Sumber Gambar : viva.co.id
IAINUonline – “Buk … sakit, Buk ….” Rengek Fatimah, yang sudah sakit berhari-hari.
Dengan marah dan penuh siaga menjaga anaknya, Kasiati beranjak menemui suaminya yang sampai larut malam belum pulang.
“Pak, panasnya nggak turun-turun, Pak.”
“Harga beras juga nggak turun-turun, Buk.” Jawab Darman yang masih fokus membersihkan alat-alat tambal ban miliknya.
“Saya ini sudah khawatir loh, Pak. Anak kita sakit, harus dibawa ke dokter. Kenapa bapak santai-santai saja, Fatimah sudah kesakitan hampir 7 hari. Dan bapak masih diam saja di sini.”
“Gimana dokter mau ngobatin kalau nggak dibayar? Kita kalau bawa pasien ya harus bawa duit, gimana mau bawa, duitnya nggak ada?”
“Ya, cari!”
Di tengah kemarahan istrinya, di samping kepasrahannya, dalam diri yang gelisah mengingat putrinya. Darman memaki dirinya, kenapa dia dilahirkan sebagai miskin dan mengharuskan istri dan putrinya hidup serba minim. Darman sudah tidak tahu mau mencari pinjaman di mana lagi. Semua pintu sudah ditutup tuan rumah ketika dia beraba-aba mengiba. Dari warung ke warung, rumah ke rumah, catatan hutang Darman tak pernah alfa. Keesokan hari ia mencoba memberanikan diri ke rumah Pak RT, tak peduli meskipun nantinya hanya dapat caci, syukur-syukur dipinjami. Yang penting sudah usaha hari ini.
“Pak, saya benar-benar butuh untuk bawa Fatimah ke dokter. Tolong lah, Pak. Saya janji tidak akan merepotkan bapak lagi.”
“Man, Darman! Setiap kamu pinjam uang ya kalimat itu yang kamu ucapkan. Kalau saya ngutangin kamu lagi, kamu bayarnya kapan? Bukannya beban kamu berkurang, malah bertambah mikirin hutang yang tak tau dari mana kamu bisa bayar.”
“Saya tahu, Pak. Saya akan terus berusaha, biar saya bisa ngelunasin hutang-hutang saya. Tambal ban juga sepi, saya tidak tahu mau cari bantuan kemana lagi.”
“Lagian, kamu kerja kok jadi tambal ban. Berbahagia di atas penderitaan orang lain kamu, Man. Kamu seneng kalau banyak ban yang bocor, tapi mereka sedih karena bannya bocor. Sudahlah, saya mohon maaf. Kali ini saya tidak bisa ngasih kamu pinjaman. Besok lusa ada Bu Susi, pejabat yang datang ke desa kita, kamu datang dan coba minta tolong padanya.”
Darman pergi tanpa permisi, usahanya kali ini tidak menghasilkan apa-apa, masih sama seperti hari-hari biasanya. Sampainya di rumah, mendengar rengekan Fatimah, Darman berlari mendekati. Melihat anaknya pucat kesi, terbaring lemah dan merengek sakit kepala, Darman mendekat arah TV, membungkusnya dengan kain sarung, berjalan mengelilingi rumah-rumah menawarkan satu-satunya barang berharga miliknya. Sampai senja, tak ada satupun yang berkenan membeli, desa jauh dari pegadaian, jauh dari koperasi atau bank-bank, jika pun ada tak akan bisa, karenan tak punya jaminan untuk mengajukan peminjaman.
Sampai rumah, hanya singkong rebus yang tersaji. Darman menikmati makanan yang ada dan memikirkan setelah ini mau apa. Fatimah masih menangis kesakitan, obat warung sudah ditelan tapi tak ada perubahan. Tak lama Darman meratap nasibnya. Tetangganya datang, menawarkan diri mengantarkan Fatimah ke puskesmas desa sebelah.
“Kang, biar Fatimah saya antar ke puskesmas ya. Kasihan, saya nggak tega tiap malam harus dengar tangisannya.”
Kasiati dengan syukur dan banyak terimakasih bergegas pergi ke puskesmas. Sepulangnya, bukannya senang, dia malah tambah lesu mengingat keadaan.
“Bagaiman hasilnya?” tanya Darman.
“Kata dokter puskesmas, Fatimah harus dibawa ke rumah sakit, Pak. Takutnya kalau ada tumor otak.” jawab Kasiati tersedu.
“Duh, Gusti, cobaan apalagi ini ….”
Malam habis dipenuhi tangis, ratapan dan harapan pada Maha Kuasa. Darman dan Kasiati tak berhenti berdoa disamping Fatimah yang sedang merintih. Hari ini adalah lusa sejak dia datang ke rumah Pak RT. Itu artinya, inilah kesempatannya mencari bantuan lain. Darman segera bersiap ke balai desa yang sudah dipenuhi orang-orang yang sama juga sepertinya.
