ayat tersebut) adalah kaummu, wahai Abu Musa’.

Dan Rasulullah memberikan isyarat dengan tangan beliau kepada Abu Musa al-Asy’ari” (HR Al-Hakim).

Tokoh ini bernasab lengkap Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ari.

Ia adalah tokoh besar yang tak pernah mengenal lelah untuk memperjuangkan manhaj (metode, mazhab) Ahlussunnah wal Jama’ah.

Ia hidup dalam perjuangan mempertahankan ajaran yang lurus yang diajarkan oleh para sahabat Nabi.

Ia menghalau setiap pemikiran yang menyimpang di masanya baik dari kalangan yang terlalu berlebihan memakai akal dalam beraqidah seperti sekte Mu’tazilah, maupun dari kalangan ekstremis yang terlalu kaku dalam memahami teks lahiriah Al-Qur’an dan hadits seperti sekte Rafidhah. Ibnu as-Sakir mengatakan:

“Ulama ahli hadits telah sepakat bahwa Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari adalah seorang pembesar dari golongan para pembesar ulama ahli hadits. Dan mazhabnya adalah mazhab ulama ahli hadits.

Ia membangun argumentasi di dalam bidang ilmu asas dasar dalam beragama yang sesuai dengan manhaj Ahlussunnah. Ia juga menolak atas bantahan orang-orang yang membuat perselisihan dari golongan yang sesat dan pembuat bid’ah.

Dan ia menghadapi sekte Mu’tazilah, sekte Rafidhah dan para ahli bid’ah dari golongan ahlu qiblah (orang Islam) serta golongan orang-orang yang keluar dari agama Islam bagaikan pedang yang terhunus.

Barang siapa yang memakinya, melaknatnya, ataupun mencacinya maka ia telah membuka jalan untuk berkata kotor kepada segenap pengikut Ahlus Sunnah” (Ibnu as-Sakir, Tabyin Kidzb al-Muftari, Kairo: Dar Imam Razi, 2010, hal. 113).

Semangatnya terukir dalam sebuah syair بهمة في الثريا إثر أخمصها ۞ وعزمة ليس من عاداتها السأم Ia berjuang dengan semangat yang seolah bekas telapak kakinya menancap di bintang kejora

Ia berjuang dengan tekad membara yang secara tabiatnya ia tak mengenal rasa bosan. Abu al-Hasan al-Asy’ari dilahirkan pada tahun 260 H. Sejak masih muda, Abu al-Hasan al-Asy’ari telah ditinggal wafat oleh ayahnya. Kemudian, atas wasiat ayahnya Abu al-Hasan al-Asy’ari dipasrahkan untuk menimba sanad

Hadits kepada Syekh Zakaria as-Saji, salah satu ulama yang terkenal dengan kepakaran ilmu hadits dan ilmu fiqih yang juga murid terbaik Imam Ahmad bin Hanbal.

Selain itu, Abu al-Hasan al-Asy’ari juga mengambil sanad hadits kepada Abu Khalaf al-Jahmi, Abu Sahl bin Sarh, Muhammad bin Ya’qub al-Muqri’, dan Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri (Tajuddin as-Subuki, Thabaqat Syafi’iyyah al-Kubra, Beirut: Darul Kutub al-Islamiyyah, 2009, vol. 3, hal. 347).

Memang benar, semasa mudanya Abu al-Hasan al-Asy’ari menimba ilmu kepada Ali al-Juba’i seorang tokoh ulama Mu’tazilah yang juga ayah tirinya sebagaimana yang dicatat oleh Shalahuddin ash-Shafadi dalam kitab al-Wafi bil Wafayat.

Akan tetapi, justru pengalamannya berdiskusi bersama para pakar sekte Mu’tazilah di masa mudanya kelak menjadi bekal untuk mematahkan setiap argumentasi sekte Mu’tazilah ketika ia telah terpanggil untuk membela manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah.

Salah satu riwayat asal mula Abu al-Hasan al-Asy’’ari terpanggil untuk membela manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana yang dicatat Ibnu as-Sakir:

Dikisahkan darinya, bahwa ia berkata “Terbenak di hatiku (Abu al-Hasan al-Asy’ari), beberapa permasalahan dalam ilmu aqidah. Maka, aku pun berdiri untuk menjalankan shalat dua rakaat.

Dan aku meminta kepada Allah agar Dia memberikanku petunjuk menuju jalan yang lurus. Aku pun tertidur, tak lama kemudian aku bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam mimpi.

Aku pun mengadukan beberapa permasalahan kepada beliau. Rasulullah pun mewasiatkan, ‘Tetapilah sunnah-ku.’ Aku pun terbangun dan aku membandingkan beberapa permasalahan ilmu aqidah dengan dalil yang aku temukan di dalam Al-Qur’an dan hadits.

Kemudian, aku menetapinya dan aku membuang selainnya di balik punggungku” (Ibnu as-Sakir, Tabyin Kidzb al-Muftari, hal. 37).

Baca juga: Sebenarnya Tak Ada Mazhab Asy’ariyah atau Maturidiyah Setelah itu, Abu al-Hasan al-Asy’ari pun menyibukkan diri untuk menulis pembelaan terhadap manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah di rumahnya.

Kemudian setelah lima belas hari lamanya, Abu al-Hasan al-Asy’ari keluar dari rumahnya menuju masjid dan ia menaiki mimbar seraya berkata:

“Wahai segenap masyarakat, aku menjauh dari kalian semua dalam beberapa waktu ini karena aku ingin meneliti beberapa permasalahan.