“Man, kamu kesini juga? Bengkelmu gimana?” Sapa orang di sebelahnya dengan menawarkan gorengan di tangannya.
“Hari ini tutup. Mau bicara sama Bu Susi. Katanya wakil rakyat harus merakyat, saya harap pejabat bisa mbantu saya.”
Tak lama pejabat datang dengan ajudan-ajudannya. Warga antusias menyambutnya, hanya Darman yang tak peduli dan memilih menghabiskan gorengan yang disuguhkan orang di sampingnya. Pertanyaan dan harapan warga tersampaikan, keenakan menikmati gorengan, Darman kehilangan kesempatan. Darman menyibak gerumbulan orang-orang yang mengerubungi Bu Susi. Saat Darman berada tepat di depan Bu Susi, Bu Susi berteriak maling.
“Dia mencuri kalung saya!” Teriak Bu Susi.“Dia! Dia menelan kalung saya!”Bu Susi menuding Darman.
Darman kebingungan, menjelaskan dengan mulut penuh “Saya cuman nelan gorengan, Bu Susi. Demi Allah ….”
Semua warga tak percaya. Darman dikenal sebagai orang yang jujur di desanya. Semua mencoba meluruskannya. Warga yang masih tak terima berteriak-teriak meminta Bu Susi untuk pergi dari pada menimbulkan fitnah.
“Bu, kami tahu desa kita desa miskin. Tapi di sini tidak ada pencuri. Darman warga kami yang baik, tak mungkin mencuri kalung Ibu. Kalaupun iya, seharusnya Ibu mengikhlaskannya. Kalung harganya tak seberapa, ibu bisa membelinya lagi. Dan anggap saja itu sedekah.” Teriak warga membela.
Keadaan bertambah kacau. Antara warga, petinggi, Bu Susi dan ajudan-ajudannya mencoba berembuk mencari jalan tengah.
“Semua warga harap tenang. Untuk mencari kebenaran, menegakkan keadilan. Kami telah memutuskan Darman untuk; Pertama dibawa ke kantor polisi, kedua buang air besar di sini. Disaksikan kalian semua. Kalau benar Kang Darman menelan kalungnya, pasti nanti keluar bersamaan.”
“Gimana mau buang air, Darman saja susah makan, tiga hari pun belum pasti makan nasi.”
Mendengar komentar warga demikian, salah satu ajudan berinisiatif membelikan banyak makanan untuk Darman, makananan pedas, pepaya dan apapun yang membuatnya cepat buang air besar.
Di rumah, masih dengan rintihan Fatimah. Salahsatu warga mengabarkan pada Kasiati saat ini suaminya dihakimi. Kasiati segera pergi mencari Darman, “Maaf, Nak. Ibu tinggal sebentar cari bapakmu. Bapak sedang dituduh warga.” Pamit Kasiati.
“Bu … jangan tinggalin Fatimah sendiri, Bu. Sakit.” tangis Fatimah semakin menjadi, tapi Kaisati lebih peduli pada suaminya yang sedang terpojokkan.
“Berhenti kalian semuanya! Kami tahu kami miskin, tapi kami tidak akan melakukan hal-hal yang dibenci Tuhan. Atas bukti apa berani menuduh suami saya. Saya istrinya, tinggal bertahun-tahun dengannya, tak ada sekalipun dia melakukan hal keji seperti tuduhan Ibu.” Teriak Kasiati penuh amarah.
“Saya hanya nelan gorengan, Bu.” Jawab Darman tak berdaya.
“Suami saya akan buktikan, tapi jangan dipermalukan. Kali ini Ibu harus mempercayai kejujuran. Suami saya tidak akan bohong. Kalau Ibu mau buktinya, biarkan suami saya buang air besar di toilet.”
Setelah disetujui, dan semua ketentuan sudah terlaksana. Darman tidak terbukti bersalah. Bu Susi minta maaf atas perlakuannya dan berjanji akan membantu kehidupan keluarga Darman. Tapi, beberapa saat kemudian, tetangga Darman datang mengabarkan Fatimah meninggal. Darman dan Kasiati menangis menjadi-jadi. Semua warga bergeming menyaksikan keadaan ini. Segera semuanya menyiapkan pemakaman Fatimah.
Setelah pemakaman selesai. Darman pergi ke toilet, Darman menggenggam kalung. Meratapi segala kekesalannya.
“Sia-sia semuanya, Nak. Sia-sia. Bapak sudah menelan ini dua kali, dan kamu masih juga pergi. Sia-sia semua ini, Nak. Sia-sia ….” Teriak Darman menyalahkan diri.
“Maafkan bapak, Nak. Bapak janji akan jadi orang yang lebih baik lagi. Bapak janji … maafkan bapak, Nak.”
Penulis : Nila, Mahasiswa PAI IAINU Tuban
Editor : Kumaidi