Maka, menjadi serupa bagiku seluruh dalil yang ada serta tak ada perkara haq yang mengungguli perkara bathil maupun sebaliknya saat itu. Kemudian, aku meminta petunjuk kepada Allah.

Maka, Allah pun memberikanku petunjuk kepada keyakinan yang telah aku tuliskan di dalam kitab-kitab yang telah ku tulis ini.

Dan aku melepaskan seluruh aqidah menyimpang yang aku yakini selama ini sebagaimana aku melepaskan pakaianku ini (maka Abu al-Hasan al-Asy’ari pun melepaskan pakaian yang ia pakai sebagai isyarat)” (Ibnu as-Sakir, Tabyin Kidzb al-Muftari, hal. 39).

Kedalaman Ilmu Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari Memang benar, Abu al-Hasan al-Asy’ari lebih terkenal dengan pemikirannya di dalam ilmu aqidah dengan karya monumentalnya yang berjudul “Maqalat al-Islamiyyin” yang berisikan sejarah perkembangan berbagai sekte dalam Islam sejak zaman kenabian hingga di masanya.

Akan tetapi, ia juga memiliki beberapa karya besar dalam berbagai bidang ilmu. Di dalam ilmu Hadits, Abu al-Hasan al-Asy’ari membuat kitab khusus yang berisikan bantahan terhadap Ibnu Rawandi, salah satu tokoh Mu’tazilah yang menentang hadits mutawattir.

Di bidang tafsir Al-Qur’an, beliau menulis kitab tafsir al-Mukhtazin. Di bidang ushul fiqh, beliau menulis kitab al-Ijtihad dan al-Qiyas. Menurut Ibnu as-Sakir, Abu al-Hasan al-Asy’ari memiliki 90 karya tulis.

Menurut Ibnu Hazm, Ibnu Katsir, dan Ibnu Imad al-Hambali, beliau memiliki 55 karya tulis. Dan menurut Tajuddin as-Subuki, beliau memiliki 21 karya tulis. Akan tetapi, saat ini hanya ada 8 karya beliau yang tercetak ; yaitu kitab Maqalat al-Islamiyyah, kitab al-Luma’ fi Radd ala Ahli Zaigh wal Bida’ dan kitab Tasir al-Qur’an.

Juga kitab al-Imad fi Ru’ya, kitab Risalah al-Iman, kitab Risalah al-Istihsan al-Khaud di Ilm al-Kalam, kitab Qaul Jumlah Ashab al-Hadits wa Ahlussunnah fi al-I’tiqad, dan kitab al-Ibanah an Ushul ad-Diyanah (lihat majalah Shaut al-Azhar edisi Rabi’ul Awwal 1440 H, hal. 170)

Sang Penerus Manhaj Para Sahabat Nabi Peran Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam bidang ilmu aqidah adalah sebagai tokoh yang menguatkan argumentasi serta dalil-dalil yang telah diutarakan oleh para ulama di zaman sebelumnya.

Ia adalah tokoh yang terang-terangan melawan segenap aqidah yang menyimpang dari pemahaman yang diajarkan para sahabat Nabi. Ia menghadapi para pembesar sekte-sekte yang sesat dengan gagah berani untuk menjalankan wasiat baginda Rasulullah  bersabda

“Ketika generasi akhir umat ini telah melaknat generasi awalnya, maka barang siapa yang memiliki ilmu hendaklah ia menunjukkannya.

Maka sesungguhnya orang yang menyembunyikan ilmu di saat seperti itu seperti orang yang menyembunyikan ilmu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW :

“Ketahuilah, sungguh Abu al-Hasan tidaklah membuat bid’ah pemikiran, bukan juga mendirikan mazhab baru, akan tetapi ia meneguhkan mazhab ulama terdahulu, ia membela manhaj yang dibawa oleh para sahabat Nabi.

Maka penisbatan kepadanya adalah disebabkan ia meneguhkan jalan para ulama salaf dengan argumentasinya, ia berpegang teguh serta mendirikan argumentasi yang kuat atas manhaj ulama salaf.

Maka, yang diikuti dari manhaj Abu al-Hasan beserta dalil-dalilnya disebut dengan Asy’ariyyan” (Tajuddin as-Subuki, Thabaqat Syafi’iyyah al-Kubra, hal. 365). Wasiat untuk Tak Memvonis Kafir Sesama Muslim Menjelang wafatnya pada tahun 324 H, Abu al-Hasan al-Asy’ari berwasiat kepada murid-muridnya untuk tidak megkafirkan sesama umat islam.

Sebagaimana yang dicatat oleh Syamsuddin adz-Dzahabi dalam kitab Siyar ‘Alam an-Nubala’ Diriwayatkan dari Zahir bin Khalid, bahwasannya beliau bercerita “Ketika telah dekal ajal Abu al-Hasan al-Asy’ari di rumahku di kota Baghdad, beliau memanggilku maka aku pun mendatanginya.

Abu al-Hasan al-Asy’ari berwasiat “Aku bersaksi bahwa aku tak pernah mengkafirkan satu pun orang dari golongan ahlul qiblah (umat Islam), karena seluruhnya menghadap kepada Dzat yang disembah yang satu. Dan sesungguhnya perbedaan yang ada adalah perbedaan dalam penjelasannya saja.”(*)

 

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/120935/biografi-imam-abu-al-hasan-al-asy-ari–sang-penyelamat-umat
Editor : Sri Wiyono

Bagikan Berita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *